tag:blogger.com,1999:blog-53209142009159699902024-03-16T00:08:21.935-07:00Kembali Kepada Al-Qur`an Dan As-SunnahAbdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.comBlogger198125tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-16597627666280710632012-03-07T05:30:00.000-08:002012-03-07T05:30:30.002-08:00HAK-HAK MAYIT YANG WAJIB DITUNAIKANAda empat perkara yang merupakan hak mayit yang wajib ditunaikan oleh siapa saja yang menghadirinya, baik dari keluarga mayit atau bukan, yaitu memandikannya, mengkafaninya, menShalatinya dan menguburkannya.<br />
<br />
Hak pertama: Memandikannya<br />
Kewajiban memandikan mayit berdasarkan pada perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan hal tersebut dalam beberapa haditsnya, di antaranya:<br />
<br />
1. Sabdanya tentang orang yang meninggal dalam keadaan berihram karena terlempar dari untanya, beliau berkata:<br />
<br />
اِغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ.<br />
<br />
“Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara...” [1]<br />
<br />
2. Juga dalam sabdanya ketika pemandian puteri beliau, yaitu Zainab Radhiyallahu anhuma, ia berkata:<br />
<br />
اِغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا...<br />
<br />
“Mandikanlah ia sebanyak tiga kali atau lima atau tujuh kali...” [2]<br />
<br />
Tata Cara Memandikan Jenazah<br />
Dari Ummu ‘Athiyah Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita pada saat memandikan anak perempuannya (Zainab):<br />
<br />
اِبْدَأْنَ بِمَيَامِنِهَا وَمَوَضِعِ الْوُضُوْءِ مِنْهَا.<br />
<br />
“Mulailah dari anggota badan sebelah kanan dan bagian badan yang dibasuh saat wudhu.” [3]<br />
<br />
Masih dari Ummu ‘Athiyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi kami di saat kami sedang memandikan puterinya, lalu bersabda:<br />
<br />
اِغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ, وَاجْعَلْنَ فِي اْلأَخِرَةِ كاَفُوْرًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كاَفُوْرٍ, فَإِذَا فَرَغْتُنَّ فَآذِنَّنِى. فَلَمَّا فَرَغْنَا أَذَناَّهُ فَأَلْقَى إِلَيْنَا حِقْوَهُ*، فَقَالَ: أَشْعِرْنَهَا إِيَّاهُ*.<br />
<br />
“Mandikanlah ia dengan air yang dicampur daun bidara sebanyak tiga atau lima kali atau lebih dari itu jika menurut kalian diperlukan, dan jadikanlah akhir pencuciannya dengan air kapur barus atau air yang dicampur sedikit kapur barus. Apabila kalian telah selesai beritahukanlah aku. Manakala kami telah selesai, kami memberitahu beliau, kemudian beliau melemparkan kain kepada kami dan bersabda, ‘Jadikanlah kain ini sebagai pembungkusnya.’” [4]<br />
<br />
Dari Ummu ‘Athiyah Radhiyallahu anhuma juga, dia berkata, “Kemudian kami menganyam (mengepang) rambutnya menjadi tiga bagian, sepertiga di bagian depan kepala dan sepertiga lainnya di dua ba-gian samping kepalanya.” [5]<br />
<br />
Masih dari riwayatnya juga, dia berkata, “Lalu kami mengepang rambutnya menjadi tiga kepangan dan kami menaruhnya ke belakang.” [6]<br />
<br />
Orang Yang Mengurus Pemandian<br />
Orang yang mengurusi proses pemandian mayit hendaklah orang yang paling mengetahui tentang sunnah-sunnah pemandian mayit, terlebih lagi apabila dia termasuk dari keluarga mayit, karena yang mengurusi pemandian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah keluarga beliau. Sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku memandikan jenazah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu aku coba memperhatikan jenazahnya, maka aku tidak menemukan padanya hal-hal yang biasa terjadi pada jenazah yang lainnya. Sungguh beliau adalah orang yang sangat baik jasadnya, baik ketika hidup atau wafatnya.”[7]<br />
<br />
Dan wajib bagi laki-laki untuk menangani pemandian mayit laki-laki, begitu pula mayit wanita, yang wajib menanganinya adalah kaum wanita. Dan dikecualikan dari hukum ini suami isteri, boleh bagi salah seorang di antara mereka untuk memandikan yang lainnya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwasanya ia berkata, “Seandainya apa yang telah berlalu bisa diulang kembali, maka aku tidak akan membiarkan jenazah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dimandikan oleh selain isteri-isteri beliau.” [8]<br />
<br />
Masih dari riwayat ‘Aisyah Rahiyallahu anhuma, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang kepadaku seusai mengantar jenazah ke kuburan Baqi’, dan saat itu aku sedang menderita sakit kepala, lalu kukatakan kepadanya sambil mengeluh, ‘Kepalaku pusing sekali.’ Maka beliau bersabda:<br />
<br />
بَلْ أَنَا وَارَأْسَاهُ, مَاضَرَّكِ لَوْ مُتِّ قَبْلِي فَغَسَّلْتُكِ وَكَفَّنْتُكِ ثُمَّ صَلَّيْتُ عَلَيْكِ وَدَفَنْتُكِ.<br />
<br />
“Bahkan aku sakit kepala juga. Apa rugimu jika engkau mendahuluiku meninggal dunia, karena nantinya aku yang akan memandikanmu, mengkafanimu, kemudian menshalatimu dan menguburkanmu.” [9]<br />
<br />
Perhatian:<br />
Tidak disyari’atkan memandikan orang yang mati syahid di medan perang, berdasarkan hadits Jabir Radhiyallahu anhua, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
اِدْفَنُوهُمْ فيِ دِمَائِهِمْ -يَعْنِي يَوْمَ أُحُدٍ- وَلَمْ يَغْسِلْهُمْ.<br />
<br />
“Kuburkanlah mereka dengan kondisi berdarah (para syuhada perang Uhud).” Dan mereka pun tidak memandikannya. [10]<br />
<br />
Hak Kedua: Mengkafaninya<br />
Dasar hukum wajibnya diambil dari perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits orang muhrim yang wafat karena terlempar dari untanya, beliau berkata:<br />
<br />
اِغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ, وَكَفِّنُوْهُ فِي ثَوْبَيْنِ.<br />
<br />
“Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara, kemudian kafanilah ia dengan dua lembar kain….” [11]<br />
<br />
Kain kafan atau pun harganya hendaklah diambil dari harta si mayit, walaupun dia tidak meninggalkan harta kecuali harta yang digunakan untuk membeli kain tersebut. Hal ini berdasarkan hadits Khabbab bin al-Art, ia berkata, “Kami berhijrah (berjihad) bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya mengharap ridha Allah semata, maka Allah akan melimpahkan pahala kepada kami, di antara kami ada yang belum sempat menikmati hasil kemenangan (hasil rampasan perang), seperti Mush’ab bin ‘Umair, dan di antara kami ada yang beruntung menikmati hasil kemenangan tersebut. Mush’ab terbunuh di perang Uhud dan saat itu kami tidak mendapatkan padanya sesuatu pun untuk mengkafaninya kecuali sepotong kain yang jika kami tutup dengannya kepalanya, maka tampaklah kakinya. Dan jika kami tutup kakinya, maka akan tampak kepalanya, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menutup kepalanya dan menutupi kakinya dengan idzkhir (rumput-rumputan yang harum baunya).” [12]<br />
<br />
Ukuran yang wajib dari kain kafan adalah kain yang bisa menutupi seluruh jasad mayit, jika tidak ditemukan kecuali kain pendek yang tidak cukup untuk menutupi semua badannya, maka kepalanya ditutup dengan kain tersebut kemudian ditutupi kakinya dengan idzkhir, seperti dalam hadits Khabbab.<br />
<br />
Disunnahkan dalam kain kafan beberapa hal:<br />
1. Berwarna putih, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :<br />
<br />
اِلْبَسُوْا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضِ, فَإِنَّهَا خَيْرُ ثِيَابِكُمْ, وَكَفِّنُوْا فِيْهَا.<br />
<br />
“Kenakanlah dari pakaian kalian yang berwarna putih karena ia merupakan pakaian yang terbaik, dan kafanilah dengannya.” [13]<br />
<br />
2. Hendaklah jumlah kain yang digunakan sebanyak tiga lembar.<br />
Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anuma, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dikafani dengan tiga lembar kain dari Yaman berwarna putih yang dinamakan dengan Suhul (tempat di Yaman) dari kain katun, tidak ada padanya gamis maupun sorban.” [14]<br />
<br />
3. Jika memungkinkan hendaklah salah satu dari kain tersebut kain yang bergaris.<br />
Sebagaimana dalam hadits Jabir Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
إِذَا تُوُفِّيَ أَحَدُكُمْ فَوَجَدَ شَيْئًا فَلْيُكَفِّنْ فيِ ثَوْبٍ حِبَرَةٍ.<br />
<br />
“Jika salah seorang dari kalian meninggal sedang dia mampu, maka hendaklah dia dikafani dengan kain hibarah•.”<br />
<br />
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]<br />
_______<br />
Footnote<br />
[1]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari III/135, no. 1265), Shahiih Muslim (II/865, no. 1206) Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud IX/63, no. 3222), Sunan at-Tirmidzi (II/214, no. 958), Sunan an-Nasa-i (V/195).<br />
[2]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/132, no. 1259), Sha-hiih Muslim (II/647, no. 939 (39)).<br />
[3]. Muttafaq ‘alaihi: Shahih al-Bukhari (Fat-hul Baari (III/130, no. 1255)), Shahiih Muslim (II/648/43-939).<br />
* Al-Hiqwah, yaitu sarung.<br />
* Asy’irnaha iyah, yaitu jadikanlah sarung/kain ini sebagai pembungkusnya.<br />
[4]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari III/125, no. 1253), Shahiih Muslim (II/464, no. 939), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud (VIII/416, no. 3126)), Sunan at-Tirmidzi (II/229, no. 995), Sunan Ibni Majah (I/468, no. 1458), Sunan an-Nasa-i (V/28).<br />
[5]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/125, no. 133, 134, 1262, 1263), Shahiih Muslim (II/646, no. 939), dan Sunan an-Nasa-i (IV/30).<br />
[6]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/125/133, 134, 1262, 1263), Shahiih Muslim (II/646, no. 939), Sunan an-Nasa-i (IV/30).<br />
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1198)], [Ahkaamul Janaa-iz (hal. 50], Sunan Ibni Majah (I/471, no. 1467).<br />
[8]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1196)], [Ahkaamul Janaa-iz (hal. 49], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VIII/413, no. 3125), Sunan Ibni Majah (I/470, no. 1464).<br />
[9]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1197)], [Ahkaamul Janaa-iz (hal. 50)], Sunan Ibni Majah (I/470, no. 1465).<br />
[10]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1893)], [Ahkaamul Janaa-iz, hal. 54-55], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/212, no. 1346), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VIII/412, no. 3122), Sunan an-Nasa-i (IV/62), Sunan at-Tirmidzi (II/250, no. 1041).<br />
[11]. Telah berlalu takhrijnya.<br />
[12]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/142, no. 1276), Shahiih Muslim (II/649, no. 940), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VIII/78, no. 2859), Sunan an-Nasa-i (IV/38), Sunan at-Tirmidzi (V/354, no. 3943).<br />
[13]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 3236)], [Ahkaamul Janaa-iz (no. 62)], Sunan at-Tirmidzi (II/232, no. 999), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (X/362, no. 3860).<br />
[14]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/135, no. 1264), Shahiih Muslim (II/649, no. 941), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VIII/425, no. 3135), Sunan at-Tirmidzi (II/233, no. 1001), Sunan an-Nasa-i (IV/36), Sunan Ibni Majah (I/472, no. 1469).<br />
• Hibarah (dengan mengkasrahkan huruf ha' dan memfat-hahkan huruf ba'), yaitu kain yang bergaris.<br />
[15]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 455)], [Ahkaamul Janaa-iz (no. 63)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VIII/425, no. 3134Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-43991459372780756622012-03-07T05:28:00.002-08:002012-03-07T05:28:44.693-08:00U M R A HUmrah termasuk ibadah yang paling mulia dan yang paling utama, dengan ibadah ini Allah akan mengangkat derajat hamba-Nya dan mengampuni dosa-dosanya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menganjurkan untuk berumrah, baik melalui perkataan maupun perbuatan, beliau bersabda:<br />
<br />
اَلْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا.<br />
<br />
“Umrah ke umrah adalah penghapus dosa antara keduanya.” [1]<br />
<br />
Beliau juga bersabda:<br />
<br />
تَابِعُوْا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوْبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ.<br />
<br />
“Iringilah antara ibadah haji dan umrah karena keduanya meniadakan dosa dan kefakiran, sebagaimana alat peniup api menghilangkan kotoran besi, emas dan perak.” [2]<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan ibadah umrah dan para Sahabat pun menunaikan ibadah umrah bersama beliau ketika beliau hidup maupun setelah beliau wafat.<br />
<br />
Rukun-Rukun Umrah<br />
1. Ihram<br />
Yaitu niat memulai umrah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam:<br />
<br />
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ.<br />
<br />
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.” [3]<br />
<br />
2,3. Thawaf dan Sa’i<br />
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br />
<br />
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ<br />
<br />
“...Dan hendaklah mereka melakukan Thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” [Al-Hajj: 29]<br />
<br />
Firman-Nya:<br />
<br />
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِ اللَّهِ<br />
<br />
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah...” [Al-Baqarah: 158]<br />
<br />
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:<br />
<br />
اِسْعَوْا، إنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْيَ.<br />
<br />
“Kerjakanlah sa’i, sesungguhnya Allah telah mewajibkan sa’i atas kalian.” [4]<br />
<br />
4. Mencukur rambut atau memendekkannya<br />
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
مَنْ لَمْ يَكُنْ مِنْكُمْ هَدْىَ فَلْيَطُفْ بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَلْيُقَصِّرْ وَلْيُحَلِّلْ.<br />
<br />
“Barangsiapa di antara kalian yang tidak membawa hewan kurban, hendaknya ia thawaf di Baitullah, sa’i antara Shafa dan Marwah, kemudian memendekkan rambut dan bertahallul.”<br />
<br />
Hal-Hal Yang Diwajibkan Dalam Umrah<br />
Bagi orang yang hendak menunaikan ibadah umrah wajib berihram dari miqat, jika ia tinggal di luar miqat. Apabila ia tinggal dalam batas miqat, maka ia berihram dari rumahnya. Adapun orang yang tinggal di kota Makkah, mereka harus keluar ke daerah halal dan berihram dari sana, berdasarkan sabda Rasulullah j ke-pada ‘Aisyah agar berihram dari Tan’im.[5]<br />
<br />
Waktu Umrah<br />
Seluruh hari dalam setahun adalah waktu untuk umrah, kecuali umrah di bulan Ramadhan lebih utama daripada waktu yang lainnya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :<br />
<br />
عُمْرَةٌ فِيْ رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً.<br />
<br />
“Umrah di bulan Ramadhan menyamai pahala haji” [6]<br />
<br />
Diperbolehkan Umrah Sebelum Haji<br />
Dari ‘Ikrimah bin Khalid, bahwa ia pernah bertanya tentang umrah sebelum haji kepada Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Tidak mengapa.” Berkata ‘Ikrimah, “Ibnu ‘Umar berkata, ‘Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan ibadah umrah sebelum menunaikan ibadah haji.’”[7]<br />
<br />
Menunaikan Ibadah Umrah Berkali-kali<br />
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam umrah empat kali dalam empat tahun, beliau tidak pernah menunaikan lebih dari satu kali umrah dalam satu kali perjalanan. Hal ini tidak pernah dilakukan oleh orang-orang yang bersama beliau dari para Sahabat. Tidak pernah diriwayatkan bahwa salah seorang di antara mereka menjamak dua umrah dalam satu perjalanan, baik pada saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup maupun setelah beliau wafat. Kecuali ‘Aisyah ketika haidh dalam hajinya bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau memerintahkan kakak ‘Aisyah, ‘Abdurrahman bin Abi Bakar, agar menemani ‘Aisyah keluar menuju Tan’im, guna berihram untuk umrah. Sebab ‘Aisyah menyangka umrah yang ia gabung dengan haji itu batal, ia pun menangis, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkannya umrah kembali guna mengibur hatinya.<br />
<br />
Umrah yang dikerjakan oleh ‘Aisyah ini khusus bagi ‘Aisyah dengan dalil bahwa tidak pernah diketahui dari salah seorang Sahabat pun, baik laki-laki maupun wanita, yang menunaikan umrah setelah haji dari Tan’im, sebagaimana yang dikerjakan ‘Aisyah. Seandainya mereka mengetahui bahwa yang dikerjakan ‘Aisyah itu disyari’atkan bagi mereka setelah menunaikan ibadah haji niscaya akan banyak riwayat yang dinukil dalam hal ini. Berkata Imam asy-Syaukani, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah umrah keluar ke tanah halal kemudian masuk Makkah lagi dengan umrah, seperti apa yang dikerjakan oleh manusia pada zaman ini. Dan tidak ada riwayat dari para Sahabat bahwa mereka mengerjakan hal ini.”<br />
<br />
Sebagaimana umrah berkali-kali (setelah haji) tidak ada riwayatnya dari seorang Sahabat pun, tidak ada riwayat dari mereka mengulang-ulang umrah dalam setahun. Mereka dahulu pergi menuju Makkah sendiri-sendiri atau berjama’ah, mereka mengetahui bahwa umrah adalah kunjungan untuk thawaf di Baitullah dan sa’i antara Shafa dan Marwah. Mereka juga mengetahui secara yakin bahwa thawaf di Baitullah lebih utama dari sa’i.<br />
<br />
Lalu ganti dari itu semua adalah orang-orang itu menyibukkan diri keluar ke Tan’im dan sibuk dengan umrah baru setelah umrah yang mereka kerjakan dan yang lebih utama adalah mereka itu thawaf di Baitullah (daripada mengulang-ulang umrah). Telah kita ketahui bahwa waktu yang dipakai oleh seseorang keluar ke Tan‘im melakukan ihram untuk umrah baru, dapat dipakai thawaf di Baitullah ratusan putaran. Thawus berkata, “Aku tidak mengetahui orang yang berumrah dari Tan’im apakah akan diberi pahala atau akan diadzab!!” Dikatakan kepadanya, “Diadzab?” Ia berkata, “Karena dia meninggalkan thawaf di Baitullah dan keluar empat mil, kemudian datang lagi. Waktu yang ia pakai sampai ia tiba kembali bisa dipakai thawaf dua ratus putaran. Setiap ia thawaf di Baitullah lebih utama daripada ia berjalan untuk sesuatu yang tidak ada gunanya.”<br />
<br />
Pendapat yang mengatakan bahwa tidak disyari’atkannya mengulang-ulang umrah adalah pendapat yang didukung oleh Sunnah amalan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan didukung oleh amalan para Sahabat رضوان الله عليهم. Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kita agar berpegang teguh kepada Sunnahnya dan Sunnah Khulafaur Rasyidin setelah beliau. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ.<br />
<br />
“Berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk sesudahku, gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.”<br />
<br />
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]<br />
_______<br />
Footnote<br />
[1]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/597, no. 1773), Shahiih Muslim (II/983, no. 1349), Sunan at-Tirmidzi (II/206, no. 937), Sunan an-Nasa-i (V/115), Sunan Ibni Majah (II/964, no. 2888).<br />
[2]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2899)], Sunan at-Tirmidzi (II/153, no. 807), Sunan an-Nasa-i (V/115).<br />
[3]. Hadits ini sudah pernah dibawakan<br />
[4]. Hadits ini sudah pernah dibawakan.<br />
[5]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/606, no. 1784), Shahiih Muslim (II/885, no. 1212), Sunan Abi Dawud (V/474, no. 1979), Sunan at-Tirmidzi (II/206, no. 938), Sunan Ibni Majah (II/997, no. 2999).<br />
[6]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shagiir (no. 4097)], Sunan at-Tirmidzi (II/208, no. 943), Sunan Ibni Majah (II/996, no. 2993).<br />
[7]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 862)], Shahiih al-Bukhari (III/598, no. 1774).Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-13732360425798715852012-03-07T05:26:00.003-08:002012-03-07T05:26:57.497-08:00HAL-HAL YANG MEMBATALKAN HAJI•Haji batal karena salah satu dari dua perkara berikut:<br />
1. Berhubungan intim<br />
Jika dilakukan sebelum melempar jumrah ‘Aqabah, apabila dilakukan setelah melempar jumrah ‘Aqabah dan sebelum thawaf Ifadhah hajinya tidak batal walaupun demikian ia berdosa.<br />
<br />
Sebagian ulama berpendapat bahwa hubungan intim tidak membatalkan haji karena tidak ada dalil yang jelas mengenai hal ini.<br />
<br />
2. Meninggalkan salah satu rukun dari rukun-rukun haji<br />
Apabila haji seseorang batal karena salah satu dari dua perkara ini, maka wajib baginya berhaji kembali tahun berikutnya apabila ia mampu, sebagaimana yang telah kami jelaskan tentang makna mampu. Jika tidak, maka pada waktu ia mampu untuk ber-haji, karena kewajiban haji bersifat segera setelah ada kemampuan.<br />
<br />
Hal-Hal yang Diharamkan Di Kedua Kota Haram (Makkah dan Madinah):•<br />
Terdapat satu hadits dalam ash-Shahiihain dan kitab yang lainnya, dari ‘Ubbad bin Tamim dari pamannya, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
إِنَّ إِبْرَاهِيْمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَدَعَا ِلأَهْلِهَا، وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ كَمَا حَرَّمَ إِبْرَاهِيْمُ مَكَّةَ.<br />
<br />
“Sesungguhnya Ibrahim mengharamkan kota Makkah dan mendo’akan penghuninya, serta aku mengharamkan kota Madinah sebagaimana Ibrahim mengharamkan kota Makkah.”<br />
<br />
Pengharaman dua kota suci ini adalah wahyu yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada kedua Nabi dan Rasul-Nya, semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada keduanya. Jika disebut dua kota haram, maka keduanya adalah Makkah dan Madinah. Tidak boleh memutlakkan kata haram secara syar’i kecuali untuk kedua kota ini, tidak boleh memutlakkan kata haram secara syar’i untuk Masjid Aqsha, tidak juga untuk Masjid Ibrahim al-Khalil, karena wahyu tidak menamakan haram kecuali Makkah dan Madinah. Ini adalah penetapan hukum, akal manusia tidak mempunyai peran dalam hal ini.<br />
<br />
Dalam dua kota haram ini diharamkan beberapa hal, apabila seseorang hidup di dalam kedua kota ini ia tidak boleh mengerjakan hal yang diharamkan tersebut atau orang yang datang berkunjung untuk menunaikan ibadah haji atau umrah atau untuk kepentingan lainnya.<br />
<br />
Hal-hal yang dilarang itu sebagai berikut:<br />
1. Memburu hewan dan burung, mengejarnya atau membantu untuk mengerjakan hal tersebut<br />
2. Memotong pepohonan dan durinya kecuali sangat dibutuhkan dan dalam keadaan darurat<br />
3. Membawa senjata<br />
4. Memungut barang temuan di tanah haram Makkah bagi orang yang menunaikan ibadah haji. Adapun bagi orang yang bermukim di sana ia boleh mengambilnya, lalu mengumumkannya. Perbedaan antara orang yang berhaji dengan orang yang bermukim di sana jelas.<br />
<br />
Aku berkata, “Adapun dalil dari hal-hal yang terlarang ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada hari penaklukan kota Makkah:<br />
<br />
فَإِنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمَهُ اللهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ، وَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَإِنَّهُ لَمْ يَحِلَّ الْقِتَالُ فِيْهِ ِلأَحَدٍ قَبْلِي، وَلَمْ يَحِلَّ لِي إِلاَّ سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ، فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لاَ يُعْضَدُ شَوْكُهُ، وَلاَ يُنَفَّرُ صَيْدُهُ، وَلاَ يَلْتَقِطُ لُقَطَتَهُ إِلاَّ مَنْ عَرَّفَهَا، وَلاَ يُخْتَلَى خَلاَهَا، قَالَ الْعَبَّاسُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِلاَّ اْلإِذْخِرَ، فَإِنَّهُ لِقَيْنِهِمْ وَلِبُيُوْتِهِمْ. فَقَالَ: إِلاَّ اْلإِذْخِرَ.<br />
<br />
“Sesungguhnya kota ini adalah kota yang diharamkan Allah pada hari Dia menciptakan langit dan bumi. Kota ini haram dengan keharaman dari Allah sampai hari Kiamat. Sesungguhnya tidak halal berperang dalam kota ini untuk seorang pun sebelumku, kota ini tidak dihalalkan bagiku kecuali sebentar, pada siang hari. Kota ini haram dengan keharaman dari Allah sampai hari Kiamat. Duri pepohonan yang tumbuh di dalamnya tidak boleh dipotong, binatang buruan yang ada di dalamnya tidak boleh dikejar, tidak boleh mengambil barang temuan kecuali untuk diumumkan dan tidak boleh memotong pepohonan.” ‘Abbas berkata, “Wahai Rasulullah, kecuali tumbuhan idzkhir, sebab kami menggunakannya di kuburan dan di rumah kami.” Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Kecuali tumbuhan izdkhir.” [1]<br />
<br />
Dan dari Jabir, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
لاَ يَحِلُّ ِلأَحَدِكُمْ أَنْ يَحْمِلَ بِمَكَّةَ السِّلاَحَ.<br />
<br />
“Tidak halal bagi salah seorang di antara kalian membawa senjata di kota Makkah.” [2]<br />
<br />
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda (yaitu tentang kota Madinah):<br />
<br />
لاَ يُخْتَلَى خَلاَهَا وَلا يُنَفَّرُ صَيْدُهَا وَلا يُلْتَقَطُ لُقَطَتَهَا إِلاَّ لِمَنْ أَشَادَ بِهَا [أَنْشَادَهَا] وَلاَ يَصْلُحُ لِرَجُلٍ أَنْ يَحْمِلَ فِيْهَا السِّلاَحَ لِقِتَالٍ وَلاَ يَصْلُحُ أَن يُقْطَعَ مِنْهَا شَجَرَةٌ إِلاَّ أَنْ يَعْلِفَ رَجُلٌ بَعِيْرَهُ.<br />
<br />
“Pepohonan yang tumbuh di dalamnya tidak boleh dipotong, binatang buruan yang ada di dalamnya tidak boleh di kejar, barang temuan tidak boleh diambil kecuali untuk diumumkan, tidak boleh bagi seseorang membawa senjata untuk berperang di dalamnya dan tidak boleh memotong pepohonan kecuali untuk memberi makan unta.” [3]<br />
<br />
Syaikh Syaqrah berkata, “Barangsiapa yang mengerjakan salah satu dari larangan ini, maka ia telah berdosa, ia harus bertaubat dan beristighfar, kecuali hewan buruan bagi seseorang yang berihram, ia harus menyembelih hewan kurban sebagai denda dan tambahan bagi taubat serta istighfarnya.”<br />
<br />
Denda Membunuh Hewan Buruan Di Kota Haram<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ ۚ وَمَن قَتَلَهُ مِنكُم مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَٰلِكَ صِيَامًا لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انتِقَامٍ<br />
<br />
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Mahakuasa lagi mempunyai (kekua-saan untuk) menyiksa.” [Al-Maa-idah: 95]<br />
<br />
Ibnu Katsir berkata dalam Tafsiirnya (II/98), “Ayat ini adalah pengharaman dari Allah Subhanahu wa Ta'ala membunuh hewan buruan ketika berihram dan larangan mengambilnya. Larangan ini menurut makna ayat mencakup hewan yang dapat dimakan, walaupun dilahirkan di situ atau dilahirkan dari tempat lain. Adapun hewan darat yang tidak bisa dimakan menurut madzhab Syafi’i boleh dibunuh oleh orang yang sedang berihram, sedangkan Jumhur ulama berpendapat tidak boleh dibunuh, tidak ada yang dikecualikan dari hewan-hewan tersebut kecuali hewan yang disebutkan pada hadits shahih dalam ash-Shahiihain dari jalan az-Zuhri dari ‘Urwah dari ‘Aisyah, Ummul Mukminin bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: الْغُرَابُ وَالْحِدَأَةُ، وَالْعَقْرَبُ وَالْفَأْرَةُ، وَالْكَلْبُ الْعَقُوْرُ.<br />
<br />
"Ada lima binatang jahat yang boleh dibunuh baik di tanah halal maupun tanah haram : burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus dan anjing galak.’”[4]<br />
<br />
Ia (Ibnu Katsir) berkata, “Menurut pendapat jumhur orang yang sengaja atau tidak sengaja membunuh (hewan yang dilarang) sama-sama berkewajiban membayar denda.<br />
<br />
Berkata az-Zuhri, ayat al-Qur-an menunjukkan kewajiban membayar denda bagi orang yang sengaja membunuh dan Sunnah mewajibkan denda bagi orang yang tidak sengaja. Makna perkataan ini, bahwa ayat al-Qur-an menunjukkan kewajiban membayar den-da bagi orang yang membunuh dengan sengaja dan orang tersebut berdosa, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:<br />
<br />
لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ<br />
<br />
“... Supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksa-nya...” [Al-Maa-idah: 95]<br />
<br />
Dalam Sunnah ada hukum dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dari Sahabat beliau akan wajibnya denda bagi orang yang salah membunuh (tidak sengaja), sebagaimana halnya al-Qur-an menunjukkan kewajiban denda bagi orang yang sengaja membunuh. Tinjauan lain, orang yang membunuh buruan di tanah haram telah merusak, orang yang merusak harus mengganti, baik ia sengaja maupun tidak sengaja, namun orang yang sengaja, maka ia berdosa dan orang yang salah membunuh (tidak sengaja) tidak tercela.’”<br />
<br />
Ia (Ibnu Katsir) berkata, “Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br />
<br />
لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ<br />
<br />
"... Supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksa-nya...” [Al-Maa-idah: 95]<br />
<br />
Merupakan dalil bagi pendapat Imam Malik, Imam asy-Syafi’i dan Jumhur ulama akan wajibnya denda dengan hewan semisal bagi orang yang berihram. Hal ini wajib apabila ia memiliki hewan peliharaan. Apabila tidak ada yang semisal dengan hewan buruan itu. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma telah menghukumi dengan mengganti harga hewan buruan tersebut kemudian dibawa ke Makkah. Diriwayat-kan oleh al-Baihaqi.”[5]<br />
<br />
Beberapa Contoh Hukum Yang Diputuskan Oleh Nabi Dan Para Sahabat Beliau Dalam Penentuan Hewan Semisal<br />
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang dhab’u (hewan sejenis anjing hutan).” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
هُوَ صَيْدٌ وَيُحْمَلُ فِيْهِ كَبْشٌ إِذَا صَادَهُ الْمُحْرِمُ.<br />
<br />
“Ia termasuk hewan buruan, jika seorang yang berihram memburunya, dendanya adalah seekor kambing.” [6]<br />
<br />
Dari Jabir bahwa ‘Umar bin al-Khaththab telah memutuskan seekor kambing sebagai denda untuk dhab’u, kambing betina untuk kijang, anak kambing betina untuk kelinci, anak kambing yang berumur empat bulan untuk yarbu’ (hewan sejenis tikus).”[7]<br />
<br />
Dari Ibnu ‘Abbas, “Bahwa ia memutuskan denda bagi seseorang yang sedang berihram jika membunuh burung merpati di tanah haram adalah, seekor kambing bagi seekor burung.” [8]<br />
<br />
Ibnu Katsir berkata (II/100), “Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br />
<br />
هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ<br />
<br />
“Sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah.” [Al-Maa-idah: 95]<br />
<br />
Maknanya adalah sampai ke Ka’bah. Maksudnya, hewan kurban itu sampai ke tanah haram dan disembelih di sana, lalu dagingnya dibagi untuk orang-orang miskin di tanah haram. Ini adalah cara yang disepakati.<br />
<br />
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br />
<br />
أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَٰلِكَ صِيَامًا<br />
<br />
“...Atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu...” [Al-Maa-idah: 95]<br />
<br />
Maksudnya jika seorang yang berihram tidak memiliki hewan ternak yang semisal dengan hewan yang ia bunuh atau hewan buruan itu tidak termasuk hewan yang dapat dimisalkan dengan hewan lain atau kita katakan dia bebas memilih dalam permasa-lahan ini antara membayar denda atau memberi makan orang miskin atau berpuasa, karena jelasnya kata “yaitu” dalam ayat tersebut. Gambarannya, ia menyamakan harga hewan buruan yang terbu-nuh atau yang semisalnya, kemudian ia membeli makanan untuk disedekahkan, satu orang miskin diberi satu mudd. Apabila ia tidak menjumpai (makanan) atau kita katakan ia boleh memilih, ia boleh berpuasa dengan menghitung satu hari untuk satu orang miskin.”<br />
<br />
Selesai dengan sedikit perubahan.<br />
<br />
Denda Bagi Orang Yang Berhubungan Intim Pada Saat Menunaikan Ibadah Haji.<br />
Barangsiapa yang berhubungan intim sebelum tahallul pertama, maka hajinya batal dan wajib baginya membayar denda satu ekor unta atau sapi. Apabila ia berhubungan intim setelah tahallul pertama sebelum tahallul kedua, wajib baginya membayar denda satu ekor kambing dan hajinya tidak batal.<br />
<br />
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma: “Beliau pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berhubungan intim dengan isterinya sedangkan ia berihram, ia sedang berada di Mina dan belum melakukan thawaf Ifadhah, maka beliau memerintahkannya agar menyem-belih satu ekor unta atau sapi.” [9]<br />
<br />
Dari ‘Amr bin Syu’aib Radhiyallahu anhuma dari ayahnya bahwa seorang laki-laki mendatangi ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma menanyakan tentang seorang yang berhubungan intim dengan seorang wanita sedangkan dia berihram. Kemudian beliau menunjuk kepada ‘Abdullah bin ‘Umar dan berkata, “Pergilah ke orang itu dan bertanyalah kepadanya.” Laki-laki itu tidak mengenalnya (‘Abdullah bin ‘Umar), maka aku pun pergi dengannya. Laki-laki itu pun bertanya kepada Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Umar menjawab, “Hajimu batal.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Sekarang apa yang harus aku lakukan?” “Pergilah bersama orang-orang dan kerjakan apa yang mereka kerjakan, apabila engkau menjumpai tahun depan, berhajilah dan berkurbanlah.” Laki-laki itu kembali lagi ke ‘Abdullah bin ‘Amr, menceritakan apa yang dikatakan Ibnu ‘Umar dan aku masih bersamanya. ‘Abdullah bin ‘Amr berkata lagi kepadanya, “Pergilah ke Ibnu ‘Abbas dan tanyakan kepadanya.” Syu’aib berkata, “Aku pun pergi bersamanya ke Ibnu ‘Abbas lalu ia bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Abbas menjawab sebagaimana jawaban Ibnu ‘Umar. Laki-laki itu kembali lagi kepada ‘Abdullah bin ‘Amr, menceritakan apa yang dikatakan Ibnu ‘Abbas dan aku masih tetap bersamanya. Kemudian laki-laki itu bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Amr, ‘Apa pendapatmu?’ ‘Pendapatku seperti apa yang mereka katakan,’ jawab ‘Abdullah bin ‘Amr.” [10]<br />
<br />
Dari Sa’id bin Jubair, ada seorang laki-laki berihram bersama isterinya untuk umrah, sang isteri telah menyelesaikan manasiknya kecuali memendekkan rambut. Sang suami mencampurinya sebelum ia memendekkan rambut. Kemudian sang suami bertanya kepada Ibnu ‘Abbas tentang hal itu, Ibnu ‘Abbas berkata, “Besar sekali nafsu wanita itu.” Lalu dikatakan kepadanya, “Wanita itu mendengar.” Keduanya menjadi malu karena hal tersebut dan berkata, “Apakah engkau tidak mau memberitahu aku.” Ibnu ‘Abbas berkata kepadanya, “Berkurbanlah.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Apa?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Kurbankan unta atau sapi atau kambing.” Sang isteri bertanya, “Mana yang lebih baik?” “Unta,” jawab Ibnu ‘Abbas.[11]<br />
<br />
Barangsiapa yang tidak mempunyai unta atau kambing hendaknya ia berpuasa tiga hari di waktu haji dan tujuh hari sekembalinya dari haji. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:<br />
<br />
فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ<br />
<br />
“...Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan Haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali...” [Al-Baqarah: 196]<br />
<br />
Lebih afdhal baginya berpuasa sebelum hari ‘Arafah, jika tidak ia boleh berpuasa pada hari-hari Tasyrik, berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah, “Tidak ada keringanan untuk berpuasa pada hari Tasyrik kecuali bagi orang yang tidak mem-punyai sembelihan.” [12]<br />
<br />
Peringatan:<br />
Wanita dalam masalah ini sama dengan laki-laki, sama persis, kecuali jika ia dipaksa untuk berhubungan intim, maka ia tidak perlu berkurban dan hajinya sah berbeda dengan haji suami yang menggaulinya.[13]<br />
<br />
Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Ibnu ‘Abbas bertanya, ‘Aku telah menggauli isteriku sebelum aku menyempurnakan hajiku.’ Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Apabila isterimu membantumu melakukan hal ini, maka setiap kalian harus menyembelih unta yang baik lagi gemuk. Apabila ia tidak membantumu, maka wajib bagimu menyembelih unta yang baik lagi gemuk.’” [14]<br />
<br />
Macam-Macam Dam Dalam Haji:•<br />
1. Dam haji Tamattu’ dan Qiran<br />
Yaitu dam yang diwajibkan bagi orang yang menunaikan ibadah haji atau bertalbiyah meniatkan umrah dan haji tamattu’ atau bertalbiyah meniatkan umrah dan haji qiran, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br />
<br />
مَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ<br />
<br />
"...Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan Haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kem-bali...” [Al-Baqarah: 196]<br />
<br />
2. Dam fidyah<br />
Yaitu dam yang diwajibkan bagi seseorang yang menunaikan ibadah haji apabila ia mencukur rambutnya karena sakit atau sesuatu yg mengganggu, berdasarkan firman Allah Subahnahu wa Ta'ala :<br />
<br />
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ<br />
<br />
“… Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban…” [Al-Baqarah: 196]<br />
<br />
3. Dam tebusan<br />
Yaitu dam yang diwajibkan bagi seseorang yang berihram apabila membunuh hewan buruan darat, adapun membunuh hewan buruan laut tidak mengapa (mengenai dam ini, telah dibahas).<br />
<br />
4. Dam Ihshar<br />
Yaitu dam yang dibayar karena ia tidak bisa menyempurnakan manasiknya karena sakit atau ditahan musuh atau yang lainnya dan ia tidak mensyaratkan apa-apa pada saat ia berihram, ber-dasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:<br />
<br />
ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ<br />
<br />
“... Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat...” [Al-Baqarah: 196]<br />
<br />
5. Dam karena berhubungan intim<br />
Yaitu dam yang diwajibkan bagi orang yang menunaikan ibadah haji apabila ia berhubungan intim di tengah hajinya (hal ini telah dibahas).<br />
<br />
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]<br />
_______<br />
Footnote<br />
• Diambil dari kitab Irsyaadus Saari, karya Syaikh Muhammad Syaqrah.<br />
• Diambil dari kitab Irsyaadus Saari, karya Syaikh Muhammad Syaqrah.<br />
[1]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/46, no. 1834), Shahiih Muslim (II/986, no. 1353), Sunan an-Nasa-i (V/203).<br />
[2]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7645)], Shahiih Muslim (II/989, no. 1356).<br />
[3].Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1790)], Sunan Abi Dawud (VI/20, no. 2018).<br />
[4]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/34, no. 1829), Shahiih Muslim (II/856, no. 1198), Sunan at-Tirmidzi (II/166, no. 839).<br />
[5]. Tafsiir al-Qur-aanil ‘Azhiim (II/99), dari ‘Ikrimah, ia berkata, “Marwan pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas sedangkan kami pada saat itu berada di lembah Azraq, ‘Apa pendapatmu jika kami membunuh hewan buruan di tanah haram dan tidak ada hewan ternak yang dapat menggantikan he-wan itu?” Ibnu Abbas menjawab, “Engkau perkirakan harganya dan bersedekahlah sebesar harga hewan itu kepada orang-orang miskin di Makkah.’”<br />
[6]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3226)], Sunan Abi Dawud (X/274, no. 3783).<br />
[7]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1051)], Muwaththa’ Imam Malik (285/941), al-Baihaqi (V/183).<br />
[8]. Sanadnya shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1056)], al-Baihaqi (V/205).<br />
[9]. Shahih mauquf: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1044)], al-Baihaqi (V/171).<br />
[10]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (IV/234], al-Baihaqi (V/167).<br />
[11]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (IV/233)], al-Baihaqi (V/172).<br />
[12]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1042)], Shahiih al-Bukhari (IV/242, no.1997).<br />
[13]. Irsyaadus Saari.<br />
[14]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1044)], al-Baihaqi (V/168<br />
• Diambil dari kitab Irsyaadus Saari dengan penambahan ayat.Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-33632540718478888392012-03-07T05:25:00.000-08:002012-03-07T05:25:08.919-08:00HAL-HAL YANG TERLARANG KETIKA IHRAMDiharamkan bagi seseorang yang telah berihram melakukan hal-hal sebagai berikut:<br />
<br />
1. Memakai pakaian yang dijahit<br />
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar:<br />
<br />
أَنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ مِنَ الثِّيَابِ؟ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ السَّرَاوِيْلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ الْخِفَافَ، إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ ولْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ، وَلاَ تَلْبَسُوْا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ أَوْ وَرْسٌ.<br />
<br />
“Bahwa seseorang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, pakaian apa yang boleh dipakai oleh orang yang berihram?’ Beliau bersabda, ‘Tidak boleh memakai baju, surban, celana, penutup kepala dan sepatu kecuali seseorang yang tidak memiliki sandal, ia boleh menggunakan sepatu, namun hendaknya ia memotong bagian yang lebih bawah dari mata kaki. Dan hendaknya jangan memakai pakaian yang diolesi minyak Za’faran dan Wars.’” [1]<br />
<br />
Bagi orang yang tidak mempunyai pakaian kecuali celana dan sepatu diberi keringanan memakai celana dan sepatu tanpa dipotong, berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas, ia berkata:<br />
<br />
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ بِعَرَفَاتٍ: مَنْ لَمْ يَجِدِ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيْلَ لِلْمُحْرِمِ.<br />
<br />
“Aku mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah di ‘Arafah, ‘Barangsiapa yang tidak mempunyai sandal hendaknya ia memakai sepatunya dan barangsiapa yang tidak mempunyai izar (kain ihram) hendaknya ia memakai celana, bagi orang yang berihram.’” [2]<br />
<br />
2. Menutup wajah dan kedua tangan bagi wanita<br />
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
لاَ تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسُ الْقُفَّازَيْنِ.<br />
<br />
“Bagi wanita yang berihram tidak boleh memakai niqab (penutup muka/cadar) dan kaos tangan.” [3]<br />
<br />
Ia boleh menutup mukanya jika ada laki-laki yang lewat, berdasarkan hadits Hisyam bin ‘Urwah dari Fatimah binti al-Mundzir, ia berkata, “Kami menutup muka kami sedangkan kami tengah berihram dan bersama kami Asma’ binti Abi Bakar ash-Shiddiq.” [4]<br />
<br />
3. Menutup kepala bagi laki-laki baik dengan surban atau yang lainnya<br />
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu ‘Umar:<br />
<br />
لاَ يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ.<br />
<br />
“Tidak boleh memakai baju dan surban.” [5]<br />
<br />
Namun boleh berteduh dalam kemah atau yang lainnya, berdasarkan hadits Jabir yang lalu, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mendirikan kemah, maka didirikan untuk beliau kemah di Namirah, kemudian beliau mampir di kemah tersebut.”<br />
<br />
4. Memakai minyak wangi<br />
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu ‘Umar:<br />
<br />
وَلاَ تَلْبَسُوْا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ أَوْ وَرْسٌ.<br />
<br />
“Dan hendaknya jangan memakai pakaian yang diolesi minyak Za’faran dan Wars.” [6]<br />
<br />
Juga sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang orang yang masih dalam ihramnya kemudian ia terjatuh dari untanya sehingga lehernya patah:<br />
<br />
وَلاَ تُحَنِّطُوْهُ، وَلاَ تُخَمِّرُوْا رَأْسَهُ، فَإِنَّ اللهَ يَبْعَثُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا.<br />
<br />
“Jangan diberi minyak wangi dan kepalanya jangan ditutup, karena sesungguhnya Allah akan membangkitkannya pada hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah.” [7]<br />
<br />
5,6. Memotong kuku dan menghilangkan rambut, baik dengan cara mencukur atau memendekkan atau dengan cara lainnya<br />
<br />
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br />
<br />
وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ<br />
<br />
"... Jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai ke tempat penyembelihannya... [Al-Baqarah: 196].<br />
<br />
Para ulama juga sepakat akan haramnya memotong kuku bagi orang yang berihram.<br />
<br />
Bagi orang yang terganggu dengan keberadaan rambutnya boleh mencukur rambut tersebut dan ia wajib membayar fidyah (denda), berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br />
<br />
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ<br />
<br />
“... Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepa-lanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban...” [Al-Baqarah: 196]<br />
<br />
Dan hadits yang diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah:<br />
<br />
أَنَّ النَّبِيَّ مَرَّ بِهِ وَهُوَ بِالْحُدَيْبِيَةِ، قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ مَكَّةَ، وَهُوَ مُحْرِمٌ، وَهُوَ يُوْقِدُ تَحْتَ قِدْرٍ، وَالْقَمْلُ يَتَهَافَتُ عَلَىٰ وَجْهِهِ. فَقَالَ: أَيُؤْذِيْكَ هَوَامُّكَ هٰذِهِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَاحْلِقْ رَأْسَكَ، وَأَطْعِمْ فَرَقاً بَيْنَ سِتَّةِ مَسَاكِيْنَ، (وَالْفَرَقُ ثَلاَثَةُ آصُعٍ) أَوْ صُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ. أَوِ انْسُكْ نَسِيْكَةً.<br />
<br />
“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mampir menemuinya di Hudaibiyah sebelum beliau memasuki kota Makkah. Ka’ab pada saat itu sedang berihram, ia menyalakan api di bawah panci sedangkan kutunya berjatuhan di wajahnya satu demi satu. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepadanya, ‘Apakah kutu-kutu ini mengganggumu.’ ‘Benar,’ jawab Ka’ab. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Cukurlah rambutmu lalu berilah makan sebanyak satu faraq untuk enam orang (satu faraq sama dengan tiga sha’) atau berpuasalah tiga hari atau sembelihlah seekor hewan kurban.’”[8]<br />
<br />
7. Berhubungan intim dan faktor-faktor yang dapat membuatnya tertarik untuk berhubungan intim<br />
8. Mengerjakan kemaksiatan<br />
9. Bermusuhan dan berdebat<br />
<br />
Dalil pengharaman tiga poin ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br />
<br />
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ<br />
<br />
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang-siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerja-kan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasiq dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” [Al-Baqarah: 197]<br />
<br />
10,11. Melamar dan menikah<br />
Berdasarkan hadits ‘Utsman bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ، وَلاَ يَخْطُبُ، وَلاَ يُخْطَبُ عَلَيْهِ.<br />
<br />
“Orang yang sedang berihram dilarang menikah dan menikahkan serta melamar dan dilamar.”<br />
<br />
12. Membunuh atau menyembelih hewan buruan darat atau mengisyaratkan atau memberi tanda untuk membunuh hewan buruan tersebut.<br />
<br />
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br />
<br />
وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا<br />
<br />
“... Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram...” [Al-Maa-idah: 96]<br />
<br />
Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beberapa orang Sahabat bertanya tentang keledai betina yang diburu oleh Abu Qatadah, ia pada saat itu tidak sedang berihram sedangkan yang lainnya berihram. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya:<br />
<br />
أَمِنْكُمْ أَحَدٌ أَمَرَهُ أَنْ يَحْمِلَ عَلَيْهَا أَوْ أَشَارَ إِلَيْهَا؟ قَالُوْا: لاَ قَالَ: فَكُلُوْا.<br />
<br />
“Apakah ada salah seorang di antara kalian memerintahkan agar ia memburu keledai itu, atau memberi isyarat ke keledai itu?” “Tidak,” jawab mereka. Beliau bersabda, “Makanlah.” [9]<br />
<br />
13. Makan hewan buruan yang diburu untuknya atau yang ia isyaratkan untuk diburu, atau yang diburu dengan bantuannya<br />
Berdasarkan apa yang difahami dari sabda beliau:<br />
<br />
أَمِنْكُمْ أَحَدٌ أَمَرَهُ أَنْ يَحْمِلَ عَلَيْهَا أَوْ أَشَارَ إِلَيْهَا؟ قَالُوْا: لاَ، قَالَ: فَكُلُوْا.<br />
<br />
“Apakah ada salah seorang di antara kalian memerintahkan agar ia memburu keledai itu atau memberi isyarat ke keledai itu?” “Tidak,” jawab mereka. Beliau bersabda, “Makanlah.” [10]<br />
<br />
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]<br />
_______<br />
Footnote<br />
[1]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/401, no. 1542), Shahiih Muslim (II/834, no. 1177), Sunan Abi Dawud (V/269, no. 1806), Sunan an-Nasa-i (V/129).<br />
[2]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/57, no. 1841), Sunan an-Nasa-i (V/132), Shahiih Muslim (II/835, no. 1178), Sunan at-Tirmidzi (II/165, no. 835), Sunan Abi Dawud (V/275, no. 1812).<br />
[3]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1022)], Shahiih al-Bukhari (IV/52, no. 1838), Sunan Abi Dawud (V/271, no. 1808), Sunan an-Nasa-i (V/133), Sunan at-Tirmidzi (II/164, no. 834).<br />
[4]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1023)], Muwatha' Imam Malik (224/724), Mus-tadrak al-Hakim (I/454).<br />
[5]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1012)].<br />
[6]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/401, no. 1542), Shahiih Muslim (II/ 834, no. 117), Sunan Abi Dawud (V/269, no. 1806), Sunan an-Nasa-i (V/129<br />
[7]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/135, no. 1265), Shahiih Muslim (II/865, no. 1206), Sunan Abi Dawud (IX/63, no. 3223-3222), Sunan an-Nasa-i (V/196).<br />
[8]. Muttafaq 'alaih: Shahiih Muslim (II/861, no. 1201 (83)) ini adalah lafazh beliau, Shahiih al-Bukhari (IV/12, no. 1814), Sunan Abi Dawud (V/309, no. 1739), Sunan an-Nasa-i (V/194), Sunan at-Tirmidzi (II/214, no. 960), Sunan Ibni Majah (II/1028, no. 3079).<br />
[9]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (V/28, no. 1824), Shahiih Muslim (II/853, no. 1196 (60)), Sunan an-Nasa-i (V/186) semisal hadits tersebut.<br />
[10]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (V/28, no. 1824), Shahiih Muslim (II/853, no. 1196 (60)), Sunan an-Nasa-i (V/186) semisal hadits tersebut.Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-19898323896541685552012-03-07T05:23:00.000-08:002012-03-07T05:23:32.984-08:00AMBILLAH MANASIK HAJIMU DARIKU (SIFAT HAJI NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAMImam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya ia berkata, “Kami masuk menemui Ja-bir bin ‘Abdillah, ia bertanya tentang orang yang datang, hingga sampailah padaku, aku pun berkata, ‘Aku Muhammad bin ‘Ali bin Husain.’ Kemudian beliau mengarahkan tangannya ke kepala-ku, membuka baju luarku dan baju dalamku, serta meletakkan tangannya antara kedua putingku sedangkan aku pada saat itu adalah anak yang baru dewasa. Ia berkata, ‘Selamat datang wahai anak saudaraku, bertanyalah apa saja yang engkau kehendaki.’ Aku pun bertanya kepadanya, ia pada saat itu sudah buta. Waktu shalat pun datang, ia berdiri dengan pakaian yang diselimutkan (ke badannya), setiap ia meletakkan pakaian itu di atas pundak, ujung-ujungnya terlepas kembali karena sangat kecilnya pakaian tersebut, sedangkan selendang miliknya ia letakkan pada kayu tempat menggantung pakaian, beliau mengimami kami. Setelah itu aku berkata, ‘Beritahukanlah kepadaku tentang haji Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.’ Beliau pun mengisyaratkan dengan sembilan jarinya, dan berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'laihi wa sallam tinggal (di Madinah), tidak pergi haji selama sembilan tahun, kemudian pada tahun kesepuluh diumumkan kepada halayak bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan berangkat melaksanakan haji. Datanglah ke Madinah manusiayang banyak, semuanya hendak mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengerjakan seperti apa yang dikerjakannya. Kami pun keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga sampailah kami di Dzul Hulaifah. Di situ Asma binti ‘Umaisy melahirkan Muhammad bin Abi Bakar, kemudian ia mengirim pertanyaan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ‘Apa yang harus aku lakukan?’<br />
<br />
Beliau menjawab:<br />
<br />
اِغْتَسِلِي، وَاسْتَثْفِرِي بِثَوْبٍ وَأَحْرِمِي.<br />
<br />
‘Mandilah dan bercawatlah dengan kain (sebagai pembalut), kemudian berihramlah.’<br />
<br />
Setelah itu beliau shalat di masjid dan menunggang Qashwa (unta beliau) hingga apabila unta itu telah sampai di Baida’, aku memandang ke batas pandanganku di depan beliau dari para pengendara dan pejalan kaki, begitu pula di sebelah kanan, kiri dan belakang beliau. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di tengah-tengah kami, kepadanyalah diturunkan al-Qur-an dan beliaulah yang mengetahui tafsirannya, apa yang beliau kerjakan kami kerjakan pula, beliau memulai dengan talbiyah (yang mengandung makna) tauhid:<br />
<br />
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ.<br />
<br />
‘Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Segala puji, nikmat dan kerajaan adalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.’<br />
<br />
Manusia pun ikut bertalbiyah dengan talbiyah ini, yang mereka pakai bertalbiyah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menambah sedikit pun dari talbiyah ini, beliau terus mengulangi talbiyah ini.”<br />
<br />
Jabir Radhiyallahu anhu berkata lagi, “Kami tidak meniatkan kecuali haji, kami tidak mengenal umrah hingga kami sampai di Ka’bah bersama beliau mengusap hajar Aswad, beliau (thawaf sambil) berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama dan berjalan pada empat putaran berikutnya, kemudian pergi ke Maqam Ibrahim Alaihissallam dan membaca:<br />
<br />
وَاتَّخِذُوا مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى<br />
<br />
“... Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat...’” [Al-Baqarah: 125]<br />
<br />
Beliau menjadikan Maqam Ibrahim berada antara beliau dan Ka’bah.<br />
<br />
Ayahku (ayah Ja’far si perawi, yaitu Muhammad) berkata, ‘Aku tidak mengetahui ucapan ini kecuali dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.’ Beliau membaca dalam shalat dua raka’at itu: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ dan قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ . Kemudian beliau kembali mengusap hajar As-wad. Setelah itu beliau menuju Shafa, ketika dekat dengan Shafa beliau membaca:<br />
<br />
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِ اللَّهِ<br />
<br />
“Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebagian dari syi’ar Allah...” [Al-Baqarah: 158]<br />
<br />
أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ.<br />
<br />
“Aku memulai dengan apa yang dimulai oleh Allah.”<br />
<br />
Beliau pun memulai dari bukit Shafa, menanjakinya sampai beliau melihat Ka’bah dan menghadap Kiblat, kemudian beliau mengucapkan kalimat tauhid kepada Allah serta bertakbir, beliau berkata:<br />
<br />
لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكَ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ.<br />
<br />
“Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan, bagi-Nya segala puji dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah semata. Yang melaksanakan janji-Nya, membela hamba-Nya (Muhammad) dan mengalahkan golongan musuh sendirian.”<br />
<br />
Di sela-sela itu itu beliau berdo’a dan mengulangi bacaan ini tiga kali, kemudian beliau turun menuju Marwah hingga ketika kedua telapak kaki beliau menginjak perut lembah beliau berlari-lari kecil. Ketika beliau mulai naik menuju bukit Marwah beliau berjalan hingga sampai ke Marwah, di Marwah beliau mengerjakan seperti apa yang telah dikerjakan di Shafa, hingga Sa’i beliau berakhir di Marwah, beliau bersabda:<br />
<br />
لَوْ أَنِّي اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ لَمْ أَسُقِ الْهَدْيَ. وَجَعَلْتُهَا عُمْرَةً. فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ لَيْسَ مَعَهُ هَدْيٌ فَلْيَحِلَّ. وَلْيَجْعَلْهَا عُمْرَةً.<br />
<br />
‘Seandainya aku mengetahui apa yang aku ketahui sekarang niscaya aku tidak akan membawa hewan sembelihan dan akan aku jadikan hajiku sebagai umrah. Barangsiapa di antara kalian yang tidak memiliki hewan kurban, hendaknya ia bertahallul dan menjadikan hajinya sebagai umrah.’<br />
<br />
Suraqah bin Malik bin Ju’syum berdiri dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah untuk tahun ini saja atau untuk selamanya?’ Kemudian beliau menjalin jari-jeraminya satu dengan yang lain dan bersabda:<br />
<br />
دَخَلَتِ الْعُمْرَةُ فِي الْحَجِّ (مَرَّتَيْنِ) لاَ، بَلْ ِلأَبَدٍ أَبَدٍ.<br />
<br />
‘Telah masuk umrah dalam haji.’ (Beliau mengulangnya dua kali) ‘Tidak, bahkan untuk selama-lamanya.’<br />
<br />
Kemudian ‘Ali datang dari Yaman membawa unta-unta Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjumpai Fathimah termasuk orang-orang yang bertahallul, memakai pakaian yang dicelup dan bercelak. ‘Ali pun mengingkari hal ini, Fathimah berkata, ‘Sesungguhnya ayahku memerintahkanku untuk melakukan hal ini.’”<br />
<br />
Berkata (Jabir, perawi hadits ini), “Ketika di ‘Iraq, ‘Ali berkata, ‘Kemudian aku pergi mengadukan apa yang diperbuat oleh Fathimah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia bertanya kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan apa yang diceritakan Fathimah tentang beliau, aku juga menceritakan bahwa aku telah mengingkari apa yang dikerjakan Fathimah ini.’ Beliau bersabda:<br />
<br />
صَدَقَتْ صَدَقَتْ، مَاذَا قُلْتَ حِيْنَ فَرَضْتَ الْحَجَّ؟<br />
<br />
‘Ia benar, ia benar. Apa yang engkau katakan ketika engkau mengerjakan haji?’<br />
<br />
Aku (‘Ali) mengatakan, ‘Ya Rabb-ku, aku berihram dengan apa yang diihramkan oleh Rasul-Mu.”<br />
<br />
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
فَإِنَّ مَعِيَ الْهَدْيَ فَلاَ تَحِلُّ.<br />
<br />
‘Aku membawa hewan kurban, maka engkau jangan berta-hallul.’<br />
<br />
Berkata (perawi), ‘Hewan kurban yang terkumpul baik yang dibawa oleh ‘Ali Radhiyallahu anhu maupun yang dibawa oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, sebanyak seratus ekor.’”<br />
<br />
Berkata (perawi), “Semua jama’ah haji bertahallul dan memendekkan (mencukur) rambut mereka kecuali Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang membawa hewan kurban.<br />
<br />
Ketika tiba hari Tarwiyah, mereka semua berangkat menuju Mina, mereka memulai manasik haji. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menaiki tunggangannya, kemudian (setelah tiba beliau) mengimami mereka shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, ‘Isya’, dan Shubuh. Setelah shalat Shubuh beliau menunggu sebentar sampai terbit matahari, beliau meminta didirikan kemah untuk beliau di Namirah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian mulai bertolak, orang-orang Quraisy tidak meragukan kecuali beliau berhenti di Masy’aril Haram seperti yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy pada zaman Jahiliyah, beliau telah melewati Mina dan menuju ‘Arafah hingga ketika sampai di (dekat) ‘Arafah beliau mendapatkan kemahnya telah di pasang di Namirah, beliau pun singgah di tempat tersebut. Ketika matahari telah tergelincir beliau memerintahkan agar untanya, al-Qashwa disiapkan, beliau pergi ke tengah-tengah lembah dan berkhutbah di tengah-tengah manusia, beliau bersabda:<br />
<br />
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هٰذَا. أَلاَ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَيَّ مَوْضُوعٌ، وَدِمَاءُ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعَةٌ، وَإِنَّ أَوَّلَ دَمٍ أَضَعُ مِنْ دِمَائِنَا دَمُ ابْنِ رَبِيعَةَ بْنِ الْحَارِثِ، كَانَ مُسْتَرْضِعًا فِي بَنِي سَعْدٍ فَقَتَلَتْهُ هُذَيْلٌ، وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ، وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا، رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ. فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ. فَاتَّقُوْا اللهِ فِي النِّسَاءِ. فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ، وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ. وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَداً تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْباً غَيْرَ مُبَرِّحٍ. وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ. وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ. كِتَابُ اللهِ. وَأَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّي. فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟<br />
<br />
"Sesungguhnya darah dan harta kalian haram atas kalian seperti keharaman hari ini, bulan ini dan negeri kalian ini. Ketahuilah sesungguhnya segala macam perbuatan Jahiliyah (yang telah lalu pada masa Jahiliyyah) di bawah kedua telapak kakiku telah dilupakan (tidak dihukum). Darah (pembunuhan) Jahiliyyah (yang telah lalu pada masa Jahiliyah) telah dilupakan (tidak dihukum). Darah (pembunuhan) pertama yang dilupakan (tidak dihukum) dari darah-darah kita adalah darah Ibnu Rabi’ah bin al-Harits, ia disusukan di Bani Sa’ad, lalu dibunuh oleh Hudzail. Riba Jahiliyyah (yang telah lalu pada masa Jahiliyyah) telah dilupakan. Riba petama yang dilupakan (tidak dihukum) adalah riba kita, riba ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib. Semuanya dilupakan (tidak dihukum). Bertakwalah kepada Allah mengenai (hak-hak) wanita, sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kemaluan mereka menjadi halal bagimu dengan kalimat (ijab kabul yang diperintahkan oleh) Allah. Hakmu atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci menginjakkan kaki di rumah kalian, apabila mereka mengerjakan hal ini pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Hak mereka yang menjadi kewajibanmu adalah memberi mereka nafkah dan pakaian yang pantas. Aku telah meninggal-kan di tengah-tengah kalian sesuatu yang apabila kalian ber-pegang teguh kepadanya kalian tidak akan tersesat; Kitabul-lah. Dan kalian akan ditanya tentang aku, apakah yang akan kalian katakan?’<br />
<br />
Para Sahabat menjawab, ‘Kami bersaksi bahwasanya engkau telah menyampaikan (risalah Rabb-mu), engkau telah menunaikan (amanah) dan telah menasehati (umat).’ Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda sambil mengacungkan telunjuk ke langit kemudian mengarahkannya ke khalayak:<br />
<br />
اَللَّهُمَّ اشْهَدْ، اللَّهُمَّ اشْهَدْ. ثَلاَثَ مَرَّاتٍ.<br />
<br />
‘Ya Allah saksikanlah, ya Allah saksikanlah.’ Beliau mengucapkannya tiga kali.<br />
<br />
Setelah adzan dan iqamat beliau shalat Zhuhur, kemudian iqamat dan shalat ‘Ashar (qashar dengan jamak taqdim). Beliau tidak melakukan shalat apa pun lagi di antara keduanya. Lalu beliau menaiki kendaraan menuju ke tempat wukuf. Beliau merapatkan perut untanya al-Qashwa ke batu-batu besar. Beliau berhenti di jalan besar dan menghadap kiblat. Beliau terus wukuf hingga matahari terbenam, rona kuning sedikit demi sedikit mulai menghilang dan matahari benar-benar tenggelam. Beliau membonceng Usamah di belakang, kemudian mulai bertolak. Beliau mengencangkan kendali untanya sampai-sampai kepala unta itu menyentuh tempat duduk kendaraan. Beliau memberi isyarat dengan tangan kanannya sambil bersabda:<br />
<br />
أَيُّهَا النَّاسُ، اَلسَّكِيْنَةُ، اَلسَّكِينَةُ.<br />
<br />
“Wahai sekalian manusia, tetaplah tenang, tetaplah tenang.”<br />
<br />
Beliau mengendorkan tali kekang untanya sedikit demi sedikit hingga unta itu dapat berjalan mendaki. Setibanya di Muzdalifah beliau shalat Maghrib dan ‘Isya’ dengan satu kali adzan dan dua kali iqamat (qashar dengan jamak ta’khir), beliau tidak membaca tasbih apa pun di antara keduanya. Kemudian beliau berbaring hingga fajar terbit. Beliau shalat Shubuh ketika waktu Shubuh sudah tampak jelas dengan sekali adzan dan iqamat.<br />
<br />
Setelah itu beliau berangkat dengan untanya, al-Qashwa hingga ketika sampai di Masy’aril Haram beliau menghadap Kiblat, lalu membaca do’a, takbir dan tahlil kepada Allah. Beliau tetap berada di situ hingga terang benderang, lalu beliau bertolak sebelum matahari tebit. Beliau membonceng al-Fadhl bin ‘Abbas, dia adalah seorang laki-laki yang mempunyai rambut yang indah, berkulit putih dan tampan. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertolak lewatlah sejumlah wanita. Al-Fadhl memandangi mereka, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menutupi wajah al-Fadhl dengan tangannya. Al-Fadhl memalingkan mukanya ke arah lain untuk memandang mereka, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun memindahkan tangannya dari tempat tadi ke muka al-Fadhl ke arah yang ia memalingkan wajahnya hingga sampailah mereka di lembah al-Muhassir. Di situ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempercepat kendaraannya sedikit dan memilih jalan tengah yang keluar menuju Jumrah Kubra.<br />
<br />
Setibanya di Jumrah dekat pohon, beliau melempar tujuh kali dengan batu-batu kecil, di setiap lemparan beliau bertakbir, setiap biji batu ukurannya sebesar kelingking [1]. Beliau melempar dari tengah-tengah lembah itu. Kemudian beliau menuju tempat penyembelihan, beliau menyembelih enam puluh tiga hewan sem-belihan dengan tangannya sendiri, setelah itu beliau memberi sisanya kepada ‘Ali dan beliau menyertakan ‘Ali dalam sembelihan tersebut. Beliau kemudian memerintahkan agar mengambil sedikit dari setiap hewan-hewan sembelihan itu, kemudian dimasukkan dalam satu panci dan dimasak. Mereka berdua pun makan daging tersebut dan minum kuahnya.<br />
<br />
Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menaiki kendaraan menuju Baitullah (Ka’bah) untuk thawaf Ifadhah dan beliau shalat Zhuhur di Makkah. Beliau juga mendatangi Bani ‘Abdil Muththalib yang tengah memberi air minum dari air zamzam dan bersabda:<br />
<br />
اِنْزِعُوْا، بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَوْلاَ أَنْ يَغْلِبَكُمُ النَّاسُ عَلَى سِقَايَتِكُمْ لَنَزَعْتُ مَعَكُمْ.<br />
<br />
"Timbalah air, wahai Bani ‘Abdil Muththalib, seandainya aku tidak khawatir manusia akan mengalahkan kalian dalam usaha mengambil air ini niscaya aku akan ikut mengambil air bersama kalian."<br />
<br />
Mereka pun menyodorkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam setimba air dan beliau pun meminum air tersebut.”<br />
<br />
Berkata Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahiih Muslim (VIII/170), “Ini adalah hadits yang mulia, mengandung beberapa pelajaran dan kaidah-kaidah penting yang berharga. Berkata al-Qa-dhi, ‘Para ulama telah banyak memperbincangkan kandungan fi-qih hadits ini. Dari hadits ini Abu Bakar al-Mundziri telah menulis satu juz kitab tebal, dan beliau telah mengambil dari hadits ini seratus lima puluh sekian macam hukum fiqh, seandainya didalami lagi niscaya akan lebih sedikit dari jumlah tersebut.’”<br />
<br />
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]<br />
_______<br />
Footnote<br />
[1]. Berkata Imam Muslim dalam kitab Syarh Shahiih Muslim (VIII/191), “Ada-pun perkataan beliau, ‘Beliau melempar tujuh kali dengan batu-batu kecil, di setiap lemparan beliau bertakbir, setiap biji batu sebesar kelingking.’ Se-perti inilah yang ada dalam naskah, demikian pula apa yang dibawakan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dari sebagian besar naskah, beliau berkata, ‘Yang benar sebesar kelingking,’ beliau juga berkata, ‘Demikian pula yang diriwayatkan oleh selain Imam Muslim dan sebagian perawi Imam Muslim.’ Inilah per-kataan Al-Qodhi.”<br />
<br />
Aku berkata, “Benar, lafazh yang ada di naskah naskah selian lafadz Imam Mulim seperti itu. Bahkan (lafazh) lainnya tidaklah memiliki kedudukan dan perkataan ini tidak akan sempurna kecuali dengan lafazh seperti ini. Sabda beliau “sebesar kelingking,” sebagai catatan bagi Al-hashayaat (batu-batu kecil), maksudnya: “Beliau melempar tujuh kali dengan batu-batu ke-cil sebesar kelingking, di setiap lemparan beliau bertakbir.” Perkataan: “Se-besar kelingking” bersambung dengan al-hashayaat, dan disisihi di antara keduanya kalimat pernyataan “di setiap lemparan beliau bertakbir.” Inilah yang benar, wallahu ta’aala a’lam.<br />
<br />
ARSIP ARTIKEL<br />
TAUHID<br />
MUSLIMAH<br />
REDAKSI<br />
<br />
* Pengertian Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah<br />
* Definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sejarah Munculnya Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah<br />
* Iman Kepada Kitab-Kitab. Ahlus Sunnah Mengimani Bahwa Al-Qur-anul Karim Adalah Kalamullah<br />
* Iman Kepada Rasul-Rasul Allah<br />
* Iman Kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam<br />
* Pengetahuan Tentang Hari Kiamat<br />
* Dekatnya Hari Kiamat<br />
* Wajibnya Mencintai Dan Mengagungkan Nabi Muhammad. Wajibnya Mentaati Dan Meneladani Nabi<br />
* Anjuran Bershalawat Kepada Nabi. Larangan Ghuluw Dan Berlebih-Lebihan Dalam Memuji Nabi<br />
* Isra' Mi’raj<br />
* Tanda-Tanda Kiamat<br />
* Munculnya Imam Mahdi. Keluarnya Dajjal<br />
* Turunnya Nabi ‘Isa Alaihissallam Di Akhir Zaman<br />
* Keluarnya Ya'juj Dan Ma'juj Di Akhir Zaman. Terbitnya Matahari Dari Barat<br />
* Ahlus Sunnah Mengimani Adanya Yaumul Akhir<br />
<br />
* Berlindung (Diri) Dari Makhluk Halus<br />
* Pentingnya Tauhid Asma' Dan Sifat<br />
* Hindarilah Syirik ... Bertauhidlah!<br />
* Waspada, Syirik Di Sekitar Kita!<br />
* Wajibkah Mengulangi Syahadat Di Hadapan Imam?<br />
* Tujuan Ziarah Kubur Dalam Kaca Mata Sufi<br />
* Tawassul Dengan Orang Mati, Syubhat Dan Bantahannya<br />
* Tawassul Dengan Orang Mati<br />
* Nabi Maupun Wali Adalah Manusia Biasa, Tidak Berhak Disembah!<br />
* Keutamaan Dakwah Tauhid<br />
* Pembagian Tauhid<br />
* Apakah Dosa Syirik Dimpuni?<br />
* Kitab-Kitab Yang Ada Pada Ahli Kitab<br />
* Makna Syahadatain, Rukun, Syarat, Konsekuensi Dan Yang Membatalkannya<br />
* Tauhid Rububiyah Mengharuskan Adanya Tauhid Uluhiyah<br />
* Tauhid Rububiyah Dan Pengakuan Orang-Orang Musyrik Terhadapnya<br />
* Makna Tauhid Uluhiyah Dan Tauhid Adalah Inti Dakwah Para Rasul<br />
* Kecemburuan Hud-Hud Terhadap Penyelewengan Tauhid<br />
* Kufur Difinisi Dan Jenisnya<br />
* Orang Mati Dapat Memberi Manfaat?<br />
<br />
* Masjidul Bait (Masjid Di Dalam Rumah) Urgensi Dan Fungsinya<br />
* Bangkit, Menuntaskan Putus Asa<br />
* Perbedaan Yang Wajib Diimani<br />
* Bagaimana Darah Haid Terjadi<br />
* Proses Dan Perkembangan Janin Di Rahim<br />
* Berbahagialah Mengemban Amanah<br />
* Etika Safar<br />
* Ziarah Antar Muslimah<br />
* Mengapa Wanita Harus Berhijab?<br />
* Tidur Dalam Tatanan Sunnah<br />
* Jika Wanita Muslimah Berobat Ke Dokter Lelaki?<br />
* Hukum Safar Bagi Wanita Tanpa Mahram, Syubhat-Syubhat Dan Jawabannya<br />
* Hukum Safar Bagi Wanita Tanpa Mahram<br />
* Perkara-Perkara Yang Tidak Termasuk Ikhthilath<br />
* Ikhtilath Sebuah Maksiat<br />
<br />
Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani -Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-75719109579324229572012-03-07T05:21:00.000-08:002012-03-07T05:21:45.284-08:00MIQAT (WAKTU ATAU TEMPAT YANG DITENTUKAN)Mawaqit bentuk jamak dari kata miqat, seperti kata mawa’id dan mi’ad. Miqat terbagi menjadi dua, yaitu miqat zamani (waktu) dan miqat makani (tempat).[1]<br />
<br />
Miqat Zamani (Waktu)<br />
Allah Ta’ala berfirman:<br />
<br />
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ<br />
<br />
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji...” [Al-Baqarah: 189]<br />
<br />
Dan firman Allah Ta’ala:<br />
<br />
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ<br />
<br />
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi...” [Al-Baqarah: 197]<br />
<br />
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata:<br />
<br />
أَشْهُرُ الْحَجِّ شَوَّالٌ وَذُو الْقَعْدَةِ وَعَشْرٌ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ.<br />
<br />
“Bulan-bulan haji ialah Syawwal, Dzul Qa’dah dan sepuluh hari dari bulan Dzul Hijjah.”<br />
<br />
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata:<br />
<br />
مِنَ السُّنَّةِ أَنْ لاَ يُحْرِمَ بِالْحَجِّ إِلاَّ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ.<br />
<br />
“Termasuk Sunnah ialah tidak berihram untuk haji kecuali pada bulan-bulan haji.” [2]<br />
<br />
Miqat Makani (Tempat)<br />
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anuma, ia berkata:<br />
<br />
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ ِلأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ، وَ ِلأَهْلِ الشَّامِ الْجُحْفَةَ، وَ ِلأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ، وَ ِلأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ، وَقَالَ: هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ، وَمَنْ كَانَ دُوْنَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ.<br />
<br />
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menentukan miqat bagi penduduk Madinah, yaitu Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam, yaitu Juhfah, bagi penduduk Najd, yaitu Qarnul Manazil dan untuk penduduk Yaman, yaitu Yalamlam. Beliau mengatakan, ‘Semua itu adalah bagi penduduk kota-kota tersebut dan orang yang bukan penduduk kota-kota tersebut yang melewati kota-kota tersebut, yang ingin menunaikan ibadah haji dan umrah. Dan bagi orang yang lebih dekat dari kota-kota itu, maka ia memulai ihram dari tempatnya, sampai penduduk Makkah memulai ihram dari Makkah.”<br />
<br />
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :<br />
<br />
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ ِلأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ عِرْقٍ.<br />
<br />
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menetapkan miqat untuk penduduk ‘Iraq, yaitu Dzatu ‘Irq.”<br />
<br />
Siapa yang hendak menuju Makkah untuk menunaikan haji tidak boleh melewati tempat-tempat tersebut sampai ia berihram.<br />
<br />
Berihram sebelum (tempat-tempat tersebut) adalah makruh. Semua riwayat hadits mengenai anjuran untuk ihram sebelum miqat tidak shahih, bahkan terdapat riwayat yang berlawanan. Lihat perkataan mengenai cacatnya hadits-hadits tersebut dalam Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah (hal. 210-212).<br />
<br />
Alangkah indahnya perkataan Imam Malik kepada orang yang hendak berihram sebelum Dzul Hulaifah, “Jangan engkau lakukan, karena Aku khawatir akan terjadi fitnah kepadamu.” Orang tersebut kemudian bertanya, “Fitnah apa yang bisa timbul dari hal tersebut? Ini hanya sekedar beberapa mil yang aku tambahkan.” Imam Malik menjawab, “Fitnah apa yang lebih besar dari pada engkau dinilai telah melampaui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu keutamaan dimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalai dari hal tersebut? Sesungguhnya aku mendengar firman Allah:<br />
<br />
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ<br />
<br />
“...Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” [An-Nuur: 63]<br />
<br />
Melewati Miqat Tanpa Berihram<br />
Barangsiapa yang melewati miqat tanpa berihram, sedangkan ia hendak menunaikan ibadah haji dan umrah, kemudian ia berihram setelah melewati miqat tersebut, maka ia telah berdosa karena melakukan hal tersebut. Dosa itu tidak akan terhapus darinya sampai ia kembali ke miqat dan berihram dari miqat tersebut, kemudian ia menyempurnakan seluruh manasik haji (amal ibadah hajinya). Apabila ia tidak kembali (ke miqat), manasiknya sah, namun ia berdosa dan tidak wajib baginya dam, dengan dasar hadits Shafwan bin Ya’la bahwasanya Ya’la pernah berkata kepada ‘Umar Radhiyallahu 'anhu, “Tunjukkan kepadaku bagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika wahyu turun kepada beliau?” ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata:<br />
<br />
فَبَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْجِعْرَانَةِ -وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ- جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ تَرَى فِيْ رَجُلٍ أَحْرَمَ بِعُمْرَةٍ وَهُوَ مُتَضَمِّخٌ بِطِيْبٍ؟ فَسَكَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَاعَةً، فَجَاءَهُ الْوَحْيُ، فَأَشَارَ عُمَرُ z إِلَى يَعْلَىٰ، فَجَاءَ يَعْلَىٰ -وَعَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَوْبٌ قَدْ أُظِلَّ بِهِ- فَأَدْخَلَ رَأْسَهُ، فَإِذَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحَمَّرُ الْوَجْهِ وَهُوَ يَغِطُّ، ثُمَّ سُرِّيَ عَنْهُ فَقَالَ: أَيْنَ الَّذِي سَأَلَ عَنِ الْعُمْرَةِ؟ فَأُتِيَ بِرَجُلٍ، فَقَالَ: اِغْسِلِ الطَّيِّبَ الَّذِي بِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، وَانْزِعْ عَنْكَ الْجُبَّةَ، وَاصْنَعْ فِي عُمْرَتِكَ كَمَا تَصْنَعُ فِيْ حَجَّتِكَ.<br />
<br />
“Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di Ji’ranah -bersama beliau beberapa Sahabat beliau- seorang laki-laki mendatangi beliau dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang ihram untuk umrah sedangkan ia berlumuran minyak wangi?’ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terdiam sebentar, kemudian wahyu turun kepada beliau. ‘Umar memberi isyarat kepada Ya’la, Ya’la pun datang -pada saat itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berpayung dengan selembar pakaian- dan memasukkan kepalanya. Tiba-tiba ia melihat wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerah sedangkan beliau mengeluarkan suara nafas, kemudian beliau pulih perlahan-lahan dan bertanya, ‘Mana orang yang bertanya tentang umrah tadi?’ Laki-laki itu pun dibawa (ke hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Cucilah minyak wangi yang ada padamu tiga kali, buka jubahmu dan kerjakanlah umrahmu sebagaimana engkau mengerjakan hajimu.’” [3]<br />
<br />
Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa barangsiapa yang menyelisihi, atau mengerjakan satu di antara hal-hal yang terlarang ketika ihram tidak ada kewajiban baginya kecuali ia harus berhenti (meninggalkan) pekerjaan tersebut saja, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memerintahkan laki-laki yang memakai jubah berlumuran minyak wangi wanita (dari jenis khuluq, sebagaimana dalam riwayat lain) kecuali membuka jubahnya dan mencuci minyak wangi tersebut. Beliau tidak memerintahkan menyembelih hewan kurban pengganti. Seandainya hal tersebut wajib niscaya beliau akan memerintahkannya karena tidak boleh mengakhirkan penjelasan pada waktu dibutuhkan dan di sini (penjelasan itu) dibutuhkan*.<br />
<br />
Memulai Ihram Di Miqat<br />
Apabila ia hendak berihram, memilih haji qiran dan telah membawa hewan sembelihan, maka ia mengucapkan:<br />
<br />
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ بِحَحَّةٍ وَعُمْرَةٍ.<br />
<br />
“Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah dengan berniat haji dan umrah.”<br />
<br />
Apabila ia belum membawa hewan sembelihan (haji tamattu’ dan inilah yang lebih utama), ia harus berihram dengan umrah saja, maka ia mengucapkan:<br />
<br />
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ بِعُمْرَةٍ.<br />
<br />
“Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah dengan berniat umrah.”<br />
<br />
Apabila ia mengucapkan haji saja hendaknya ia membatalkannya dan menjadikannya umrah [4]. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan seluruh Sahabatnya supaya bertahallul dari ihram mereka dan menjadikan thawaf dan sa’i mereka menjadi umrah, kecuali orang yang telah membawa hewan sembelihan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan contoh, kemudian beliau marah kepada orang-orang yang tidak segera melaksanakan perintahnya dan beliau menegaskan hal tersebut dengan sabdanya, “Umrah masuk ke dalam bagian haji sampai hari Kiamat.” Ini juga merupakan nash yang menunjukkan bahwa umrah telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari haji.<br />
<br />
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:<br />
<br />
لَوِ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ لَمْ أَسُقِ الْهَدْيَ.<br />
<br />
“Seandainya aku mengetahui apa yang aku ketahui sekarang niscaya aku tidak akan membawa hewan sembelihan.”<br />
<br />
Ini bukan hanya sekedar ungkapan perasaan beliau dengan hanya sekedar (mengungkapkan) keinginan yang terlewatkan oleh beliau karena beliau telah berihram untuk haji qiran. Akan tetapi ini adalah ungkapan dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang menyatakan) bahwa haji tamattu’ lebih utama dari haji qiran.<br />
<br />
Setiap orang yang menunaikan ibadah haji harus menggabungkan antara haji dan umrah, entah umrahnya dilakukan terlebih dahulu karena ia belum membawa hewan sembelihan dan inilah haji tamattu’ -atau ‘umrahnya bersamaan dengan haji karena ia membawa hewan korban, dan inilah haji qiran-. Entah yang mana saja yang ia kerjakan, maka ia telah mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun tamattu’ lebih utama dari pada qiran, sebagaimana yang telah kami jelaskan.<br />
<br />
Selanjutnya kita harus mengetahui bahwa seseorang yang mengerjakan haji ifrad atau qiran yang tidak membawa hewan sembelihan walaupun wajib bagi mereka bertahallul dari ihramnya apabila mereka thawaf dan sa’i. Mereka kadang tidak menjumpai waktu yang cukup untuk bertahallul dari ihramnya, kemudian memulai manasik haji sebelum waktu wukuf di ‘Arafah berakhir. Oleh karena itu, orang yang berihram untuk haji ifrad dan qiran yang tidak membawa hewan kurban boleh tetap berihram tidak bertahallul dari ihramnya kecuali setelah melempar jumrah ‘Aqabah pada hari an-nahr (10 Dzul Hijjah) jika waktu untuk bertahallul dan berihram kembali untuk haji tidak cukup.<br />
<br />
Contohnya, orang yang sampai di Makkah pada malam hari kesembilan, ia takut ketinggalan wukuf di ‘Arafah karena waktu yang sempit dan dekatnya waktu terbit fajar. Orang seperti ini hendaknya segera pergi ke ‘Arafah agar tidak ketinggalan rukun yang jika ia kehilangan hal ini, maka ia akan kehilangan haji seluruhnya, rukun tersebut adalah wukuf di ‘Arafah. Haji ifrad boleh dan disyari’atkan dilaksanakan dalam kondisi yang sempit sekali. Apabila seseorang melakukan haji ifrad dan meninggalkan haji tamattu’ karena lebih mengutamakan haji ifrad, maka ia telah berdosa, sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para Sahabatnya agar menjadikan haji mereka umrah. Namun haji orang tersebut tetap sah*.<br />
<br />
Bolehnya Seorang Yang Berihram Mensyaratkan Tahallul Jika Ia Sakit Dan Lain-Lain<br />
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah masuk menemui Dhuba’ah binti Zubair dan bertanya, ‘Engkau hendak berhaji?’ Ia menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak mendapati diriku kecuali dalam keadaan sakit-sakitan.’ Beliau bersabda kepadanya, ‘Pergilah haji dan buatlah syarat lalu katakanlah.<br />
<br />
اَللَّهُمَّ مَحِلِّيْ حَيْثُ حَبَسْتَنِي.<br />
<br />
'Ya Allah, dimana aku tertahan di situlah tempat aku bertahallul.'’” [5]<br />
<br />
Barangsiapa yang bersyarat dengan hal ini, maka kapan saja ia tertahan (tidak bisa melanjutkan) karena suatu penyakit atau ada musuh atau yang lainnya, ia boleh bertahallul dan ia tidak wajib membayar dam.<br />
<br />
Barangsiapa yang tidak mensyaratkan apa-apa, jika ia tertahan (tidak bisa melanjutkan ibadahnya), maka ia wajib membayar dam, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ<br />
<br />
“... Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat…” [Al-Baqarah: 196]<br />
<br />
Hewan sembelihan tidak boleh selain hewan ternak: unta, sapi (kerbau), dan kambing. Apabila mudah baginya, maka kambing sudah mencukupi, unta dan sapi lebih mencukupi lagi. Jika ia tidak mendapatkan kemudahan hendaknya ia berpuasa sepuluh hari, diqiyaskan pada orang yang berhaji Tamattu’ apabila ia tidak mendapatkan hewan kurban.<br />
<br />
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]<br />
_______<br />
Footnote<br />
[1]. Fiqhus Sunnah (I/549)<br />
[2]. Sanadnya shahih:[Mukhtashar Shahiih al-Bukhari 311 hal 372], Shahiih al-Bukhari (III/319) disertai komentar.<br />
[3]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/393, no. 1536), Shahiih Muslim (II/836, no. 1180), Sunan Abi Dawud (V/265, no. 1802, 1803, 1804), Sunan an-Nasa-i (V/142).<br />
* Irsyaadus Saarii, asy-Syaikh Muhammad Ibrahim Syaqrah.<br />
[4]. Manaasikul Hajj wal ‘Umrah, Syaikh al-Albani.<br />
* Irsyaadus Saarii, asy-Syaikh Muhammad Ibrahim Syaqrah.<br />
[5]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/132, no. 5089), Shahiih Muslim (II/867, no. 1207), Sunan an-Nasa-i (V/168).Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-22673489849222186592012-03-07T05:19:00.000-08:002012-03-07T05:19:27.916-08:00KEUTAMAAN HAJI DAN UMRAHDari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
اَلْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.<br />
<br />
“Umrah ke umrah adalah penghapus dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada pahala baginya selain Surga.” [1]<br />
<br />
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
تَابِعُوْا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوْبَ، كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُوْرَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.<br />
<br />
“Iringilah antara ibadah haji dan umrah karena keduanya meniadakan dosa dan kefakiran, sebagaimana alat peniup api menghilangkan kotoran (karat) besi, emas dan perak, dan tidak ada balasan bagi haji mabrur melainkan Surga.”[2]<br />
<br />
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, “Aku mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
مَنْ حَجَّ ِللهِ عزوجل فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ.<br />
<br />
‘Barangsiapa melakukan haji ikhlas karena Allah Azza wa Jalla tanpa berbuat keji dan kefasiqan, maka ia kembali tanpa dosa sebagaimana waktu ia dilahirkan oleh ibunya.’”[3]<br />
<br />
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:<br />
<br />
اَلْغَازِي فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ، وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ. وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ.<br />
<br />
“Orang yang berperang di jalan Allah dan orang yang menunaikan haji dan umrah, adalah delegasi Allah. (ketika) Allah menyeru mereka, maka mereka memenuhi panggilan-Nya. Dan (ketika) mereka meminta kepada-Nya, maka Allah mengabulkan (pemintaan mereka).” [4]<br />
<br />
Haji Beserta Umrah Adalah Kewajiban Yang Dilakukan Sekali Dalam Seumur Hidup, Bagi Setiap Muslim, Baligh, Berakal, Merdeka Serta Mampu<br />
<br />
Firman Allah Ta’ala:<br />
<br />
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ<br />
<br />
“Sesungguhnya rumah yang pertama kali dibangun untuk (tempat beribadah) manusia ialah Baitullah yang berada di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) men-jadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [Ali ‘Imran: 96-97]<br />
<br />
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah di tengah-tengah kami, beliau bersabda:<br />
<br />
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوْا، فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَسَكَتَ، حَتَّىٰ قَالَهَا ثَلاَثاً، ثُمَّ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ قُلْتُ نَعَمْ، لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ. ثُمَّ قَالَ: ذَرُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَىٰ أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوْهُ.<br />
<br />
“Telah diwajibkan atas kalian ibadah haji, maka tunaikanlah (ibadah haji tersebut).” Lalu ada seorang berkata, “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” Lalu beliau diam sampai orang tersebut mengatakannya tiga kali, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Andaikata aku menjawab ya, niscaya akan menjadi suatu kewajiban dan niscaya kalian tidak akan mampu (melaksanakannya).” Kemudian beliau bersabda, “Biarkanlah aku sebagaimana aku membiarkan kalian. Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian ialah banyak bertanya dan banyak berselisih dengan Nabi mereka. Apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka laksanakanlah semampu kalian. Dan apabila aku melarang sesuatu, maka tinggalkanlah.” [5]<br />
<br />
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ.<br />
<br />
‘Islam dibangun atas lima pilar: (1) Persaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) haji ke Baitullah, dan (5) berpuasa Ramadhan.’” [6]<br />
<br />
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
هَذِهِ عُمْرَةٌ اسْتَمْتَعْنَا بِهَا، فَمَنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ الْهَدْيُ فَلْيَحِلَّ الْحِلَّ كُلَّهُ، فَإِنَّ الْعُمْرَةَ قَدْ دَخَلَتْ فِي الْحَجِّ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ.<br />
<br />
“Ini adalah ibadah umrah yang kita bersenang-senang dengannya. Barangsiapa yang tidak memiliki hadyu (binatang kurban), maka hendaknya ia bertahallul secara keseluruhan, karena ibadah umrah telah masuk kepada ibadah haji sampai hari Kiamat.” [7]<br />
<br />
Dari Shabi bin Ma’bad, ia berkata, “Aku pergi menemui ‘Umar, lalu aku berkata kepadanya:<br />
<br />
يَا أَمِيْرَ الْمُؤمِنِيْنَ، إِنِّي أَسْلَمْتُ، وَإِنِّي وَجَدْتُ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ مَكْتُوبَيْنَ عَلَيَّ، فأَهْلَلْتُ بِهِمَا، فَقَالَ: هُدِيْتَ لِسُنَّةِ نَبِيِّكَ.<br />
<br />
"Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku telah masuk Islam, dan aku yakin bahwa diriku telah wajib menunaikan ibadah haji dan umrah, lalu aku mulai mengerjakan kedua ibadah tersebut.’ Lalu beliau berkata, ‘Engkau telah mendapat-kan petunjuk untuk melaksanakan Sunnah Nabimu.’” [8]<br />
<br />
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]<br />
_______<br />
Footnote<br />
[1]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/597, no. 1773), Shahiih Muslim (II/987, no. 1349), Sunan at-Tirmidzi (II/206, no. 937), Sunan Ibni Majah (II/964, no. 2888), Sunan an-Nasa-i (V/115).<br />
[2]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ (no. 2901)], Sunan at-Tirmidzi (II/153, no. 807), Sunan an-Nasa-i (V/115)<br />
[3]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (III/382, no. 1521), Shahiih Muslim (II/983, no. 1350), Sunan Ibni Majah (II/964, no. 2889), Sunan an-Nasa-i (V/114), Sunan at-Titmidzi (II/153, no. 809), kecuali pada (bagian akhirnya) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
غَفَرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.<br />
<br />
“Maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”<br />
[4]. Hasan: [Shahiih al-Jaami'ish Shaghiir (no. 2339)], Sunan Ibni Majah (II/966, no. 2893).<br />
[5]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 639)], Shahiih Muslim (II/970, no. 1337), Sunan an-Nasa-i (5/110)<br />
[6]. Takhrijnya telah berlalu pada Kitab Thaharah.<br />
[7]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil 982], Shahiih Muslim (II/911, no. 1241).<br />
[8]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil 983], Sunan an-Nasa-i (V/142), Sunan Abi Dawud (V/230, no. 1722), Sunan Ibni Majah (II/989, no. 2970)Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-7360233240419213182012-03-07T05:16:00.000-08:002012-03-07T05:16:30.433-08:00KEDUDUKAN ORANG YANG MENGAMALKAN SUNNAH DAN PELAKU BID’AHKedudukan Orang Yang Mengamalkan Sunnah<br />
Orang yang mengamalkan sunnah hatinya akan hidup, jiawanya akan bersinar. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan kehidupan dan cahaya dalam kitabNya dalam banyak kesempatan dan menjadikannya sebagai sifat orang beriman. Karena hati yang hidup dan bercahaya itu adalah yang mengerti tentang Allah, selalu tunduk kepadaNya dan memahamiNya, pasrah dalam bertauhid kepadaNya, serta selalu mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diutusNya.<br />
<br />
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri selalu memohon kepada Allah untuk menciptakan cahaya baginya dalam hatinya, dalam pendengarannnya, dalam penglihatannya, dalam lisannya, dari atas, dari bawah, dari kanan, dari kiri, dari belakang dan dari depan. Beliau memohon agar diri beliau dijadikan cahaya, dan diciptakan pula cahaya pada kulit dalam dan kulit luar beliau, pada darah beliau, pada tulang beliau dan pada darah beliau. Beliau memohon cahaya untu diri beliau, untuk tubuh beliau, untuk panca indera beliau lahir maupun batin, dan untuk enam arah yang mengungkungi beliau.<br />
<br />
Seorang mukmin pada dirinya terdapat cahaya dan dapat mengeluarkan cahaya, ucapannya cahaya dan amal perbuatannya adalah cahaya. Cahaya itu dengan kadarnya, akan tampak pada diri pemiliknya di hari Kiamat nanti. Cahaya itu akan berjalan di hadapannya dan dari arah kanannya. Ada orang yang cahayanya seperti matahari, yang lain seperti bintang, ada pula yang cahayanya seperti pokok kurma yang tinggi, yang lain seperi orang yang berdiri, ada pula yang lebih rendah daripada itu. Bahkan ada yang diberikan cahaya pada ujung jempol kakinya saja, terkadang bersinar dan terkadang padam. Demikian juga halnya dengan cahaya iman dan ittibanya kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia ini. Cahaya tiu sendiri akan tampak oleh pandangan mata dan secara kongkrit pada hari itu. [1]<br />
<br />
Ciri-Ciri Ahlus Sunnah<br />
Ciri-ciri Ahlus Sunnah itu banyak, semua tanda itu dapat diketahui oleh orang yang berakal. Dianatar tanda tersebut adalah.<br />
<br />
[1] Berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjaganya dengan erat.<br />
<br />
[2] Mengambil hukum dari Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perkara fundamental dan persoalan praktis.<br />
<br />
[3] Kecintaan mereka terhadap sesama hlus Sunnah dan orang-orang yang berpegang teguh pada sunnah, serta kebencian mereka tehadap ahli bid’ah.<br />
<br />
[4] Tidak merasa gundah gulana karena sedikitnya orang yang mengikuti jalan Sunnah. Karena kebenaran adalah barang hilang bagi seorang mukmin sehingga harus diambil meskipun orang banyak menyelisihinya.<br />
<br />
[5] Kejujuran dalam ucapan dan perbuatan dengan menerapkan secara benar petunjuk Kitabullah dan Sunnah Rasul.<br />
<br />
[6] Meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akhlaknya adalah Al-Qur’an itu sendiri. [2]<br />
<br />
Kedudukan Pelaku Bid’ah<br />
Ahli bid’ah itu hatinya mati dan gelap. Allah telah menjadikan kematian dan kegelapan sebagai sifat bagi orang yang keluar dari keimanan. Hati yang mati dan gelap itu tidak akan dapat memikirkan Allah, tidak akan dapat tunduk pada ajaran Rasulullah.<br />
<br />
Oleh sebab itu, Allah menggambarkan bentuk orang semacam itu sebagai orang mati, bukan orang yang masih hidup, dan bahwa mereka berada dalam kegelapan mendalam sehingga mereka tak mampu keluar dari kegelapan itu. Itulah sebabnya kenapa kegelapan itu menguasai diri mereka sepanjang hidup mereka. Hati mereka menjadi gelap, melihat kebenaran itu seperti kebatilan dan melihat kebatilan seperti kebenaran. Amal perbuatan mereka juga gelap, ucapan mereka juga gelap, kondisi mereka seluruhnya juga gelap, bahkan kuburan mereka juga penuh dengan kegelapan. Ketika cahaya diabgi-bagikan pada hari Kiamat nanti sebelum di titian (jisr) untuk menyebranginya, mereka tetap saja dalam kegelapan. Tempat kembali mereka juga Neraka yang gelap. Kegelapan itu adalah tempat di mana Allah menciptakan makhlukNya pertama kali.<br />
<br />
Barangsiapa yang Allah kehendaki kebahagian baginya, maka Allah akan keluarkan dari kegelapan itu menuju cahaya. Sementara orang yang Allah kehendaki baginya kecelakaan, maka Allah akan tinggalkannya dalam kegelapan tersebut. [3]<br />
<br />
[Disalin dari kitab Nurus Sunnah wa Zhulumatul Bid;ah Fi Dhauil Kitabi was Sunnah, edisi Indonesia Mengupas Sunnah, Membedah Bid’ah, hal. 13-18 Darul Haq]<br />
__________<br />
Foote Note.<br />
[1]. Ijtima’ Aljuyusy Al-Islamiyah oleh Ibnul Qayyim II : 38-41, dengan sedikit perubahan.<br />
[2]. Lihat Aqidah As-Salaf dan Ashabul Hadits oleh Al-Imam Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman Ash-Shabuni hal. 147. Dan juga Tanbih Ulil Abshar Ilaa Kamaliddien wa Maa Fii Bida’i Minal Akhthaar oleh Doktor Shalih bin Saad As-Suahimi hal.264<br />
[3]. Ijtima’ Aljuyusy Al-Islamiyah oleh Ibnul Qayyim II : 39-40 dengan sedikit perubahanAbdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-42337426585327556592012-03-07T05:12:00.000-08:002012-03-07T05:12:04.185-08:00METODE SALAF DALAM MENERIMA ILMU"Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" [Al-Ahzab : 36]<br />
<br />
Dari fenomena yang tampak pada saat ini, (kita menyaksikan) khutbah-khutbah, nasehat-nasehat, pelajaran-pelajaran banyak sekali, melebihi pada zaman para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tabi'in (orang-orang yang berguru kepada para sahabat) serta tabiut tabiin (orang-orang yang berguru kepada tabi'in). Namun bersamaan itu pula, amal perbuatan sedikit. Sering kali kita mendengarkan (perintah Allah dan RasulNya) namun, sering juga kita tidak melihat ketaatan, dan sering kali kita mengetahuinya, namun seringkali juga kita tidak mengamalkan.<br />
<br />
Inilah perbedaan antara kita dan sahabat-sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tabiin dan tabiut tabiin yang mereka itu hidup pada masa yang mulia. Sungguh pada masa mereka nasehat-nasehat, khutbah-khutbah dan pelajaran-pelajaran sedikit, hingga berkata salah seorang sahabat.<br />
<br />
"Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala memberikan nasehat mencari keadaan dimana kita giat, lantaran khawatir kita bosan" [Muttafaqun Alaihi]<br />
<br />
Di zaman para sahabat dahulu sedikit perkataan tetapi banyak perbuatan, mereka mengetahui bahwa apa yang mereka dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib diamalkan, sebagaimana keadaan tentara yang wajib melaksanakan komando atasannya di medan pertempuran, dan kalau tidak dilaksanakan kekalahan serta kehinaanlah yang akan dialami.<br />
<br />
Para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu, menerima wahyu Allah 'Azza wa Jalla dengan perantaraan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sikap mendengar, taat serta cepat mengamalkan. Tidaklah mereka terlambat sedikitpun dalam mengamalkan perintah dan larangan yang mereka dengar, dan juga tidak terlambat mengamalkan ilmu yang mereka pelajari dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
Inilah contoh yang menerangkan bagaimana keadaan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala mendapatkan wahyu dari Allah 'Azza wa Jalla. Para ahli tafsir menyebutkan tentang sebab turunnya ayat dalam surat Al-Ahzab ayat 36 ini (dengan berbagai macam sebab) , saya merasa perlu untuk menukilnya, inilah sebab turunnya ayat itu :<br />
<br />
Para ahli tafsir meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menginginkan untuk menghancurkan adanya perbedaan-perbedaan tingkatan (kasta) di antara manusia, dan melenyapkan penghalang antara fuqara (orang-orang fakir) dan orang-orang kaya. Dan juga antara orang-orang yang merdeka (yaitu bukan budak dan bukan pula keturunannya), dengan orang-orang yang (mendapatkan nikmat Allah 'Azza wa Jalla) menjadi orang merdeka sesudah dulunya menjadi budak.<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menerangkan kepada manusia bahwa mereka semua seperti gigi yang tersusun, tidak ada keutamaan bagi orang Arab terhadap selain orang Arab, dan tidak ada keutamaan atas orang yang berkulit putih terhadap yang berkulit hitam kecuali ketaqwaan (yang membedakan antara mereka). Sebagaimana firman Allah 'Azza wa Jalla.<br />
<br />
"Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" [Al-Hujurat : 13]<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menanamkan dalam hati manusia mabda' (pondasi) ini. Dan barangkali, dalam keadaan seperti ini, perkataan sedikit faedah dan pengaruhnya, yang demikian itu disebabkan karena fitrah manusia ingin menonjol dan cinta popularitas. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berpendapat untuk menanamkan pondasi ini dalam jiwa-jiwa manusia dalam bentuk amal perbuatan (yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wujudkan) dalam lingkungan keluarga serta kerabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini dikarenakan amal perbuatan lebih banyak memberi kesan dan pengaruh yang mendalam dalam hati manusia, dari hanya sekedar berbicara semata.<br />
<br />
Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi kepada Zainab binti Jahsiy anak perempuan bibi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (kakek Zainab dan kakek Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sama yaitu Abdul Mutthalib seorang tokoh Quraisy) untuk meminangnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin mengawinkannya dengan budak beliau Zaid bin Haritsah yang telah diberi nikmat Allah menjadi orang merdeka (lantaran dibebaskan dari budak). Lalu tatkala beliau menyebutkan bahwa beliau akan menikahkan Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti jahsiy, berkatalah Zainab binti Jahsiy : "Saya tidak mau menikah dengannya". Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Engkau harus menikah dengannya". Dijawab oleh Zainab : "Tidak, demi Allah, selamanya saya tidak akan menikahinya".<br />
<br />
Ketika berlangsung dialog antara Zainab dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Zainab mendebat dan membantah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian turunlah wahyu yang memutuskan perkara itu :<br />
<br />
"Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" [Al-Ahzab : 36]<br />
<br />
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan ayat tersebut kepada Zainab, maka berkatalah Zainab : "Ya Rasulullah ! apakah engkau ridha ia menjadi suamiku ?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Ya", maka Zainab berkata : "Jika demikian aku tidak akan mendurhakai Allah dan RasulNya, lalu akupun menikah dengan Zaid".<br />
<br />
Demikianlah Zainab binti Jahsiy menyetujui perintah Allah dan RasulNya, dan hanyalah keadaannya tidak setuju pada awal kalinya, lantaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah menawarkan dan bermusyawarah dengannya. Maka tatkala turun wahyu, perkaranya bukan hanya perkara nikah atau meminang, setuju atau tidak setuju, tetapi (setelah turunnya wahyu), perkaranya berubah menjadi ketaatan atau bermaksiat kepada Allah dan RasulNya.<br />
<br />
Tidak ada jalan lain didepan Zainab binti Jahsiy Radhiyallahu 'anha (semoga Allah meridhainya), melainkan harus mendengar dan taat kepada Allah dan RasulNya, dan kalau tidak taat maka berarti telah durhaka kepada Allah dan RasulNya, sedangkan Allah berfirman.<br />
<br />
"Artinya : Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" [Al-Ahzab : 36]<br />
<br />
Demikianlah , sikap para sahabat Nabi dahulu tatkala menerima wahyu dari Allah 'Azza wa Jalla, adapun kita (berbeda sekali), tiap pagi dan petang telinga kita mendengarkan perintah-peritah serta larangan-larangan Allah dan RasulNya, akan tetapi seolah-olah kita tidak mendengarkannya sedikitpun. Dan Allah Jalla Jalaluhu telah menerangkan bahwa manusia yang paling celaka adalah manusia yang tidak dapat mengambil manfaat suatu nasehat, Allah berfirman.<br />
<br />
"Artinya : Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat, orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya. (Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka). Kemudian dia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup" [Al-A'la : 9-13]<br />
<br />
Dan Allah 'Azza wa Jalla menyebutkan keadaan orang munafik tatkala mereka hadir dalam majelis Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka hadir dengan hati yang lalai.<br />
<br />
"Artinya : Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka ; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?" [Al-Munafiqun : 4]<br />
<br />
Lalu tatkala bubar dari majelis, mereka tidak memahami sedikitpun, Allah berfirman.<br />
<br />
"Artinya : Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang lebih diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi) : 'Apakah yang dikatakan tadi ?' Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka" [Muhammad : 16]<br />
<br />
Takutlah terhadap diri-diri kalian ! (wahai hamba Allah), dari keadaan yang terjadi pada orang-orang munafik, berusaha dan bersemangatlah untuk bersikap sebagaimana para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketahuilah ! sebagaimana Allah 'Azza wa Jalla telah mencela orang-orang yang berpaling dan lalai, sungguh Allah 'Azza wa Jalla memuji orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu memahami seperti yang dimaksud oleh Allah 'Azza wa Jalla, lalu mengamalkannya, Allah 'Azza wa Jalla berfirman.<br />
<br />
"Artinya : Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hambaKu, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal" [Az-Zumar : 17-18]<br />
<br />
Ketahuilah wahai hamba Allah yang muslim, bahwa tidak ada pilihan bagi kalian terhadap perintah Allah yang diperintahkan kepadamu ! tidak ada lagi pilihan bagimu ! baik engkau kerjakan ataupun tidak.<br />
<br />
Tidak ada lagi pilihan bagimu terhadap larangan Allah 'Azza wa Jalla yang engkau dilarang darinya ! baik engkau tinggalkan ataupun tidak ! Engkau dan apa yang engkau miliki semuanya adalah milik Allah 'Azza wa Jalla engkau hamba Allah, dan Allah 'Azza wa Jalla adalah tuanmu. Bagi seorang hamba, hendaknya mencamkan dalam dirinya untuk mendengar dan taat kepada perintah tuannya, sekalipun perintah itu nampak berat atas dirinya. Dan kalau tidak taat, tentu akan mendapatkan murka dari majikannya.<br />
<br />
Dan Allah 'Azza wa Jalla telah meniadakan keimanan dari orang-orang yang tidak ridha dengan hukumNya dan tidak tunduk kepada RasulNya dan perintah RasulNya, Allah berfirman.<br />
<br />
"Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nayata" [Al-Ahzab : 36]<br />
<br />
Sesudah itu, hendaklah anda (wahai para pembaca yang mulia) bersama dengan saya memperhatikan perbandingan ini :<br />
<br />
Kita tadi telah mengatakan : Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi ke Zainab binti Jahsiy Radhiyallahu 'anha untuk meminangnya bagi Zaid bi Haritsah. Awalnya Zainab menolak, karena pinangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya bersifat menolong semata, (bukan perintah). Maka tatkala turun ayat, berubahlah perkaranya menjadi perintah untuk taat (kepada Allah dan RasulNya).<br />
<br />
Tidak ada keleluasaan bagi zainab binti Jahsiy sesudah turunnya ayat itu, kecuali (harus) mendengar dan taat. Dan kalaulah perkaranya hanya menolong semata, tentu Zainab binti Jahsiy berhak menolak (jika tidak setuju), karena seorang wanita berhak memilih calon suami, sebagaimana lelaki memilih calon istri, dan inilah yang terjadi pada kisah Barirah :<br />
<br />
Dan kisahnya Barirah adalah sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari : "Bahwa 'Aisyah Ummul Mu'minin Radhiyallahu 'anha membeli seorang budak bernama Barirah, lalu 'Aisyah memerdekakannya. Barirah ini mempunyai suami bernama Mughis (dan ia juga seorang budak). Maka tatkala dimerdekakan Barirah mempunyai hak untuk memilih, apakah ia tetap berdampingan dengan suaminya (yang seorang budak), atau bercerai. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan pilihan baginya. Ternyata Barirah memilih untuk bercerai dengan suaminya.<br />
<br />
Adapun suaminya, sungguh sangat mencintainya dengan kecintaan yang sangat. Hingga tatkala Barirah memilih bercerai dengannya, ia berjalan-jalan di belakang Barirah di kampung-kampung kota Madinah dalam keadaan menangis. Maka tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat keadaannya itu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada paman beliau Abbas : "Tidakkah engkau heran terhadap kecintaan Mughis kepada Barirah ? sedang Barirah tidak menyukai Mughis ?" Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Barirah : "Wahai Barirah, mengapa engkau tidak kembali kepada sumimu?" sesungguhnya ia adalah suamimu dan ayah dari anak-anakmu!" Maka Barirah berkata : "Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintah atau hanya mengajurkan saja ?"<br />
<br />
Allahu Akbar !! perhatikanlah wahai para pembaca pertanyaan Barirah ini !! Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintah ? Sehingga aku tidak berhak menyelisihi perintahmu ? atau engkau hanya menganjurkan saja sehingga aku boleh berpendapat dengan pikiranku? Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Aku hanya mengajurkan saja !". Barirah berkata : "Aku tidak membutuhkan suamiku lagi !!"<br />
<br />
Disini kami berkata : "Pertama kali Zainab binti Jahsiy menolak untuk menikah dengan Zaid bin Haritsah, karena masalahnya hanyalah anjuran semata, maka tatkala turun wahyu perkaranya berubah menjadi ketaatan atau maksiat.<br />
<br />
Zainab binti Jahsiy berkata : "Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam apakah engkau meridhai aku menikah dengannya ?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Ya". Jika demikian aku tidak akan mendurhakai Allah dan RasulNya.<br />
<br />
Dan juga terhadap Barirah, tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menawarkan agar ia kembali kepada suaminya, ayah dari anak-anaknya yang tidak dapat bersabar untuk berpisah dengannya, Barirah meminta penjelasan : "Apakah engkau menyuruhku wahai Rasulullah ?" Sehingga tidak ada keleluasaan bagiku kecuali harus mendengar dan taat ? Maka tatkala Rasulullah bersabda : "Aku hanya menganjurkan" berkatalah Barirah : "Aku tidak membutuhkannya lagi".<br />
<br />
Demikianlah adab para Sahabat terhadap Allah dan Rasulnya, serta beragama karena Allah dan RasulNya dengan sikap mendengar dan taat, maka Allah menguasakan kepada mereka dunia ini, dan masuklah manusia ditangan mereka kepada agama Allah secara berbondong-bondong. Adapun kita, tatkala tidak beradab kepada Allah dan RasulNya, kita bimbang dan menimbang-nimbang antara perintah dan larangan-laranganNya (kita kerjakan atau tidak kita kerjakan), maka jadilah keadaan kita ini sebagaimana yang kita saksikan saat ini, maka demi Allah, kepadaNya-lah kalian mohon pertolongan, wahai kaum muslimin !<br />
<br />
"Artinya : Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepadaNya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi)" [Az-Zumar : 54]<br />
<br />
"Artinya : Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung" [An-Nuur : 31]<br />
<br />
[Disalin dari Majalah Adz-Dzkhiirah Al-Islamiyah Edisi : Th. 1/No. 04/ 2003 - 1424H, Diterbitkan : Ma'had Ali Al-Irsyad surabaya. Alamat Redaksi Perpustakaan Bahasa Arab Ma'had Ali Al-Irsyad, Jl Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya]Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-60924175037939636702012-03-07T05:07:00.000-08:002012-03-07T05:07:36.116-08:00KETERANGAN ULAMA TENTANG KEHARUSAN MEMILIKI ILMU DALAM MEMBERI NASEHAT DAN BERDA'WAHSyaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang da'i yang mengajak kepada perbuatan ma'ruf dan melarang orang lain berbuat mungkar, di antaranya :<br />
<br />
"...Yang dimaksud dengan niat terpuji yang diterima di sisi Allah dan mendapatkan ganjaranNya adalah hendaknya amalan tersebut ditujukan untuk mencari ridha Allah dan yang dimaksud dengan amal terpuji yang merupakan amal saleh adalah amal yang diperintahkan, dan apabila demikian adanya maka orang yang melakukan amar ma'ruf nahi munkar wajib menerapkan pada dirinya sendiri dua syarat tadi, dan tidaklah disebut amal saleh apabila tidak berdasarkan ilmu dan pemahaman ...."<br />
<br />
Kemudian beliau berkata pula :<br />
<br />
"...maka orang yang menjalankan amar ma'ruf nahi munkar haruslah memiliki ilmu tentang hal yang ma'ruf dan yang mungkar dan dapat membedakan antara keduanya dan harus memiliki ilmu tentang keadaan orang yang diperintah dan yang dilarang.<br />
<br />
Dan yang dimaksudkan dengan ilmu adalah apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dari apa-apa yang Allah utuskan kepadanya dan dia adalah As Sulthan sebagaimana Allah berfirman :<br />
<br />
"Yaitu orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka." [Ghafir : 35]<br />
<br />
Barangsiapa yang berbicara tentang dien Islam ini bukan dengan apa yang telah Allah utuskan kepada RasulNya, maka ia berbicara tanpa ilmu, dan barangsiapa yang dikuasai oleh syetan maka syetan pasti menyesatkannya dan menuntunnya menuju adzab jahannam yang menyala- nyala. Dan barangsiapa yang tunduk kepada dienullah maka ia telah beribadah kepada Allah dengan keyakinan." [1]<br />
<br />
Syaikh Abdul Azis bin Baz rahimahullah (wafat th.1420 H) berkata ketika menceritakan tentang akhlak dan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang da'i :<br />
<br />
"Haruslah da'wahmu itu ditegakkan atas hujjah yang nyata, yaitu berdasarkan ilmu, janganlah engkau jahil dengan apa yang engkau serukan kepada manusia, Allah berfirman:<br />
<br />
"Katakanlah : "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kalian (kepada) Allah dengan hujjah yang nyata." [Yusuf : 108]<br />
<br />
Maka haruslah engkau memiliki ilmu, dan ini hukumnya wajib, maka hati-hatilah jangan sekali-kali engkau berýda'wah dengan kebodohan, janganlah sekali-kali engkau berbicara dalam hal-hal yang tidak engkau ketahui, maka orang yang bodoh itu menghancurkan, bukannya membangun, merusak bukannya memperbaiki, maka bertaqwalah kepada Allah wahai hamba Allah, hati-hati, janganlah sekali-kali engkau mengatakan sesuatu dengan mengatasnamakan Allah tanpa ilmu, janganlah engkau berýda'wah mengajak orang lain kepada sesuatu, kecuali dengan ilmu tentang hal tersebut, dan hujjah yang nyata itu artinya sesuai dengan firman Allah dan sabda RasulNya.<br />
<br />
Maka seharusnya atas setiap penuntut ilmu dan juru ýda'wah agar memperhatikan tentang apa yang ia serukan dan memperhatikan dalilnya, apabila nampak bagi dia kebenaran dan mengetahuinya maka baru dia menýda'wahkannya, menyeru untuk melakukan keta'atan dan melarang kemaksiatan yang dilarang oleh Allah dan RasulNya." [2]<br />
<br />
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin hafidzahullah berkata ketika beliau menjelaskan tentang bekal-bekal juru ýda'wah, di antaranya adalah :<br />
<br />
"Hendaklah seorang da'i memiliki bekal ilmu dalam berýda'wah. Ilmu yang benar bersumber dari Al-Qur'an dan As Sunnah karena setiap ilmu harus digali dari keduanya. Adapun ilmu yang datang kepada kita harus diperiksa terlebih dahulu apakah sesuai dengan Al-Qur'an dan As Sunnah atau tidak. Apabila sesuai maka harus diterima, dan apabila bertentangan wajib ditolak siapa pun yang menyatakannya. Ibnu Abas radliyallahu'anhuma telah berkata,<br />
<br />
"Hampir saja batu terjatuh dari langit menimpa kalian, aku mengatakan Rasulullah bersabda dan kalian mengatakan, "Abu Bakar dan Umar berkata"<br />
<br />
Apabila ucapan Abu Bakr dan Umar sebagai seorang khalifah dan shahabat yang menyalahi sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam harus ditolak, maka bagaimana kiranya dengan pendapat seorang yang jauh di bawah mereka berdua dalam hal ilmu dan taqwa ? tentu lebih utama untuk ditolak ucapannya. Sungguh Allah Subhana wa Ta'ala telah berfirman :<br />
<br />
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." [An-Nur : 63]<br />
<br />
Imam Ahmad rahimahullah berkata, "Tahukah engkau apakah fitnah itu ? Fitnah itu adalah kesyirikan, barangkali apabila ia menolak sebagian sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam maka akan menimpa dia sesuatu, berupa kecondongan kepada kesesatan yang menyebabkan ia binasa."<br />
<br />
Sesungguhnya bekal yang pertama yang harus dimilki seorang da'i yang menyeru manusia kepada agama Allah, haruslah ia memiliki ilmu yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits yang shahih, adapun da'wah tanpa ilmu maka sesungguhnya ia adalah da'wah berdasarkan kebodohan dan da'wah berdasarkan kebodohan lebih banyak merugikan dari pada manfaatnya dikarenakan si da'i ini telah menobatkan dirinya sebagai orang yang sesat dan menyesatkan, kami memohon pelindungan kepada Allah dari yang demikian itu, dan orangnya disebut dengan jahil murakkab (bertumpuk-tumpuk), kebodohan yang bertumpuk-tumpuk ini lebih berbahaya dari pada kebodohan yang ringan, orang yang bodoh ringan (yaitu merasa dirinya bodoh, pent) dia tidak akan berbicara dan dengan belajar ia dapat menghilangkan kebodohannya, tetapi problem yang sangat besar itu pada diri orang bodoh bertumpuk-tumpuk karena dia tidak akan diam bahkan terus berbicara meskipun dengan kebodohan. Maka ia lebih banyak menjadi perusak dan penghancur dari pada menjadi pemberi cahaya.<br />
<br />
Wahai saudara-saudara, sesungguhnya da'wah menyeru kepada agama Allah tanpa didasari ilmu menyalahi praktek Nabi shalallahu 'alaihi wasallam dan para pengikutnya. Dengarkanlah firman Allah Ta'ala ketika memerintahkan NabiNya, Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam, dalam firmanNya :<br />
<br />
"Katakanlah : "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujjah (ilmu) yang nyata." [Yusuf : 108]<br />
<br />
Pada kalimat "Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) dengan hujjah (ilmu) yang nyata", maka haruslah seorang da'i untuk menyeru kepada agama Allah berdasarkan ilmu bukan berdasarkan kebodohan.<br />
<br />
Dan perhatikanlah, wahai da'i firman Allah Ta'ala, "Úáì ÈÕíÑÉ" [dengan hujjah (ilmu)], yaitu dalam tiga perkara :<br />
<br />
[1]. Dengan ilmu tentang apa yang ia sampaikan, hendaklah ia mengetahui hukum syari'at karena boleh jadi seseorang mengajak orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang disangkanya sebagai suatu kewajiban, padahal sesungguhnya dalam syari'at Allah perbuatan tersebut tidaklah wajib maka ia telah mengharuskan manusia untuk melakukan sesuatu yang tidak diharuskan oleh Allah, dan sebaliknya boleh jadi ia melarang orang lain melakukan suatu perbuatan yang disangkanya sebagai hal yang haram, padahal sesungguhnya dalam dien Allah bukanlah suatu yang haram, maka ia telah mengharamkan manusia apa-apa yang Allah halalkan untukmereka.<br />
<br />
[2]. Dengan ilmu tentang keadan orang yang dida'wahi, oleh karena itu ketika Nabi shalallahu 'alaihi wasallam mengutus Muadz bin Jabal radhiallahu 'anhu ke negeri Yaman beliau berpesan kepadanya, "Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab," agar Muadz mengetahui dan bersiap-siap untuk menghadapi mereka. Maka haruslah engkau mengetahui keadaan orang yang dida'wahi, sejauh mana kapasitas ilmunya ? Sejauh mana kemampuan bicaranya ?. Supaya engkau memposisikan diri secara matang untuk berdiskusi dengannya, karena seanýdainya engkau dalam kebenaran berdebat dengan orang yang jauh lebih panýdai dalam berbicara, maka engkaulah yang akan terpojokkan. Maka, jadilah musibah besar terhadap kebenaran sehingga disangka sebagai kebatilan dan engkau adalah penyebabnya, dan janganlah engkau menyangka bahwa pendukung kebatilan itu mesti kalah dalam berbicara pada setiap keadaan.<br />
<br />
Sesungguhnya Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam telah bersabda yang artinya:<br />
<br />
"Sesungguhnya kalian berselisih dan mengadukan kepadaku, dan barangkali sebagian di antara kalian lebih pandai dalam berbicara membawakan alasan-alasannya dibandingkan dari yang lain, maka aku memutuskan yang menguntungkannya disebabkan yang aku dengar."<br />
<br />
Ini menunjukkan bahwa orang yang berselisih tadi, meskipun di pihak yang batil dikarenakan ia lebih pandai dalam berbicara mengemukakan alasannya, maka diputuskan sesuai dengan apa yang telah diutarakan oleh orang tersebut. Oleh karena itu, haruslah engkau mengetahui keadaan orang yang dida'wahi.<br />
<br />
[3]. Dengan ilmu tentang cara berda'wah. Allah Subhana wa Ta'ala berfirman :<br />
"Serulah (manusia) kepada jalan rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik" [An-Nahl : 125]<br />
<br />
Sebagian manusia ketika ia melihat kemungkaran segera menyerangnya, tanpa befikir dampak dari perbuatannya, bukan saja berkenaan dengan dia pribadi, tetapi dampaknya bagi dia dan teman- temannya sesama da'i. Oleh karena itu wajib atas setiap da'i sebelum bergerak melakukan sesuatu, memikirkan apa yang mungkin akan terjadi dan menimbangnya, boleh jadi pada saat itu ia dapat melampiaskan gejolak kecemburuannya dengan pengingkaran tersebut, tetapi dalam waktu yang dekat setelah pengingkaran tadi dapat memadamkan api kecemburuan dia dan orang lain. Oleh karena itu, saya menganjurkan saudara-saudaraku para da'i untuk menggunakan hikmah dan ketelitian, dan perkara ini meskipun terlambat sedikit tetapi membawa akibat yang terpuji dengan kehendak Allah.<br />
<br />
Pentingnya seorang da'i berbekal dengan ilmu yang benar berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah disamping telah terdapat dalil-dalilnya dalam nash-nash syari'at juga akal yang sehat ikut membuktikan juga, karena bagaimana mungkin engkau berda'wah menyeru manusia kepada dien Allah sedangkan engkau tidak mengetahui jalan menujuNya, tidak mengetahui syari'atNya, bagaimana bisa ia dikatakan sebagai da'i ?!<br />
<br />
Apabila sesorang belum memiliki ilmu, maka sepantasnya ia belajar terlebih dahulu kemudian baru berda'wah.<br />
<br />
Boleh jadi ada seorang yang bertanya, "Apakah ucapanmu tadi bertentangan dengan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam.<br />
<br />
"Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat" ?"<br />
<br />
Maka saya menjawab, "Tidaklah bertentangan, karena Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sampaikanlah dariku," kalau begitu apa yang kami sampaikan itu harus berasal dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, inilah yang kami inginkan, ketika kami berkata bahwa seorang da'i membutuhkan ilmu bukan berarti kami mengharuskan ia memiliki ilmu yang sangat luas, tetapi kami menyatakan janganlah seorang menyampaikan sesuatu kecuali dengan apa yang ia ketahui saja, janganlah ia berbicara dengan sesuatu yang tidak ia ketahui." [3]<br />
<br />
[Disalin dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq Bin Gasim Anuz, Cetakan Pertama, Sya'ban 1420H/November 1999. Penerbit Pustaka Azzam Jakarta. PO BOX 7819 CC JKTM]<br />
__________<br />
Foote Note<br />
[1]. Majmu'Fatawa, juz 28 hal. 39. Dinukil dari buku Dhowabit All-Amri bil ma'rufi wan nahyi 'anil mungkari inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah<br />
[2]. Wujubud ýda'wah ilallahi wa akhlakud du'at, hal.50<br />
[3]. Zaad Ad-Daa'iyah ilallah, hal 6-10Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-65221952035724505852012-03-07T05:04:00.000-08:002012-03-07T05:04:41.544-08:00GOLONGAN AWAM TERGESA-GESA DALAM MENGELUARKAN FATWA<br />
Pertanyaan.<br />
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ketika dilontarkan pertanyaan yang berkaitan dengan syari'at pada suatu majlis, umpamanya, orang-orang awam berlomba-lomba mengeluarkan fatwa dan mengemukakan pendapat dalam masalah tersebut yang biasanya tidak berdasarkan ilmu. Apa komentar Syaikh yang mulia mengenai fenomena ini? Dan apakah ini merupakan kebaikan terhadap Allah dan RasulNya?<br />
<br />
Jawaban<br />
Sebagaimana diketahui, bahwa seseorang tidak boleh berbicara tentang masalah agama Allah tanpa berdasarkan ilmu, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,<br />
<br />
"Artinya : Katakanlah, 'Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui." [Al-A'raf : 33]<br />
<br />
Hendaknya seseorang bersikap hati-hati dan takut berkata atas nama Allah tanpa berdasarkan ilmu. Ini tidak termasuk perkara duniawi yang merupakan medan akal. Bahkan, sekalipun mengenai perkara duniawi yang merupakan medan akal, hendaknya seseorang berhati-hati (tidak terburu-buru) dan perlahan-lahan, karena bisa jadi jawaban dirinya akan menjadi jawaban yang lainnya, sehingga seolah-olah ia menetapkan dari dua jawaban dan ungkapannya menjadi ungkapan terakhir yang menentukan. Banyak orang yang berbicara dengan pendapat mereka, maksud saya, dalam perkara-perkara yang bukan syari'at. Jika ia perlahan-lahan dan mengakhirkan pengungkapannya, akan tampak yang benar baginya dari banyaknya pendapat yang ada yang sebelumnya tidak terbesit di dalam benaknya. Karena itu, saya sarankan kepada setiap orang, hendaklah perlahan-lahan untuk menjadi pembicara yang terakhir sehingga ia seolah-olah menjadi penentu di antara pendapat-pendapat tersebut. Sikap ini pun untuk mengetahui ragamnya pendapat yang belum diketa-huinya sebelum ia mendengarnya saat itu. Demikian ini untuk perkara-perkara duniawi. Adapun untuk perkara-perkara agama, seseorang sama sekali tidak boleh berpendapat kecuali dengan ilmu yang diketahuinya dari Kitabullah dan Sunnah RasulNya atau pendapat-pendapat para ahlul ilmi.<br />
<br />
[Alfazh wa Mafahim fi Mizanisy Syari'ah, hal. 44-46, Syaikh Ibnu Utsaimin]<br />
<br />
PENGARUH ZAMAN TERHADAP FATWA<br />
<br />
Pertanyaan<br />
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada fenomena yang telah memasyarakat, yang mana sebagian orang memahami bahwa sebagian perkara yang dulu diharamkan, seperti radio, kini menjadi halal. Mereka mengatakan, bahwa berubahnya zaman atau tempat mempengaruhi fatwa. Kami mohon perkenan Syaikh yang mulia untuk menjelaskan kebenaran dalam hal ini. Dan bagaimana membantah orang yang mengatakan seperti itu? Semoga Allah memberi anda kebaikan.<br />
<br />
Jawaban:<br />
Sebenarnya, fatwa tidak berubah dengan berubahnya zaman, tempat atau pun individu, akan tetapi, hukum syari'at itu bila terkait dengan alasan, jika alasannya ada maka hukumnya berlaku, jika alasannya tidak ada maka hukumnya pun tidak berlaku. Adakalanya seorang pemberi fatwa melarang manusia terhadap sesuatu yang dihalalkan Allah karena sesuatu itu menyebabkan manusia melakukan yang haram, hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Umar Radiyallahu anhu dalam masalah talak tiga, yaitu ketika ia melihat orang-orang menyepelekannya sehingga ia memberlaku-kannya. Sebelumnya, pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada masa Abu Bakar Radiyallahu anhu dan pada dua tahun pertama masa kekhilafahan Umar, talak tiga dianggap satu, lalu karena Umar melihat orang-orang banyak menyepelekannya maka ia melarang mereka yang melakukan itu untuk rujuk kepada isteri-isterinya. Demikian juga tentang hukuman peminum khamr, sebelumnya, pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pada masa Abu Bakar, hukumannya tidak lebih dari 40 kali cambukan, tapi karena orang-orang masih banyak yang suka minum khamr, maka Umar bermusyawarah dengan para sahabat Radiyallahu anhu, yang hasilnya menetapkan hukumannya menjadi 80 kali cambukan.<br />
<br />
Jadi, hukum-hukum syari'at itu tidak mungkin dipermainkan manusia, jika mau mereka mengharamkan dan jika mau mereka halalkan, tapi hukum-hukum syari'at itu harus berdasarkan pada alasan-alasan syar'iyyah yang bisa menetapkan atau meniadakan.<br />
<br />
Adapun tentang radio, tidak ada seorang pun yang mengharamkannya dari kalangan ulama analistis. Sedangkan yang mengharamkannya hanyalah orang-orang yang tidak mengetahui hakikatnya. Adapun para ulama analistis terutama Syaikh kita, Abdurrahman bin Sa'di tidak memandangnya sebagai hal yang haram, bahkan mereka memandang bahwa radio itu termasuk hal-hal yang diajarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia, terkadang bermanfaat dan terkadang pula merusak, tergantung isinya. Demikian juga pengeras suara (loudspeaker), pada awal kemunculannya diingkari oleh sebagian orang, tapi itu karena tanpa penelitian. Sedangkan para analis tidak mengingkarinya, bahkan mereka memandang bahwa pengeras suara itu termasuk ni'mat Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memudahkan mereka dalam menyampaikan khutbah dan wejangan kepada yang jauh.<br />
<br />
[Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani]<br />
<br />
KEDUDUKAN DAN KEUTAMAAN AHLUL ILMU<br />
<br />
Pertanyaan:<br />
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana kedudukan dan keutamaan ahlul ilmi dalam Islam?<br />
<br />
Jawaban<br />
Kedudukan ahlul ilmi adalah kedudukan yang paling agung, karena para ahlul ilmi adalah pewaris para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itulah diwajibkan pada mereka untuk menjelaskan ilmu dan mengajak manusia ke jalan Allah, kewajiban ini tidak dibebankan kepada selain mereka. Di dunia ini mereka laksana bintang-bintang di langit, yang mana mereka membimbing manusia yang sesat dan bingung serta menjelaskan kebenaran kepada mereka dan memperingatkan mereka terhadap keburukan. Karena itu, di bumi ini, mereka bagaikan air hujan yang membasahi bumi yang kering kerontang, lalu tumbuhlah tumbuhan dengan izin Allah. Di samping itu, diwajibkan kepada para ahlul ilmi untuk beramal, berakhlak dan beretika yang tidak seperti yang diwajibkan pada selain mereka, karena mereka adalah suri teladan, sehingga mereka adalah manusia yang paling berhak dan paling berkewajiban untuk melaksanakan syari'at, baik dalam etika maupun akhlaknya.<br />
<br />
[Dari fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani]<br />
<br />
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Disusun oleh Khalid Al-Juraisy,Penerjemah Amir Hamzah, Penerbit Darul Haq]Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-7393009349743492252012-03-07T05:03:00.000-08:002012-03-07T05:03:10.976-08:00TANDA-TANDA ILMU YANG BERMANFAATIlmu yang bermanfaat dapat diketahui dengan melihat kepada pemilik ilmu tersebut. Di antara tanda-tandanya adalah:<br />
<br />
1. Orang yang bermanfaat ilmunya tidak peduli terhadap keadaan dan kedudukan dirinya serta hati mereka membenci pujian dari manusia, tidak menganggap dirinya suci, dan tidak sombong terhadap orang lain dengan ilmu yang dimilikinya.<br />
<br />
Imam al-Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) rahimahullaah mengatakan, “Orang yang faqih hanyalah orang yang zuhud terhadap dunia, sangat mengharapkan kehidupan akhirat, mengetahui agamanya, dan rajin dalam beribadah.” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Ia tidak iri terhadap orang yang berada di atasnya, tidak sombong terhadap orang yang berada di bawahnya, dan tidak mengambil imbalan dari ilmu yang telah Allah Ta’ala ajarkan kepadanya.” [1]<br />
<br />
2. Pemilik ilmu yang bermanfaat, apabila ilmunya bertambah, bertambah pula sikap tawadhu’, rasa takut, kehinaan, dan ketundukannya di hadapan Allah Ta’ala.<br />
<br />
3. Ilmu yang bermanfaat mengajak pemiliknya lari dari dunia. Yang paling besar adalah kedudukan, ketenaran, dan pujian. Menjauhi hal itu dan bersungguh-sungguh dalam menjauhkannya, maka hal itu adalah tanda ilmu yang bermanfaat.<br />
<br />
4. Pemilik ilmu ini tidak mengaku-ngaku memiliki ilmu dan tidak berbangga dengannya terhadap seorang pun. Ia tidak menisbatkan kebodohan kepada seorang pun, kecuali seseorang yang jelas-jelas menyalahi Sunnah dan Ahlus Sunnah. Ia marah kepadanya karena Allah Ta’ala semata, bukan karena pribadinya, tidak pula bermaksud meninggikan kedudukan dirinya sendiri di atas seorang pun. [2]<br />
<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) rahimahullaah membagi ilmu yang bermanfaat ini -yang merupakan tiang dan asas dari hikmah- menjadi tiga bagian. Beliau rahimahullaah berkata, “Ilmu yang terpuji, yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah adalah ilmu yang diwariskan dari para Nabi, sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.<br />
<br />
إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ لَمْ يَرِثُوا دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ.<br />
<br />
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan mereka tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Siapa yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” [3]<br />
<br />
Ilmu Ini Ada Tiga Macam:<br />
1. Ilmu tentang Allah, Nama-Nama, dan sifat-sifat-Nya serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Contohnya adalah sebagaimana Allah menurunkan surat al-Ikhlaash, ayat Kursi, dan sebagainya.<br />
<br />
2. Ilmu mengenai berita dari Allah tentang hal-hal yang telah terjadi dan akan terjadi di masa datang serta yang sedang terjadi. Contohnya adalah Allah menurunkan ayat-ayat tentang kisah, janji, ancaman, sifat Surga, sifat Neraka, dan sebagainya.<br />
<br />
3. Ilmu mengenai perintah Allah yang berkaitan dengan hati dan perbuatan-perbuatan anggota tubuh, seperti beriman kepada Allah, ilmu pengetahuan tentang hati dan kondisinya, serta perkataan dan perbuatan anggota badan. Dan hal ini masuk di dalamnya ilmu tentang dasar-dasar keimanan dan tentang kaidah-kaidah Islam dan masuk di dalamnya ilmu yang membahas tentang perkataan dan perbuatan-perbuatan yang jelas, seperti ilmu-ilmu fiqih yang membahas tentang hukum amal perbuatan. Dan hal itu merupakan bagian dari ilmu agama. [4]<br />
<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) rahimahullaah juga berkata, “Telah berkata Yahya bin ‘Ammar (wafat th. 422 H), ‘Ilmu itu ada lima:<br />
<br />
1. Ilmu yang merupakan kehidupan bagi agama, yaitu ilmu tauhid<br />
<br />
2. Ilmu yang merupakan santapan agama, yaitu ilmu tentang mempelajari makna-makna Al-Qur-an dan hadits<br />
<br />
3. Ilmu yang merupakan obat agama, yaitu ilmu fatwa. Apabila suatu musibah (malapetaka) datang kepada seorang hamba, ia membutuhkan orang yang mampu menyembuhkannya dari musibah itu, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu<br />
<br />
4. Ilmu yang merupakan penyakit agama, yaitu ilmu kalam dan bid’ah, dan<br />
<br />
5. Ilmu yang merupakan kebinasaan bagi agama, yaitu ilmu sihir dan yang sepertinya.’” [5]<br />
<br />
[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]<br />
_______<br />
Footnote<br />
[1]. Sunan ad-Darimi (I/89)<br />
[2]. Disarikan dari kitab Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 55-57).<br />
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban (no. 80-Mawaarid), ini lafazh Ahmad, dari Shahabat Abu Darda' radhiyallaahu ‘anhu.<br />
[4]. Majmu’ Fataawaa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XI/396,397 dengan sedikit perubahan). Lihat kitab Muqawwimaat ad-Daa’iyah an-Naajih, hal. 18, karya Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani.<br />
[5]. Majmuu’ Fataawaa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (X/145-146) dan Siyar A’laamin Nubalaa’ (XVII/482)Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-28674980314761343032012-03-07T05:01:00.000-08:002012-03-07T05:01:05.678-08:00JANGAN MENGAMBIL ILMU AGAMA DARI AHLI BID’AHOrang yang berniat mencari ilmu yang haq harus memperhatikan dari siapa dia mengambil ilmu. Jangan sampai mengambil ilmu agama dari ahli bid’ah, karena mereka akan menyesatkan, baik disadari atau tanpa disadari. Sehingga hal ini akan mengantarkannya kepada jurang kehancuran.<br />
<br />
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan, bahwa untuk meraih ilmu ada dua jalan.<br />
<br />
Pertama : Ilmu diambil dari kitab-kitab terpercaya, yang ditulis oleh para ulama yang telah dikenal tingkat keilmuan mereka, amanah, dan aqidah mereka bersih dari berbagai macam bid’ah dan khurafat (dongeng; kebodohan). Mengambil ilmu dari isi kitab-kitab, pasti seseorang akan sampai kepada derajat tertentu, tetapi pada jalan ini ada dua halangan. Halangan pertama, membutuhkan waktu yang lama dan penderitaan yang berat. Halangan kedua, ilmunya lemah, karena tidak dibangun di atas kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip.<br />
<br />
Kedua : Ilmu diambil dari seorang guru yang terpercaya di dalam ilmunya dan agamanya. Jalan ini lebih cepat dan lebih kokoh untuk meraih ilmu.[1]<br />
<br />
Akan tetapi pantas disayangkan, pada zaman ini kita melihat fenomena pengambilan ilmu dari para ahli bid’ah marak di mana-mana, padahal perbuatan tersebut sangat ditentang oleh para ulama Salaf. Maka benarlah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang telah memberitakan bahwa hal itu merupakan salah satu di antara tanda-tanda dekatnya kiamat. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :<br />
<br />
إِنَّ مِنْ أَشْرِاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ الْأَصَاغِرِ<br />
<br />
"Sesungguhnya di antara tanda hari Kiamat adalah, ilmu diambil dari orang-orang kecil (yaitu ahli bid’ah)" [2].<br />
<br />
Imam Ibnul Mubarak rahimahullah ditanya : “Siapakah orang-orang kecil itu?”<br />
<br />
Beliau menjawab : “Orang-orang yang berbicara dengan fikiran mereka. Adapun shaghir (anak kecil) yang meriwayatkan dari kabir (orang tua, Ahlus Sunnah), maka dia bukan shaghir (ahli bid’ah).[3]<br />
<br />
Di dalam riwayat lain, Imam Ibnul Mubarak juga mengatakan: “Orang-orang kecil dari kalangan ahli bid’ah”. (Riwayat al Lalikai, 1/85).<br />
<br />
Syaikh Bakar Abu Zaid –seorang ulama Saudi, anggota Komisi Fatwa Saudi Arabia- berkata : “Waspadalah terhadap Abu Jahal (bapak kebodohan), yaitu ahli bid’ah, yang tertimpa penyimpangan aqidah, diselimuti oleh awan khurafat; dia menjadikan hawa nafsu sebagai hakim (penentu keputusan) dengan menyebutnya dengan kata “akal”; dia menyimpang dari nash (wahyu), padahal bukankah akal itu hanya ada dalam nash? Dia memegangi yang dha’if (lemah) dan menjauhi yang shahih. Mereka juga dinamakan ahlusy syubuhat (orang-orang yang memiliki dan menebar kerancauan pemikiran) dan ahlul ahwa’ (orang-orang yang mengikuti kemauan hawa nafsu). Oleh karena itulah Ibnul Mubarak menamakan ahli bid’ah dengan ash shaghir (anak-anak kecil).[4]<br />
<br />
Dan tanda hari Kiamat, yaitu “mengambil ilmu dari orang-orang kecil (yaitu ahli bid’ah)” pada zaman ini benar-benar sudah terjadi dan terus berjalan. Sungguh telah terbukti sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas. Bahkan sesuatu yang lebih besar dari itu, yaitu mengambil ilmu agama Islam dari orang-orang kafir, yakni para dosen yang mengajarkan pengetahuan tentang Islam di berbagai perguruan tinggi di negara Barat.<br />
<br />
Maka apakah kira-kira komentar para ulama Salaf, jika mereka mengalami zaman kita ini? Sedangkan mereka adalah orang-orang yang sangat tulus dalam memberikan nasihat, dan tegas menghadapi berbagai penyimpangan?<br />
<br />
Marilah kita renungkan perkataan Imam adz Dzahabi rahimahullah tentang ahli bid’ah pada zaman beliau.<br />
<br />
Beliau mengatakan: “Jika engkau melihat seorang mutakallim (seorang yang zhahirnya muslim tetapi menggeluti ilmu kalam, mantiq, filsafat, Pen), ahli bid’ah, berkata,’Tinggalkan kami dari al Kitab (al Qur`an) dan hadits-hadits, dan datangkanlah akal,’ maka ketahuilah bahwa dia Abu Jahal. Dan jika engkau melihat seorang salik tauhidi (seorang shufi, Pen) berkata,’Tinggalkan kami dari naql (wahyu) dan akal, dan datangkanlah perasaan dan rasa,’ maka ketahuilah bahwa dia adalah iblis yang telah muncul dengan bentuk manusia, atau iblis telah merasuk padanya. Jika kamu merasa takut padanya, maka larilah. Jika tidak takut, maka bantinglah dia, dan tindihlah dadanya, dan bacakan ayat kursi kepadanya, dan cekiklah dia”.[5]<br />
<br />
PERINGATAN PARA ULAMA<br />
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyebutkan sifat ulama yang akan selalu ada sepanjang zaman, sampai waktu yang dikehendaki oleh Allah, yaitu di dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :<br />
<br />
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ : يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ وَ إِنْتِحِالَ الْمُبْطِلِيْنَ<br />
<br />
"Ilmu agama ini akan dibawa oleh orang-orang yang lurus pada setiap generasi; mereka akan menolak tahrif (perubahan) yang dilakukan oleh orang-orang yang melewati batas; ta’wil (penyimpangan arti) yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh; dan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat kepalsuan" [6]<br />
<br />
Hadits ini jelas dan tegas menunjukkan sifat-sifat pengemban ilmu agama, yaitu ‘adalah (lurus, istiqamah), maka sepantasnya ilmu itu hanyalah diambil dari mereka. Oleh karena itu, banyak peringatan ulama tentang memilih guru agama yang tepat di dalam mengambil ilmu. Berikut ini di antara perkataan ulama berkaitan dengan hal tersebut.<br />
<br />
1). Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu berkata :<br />
<br />
اُنْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ هَذَا الْعِلْمَ فَإِنَّمَا هُوَ دِينٌ<br />
<br />
"Perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ilmu ini, karena sesungguhnya ia adalah agama" [7]<br />
<br />
Perkataan ini juga diriwayatkan dari sejumlah Salafush Shalih, seperti Muhammad bin Siirin, adh Dhahhak bin Muzahim, dan lain-lain (Lihat muqaddimah Shahih Muslim).<br />
<br />
2). Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata :<br />
<br />
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ مِنْ أَكَابِرِهِمْ , فَإِذَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ قِبَلِ أَصَاغِرِهِمْ , وَ تَفَرَّقَتْ أَهْوَاءُهُمْ , هَلَكُوْا<br />
<br />
"Manusia akan selalu berada di atas kebaikan, selama ilmu mereka datang dari para sahabat Nabi Muhammad n dan dari orang-orang besar (tua) mereka. Jika ilmu datang dari arah orang-orang kecil (ahli bid’ah) mereka, dan hawa-nafsu mereka bercerai-berai, mereka pasti binasa" [8].<br />
<br />
Dalam riwayat lain disebutkan :<br />
<br />
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَخَذُوْا الْعِلْمَ عَنْ أَكَابِرِهِمْ , فَإِذَا أَخَذُوْهُ مِنْ أَصَاغِرِهِمْ وَ شِرَارِهِمْ هَلَكُوْا<br />
<br />
"Manusia selalu berada pada kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang besar (tua) mereka. Jika mereka mengambil ilmu dari orang-orang kecil (ahli bid’ah) dan orang-orang buruk (orang fasik) di antara mereka, maka mereka pasti binasa" [9]<br />
<br />
3). Imam Malik rahimahullah berkata :<br />
<br />
لاَ يُؤْخَذُ الْعِِلْمُ عَنْ أَرْبَعَةٍ: سَفِيْهٍ مُعلِنِ السَّفَهِ , وَ صَاحِبِ هَوَى يَدْعُو إِلَيْهِ , وَ رَجُلٍ مَعْرُوْفٍ بِالْكَذِبِ فِيْ أَحاَدِيْثِ النَّاسِ وَإِنْ كَانَ لاَ يَكْذِبُ عَلَى الرَّسُوْل صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَ رَجُلٍ لَهُ فَضْلٌ وَ صَلاَحٌ لاَ يَعْرِفُ مَا يُحَدِّثُ بِهِ<br />
<br />
"Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang : (1) Orang bodoh yang nyata kebodohannya, (2) Shahibu hawa` (pengikut hawa nafsu) yang mengajak agar mengikuti hawa nafsunya, (3) Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan manusia, walaupun dia tidak pernah berdusta atas (nama) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , (4) Seorang yang mulia dan shalih yang tidak mengetahui hadits yang dia sampaikan.[10]<br />
<br />
4). Imam Nawawi rahimahullah berkata menjelaskan ghibah yang dibolehkan :<br />
“Di antaranya, jika seseorang melihat pencari ilmu sering mengambil ilmu dari ahli bid’ah atau orang fasik, dan dia khawatir hal itu akan membahayakan pencari ilmu tersebut, maka dia wajib menasihatinya, dengan menjelaskan keadaan (guru)nya, dengan syarat dia berniat menasihati”. [Riyadhush Shalihin, al Adzkar, Syarah Muslim].<br />
<br />
5). Disebutkan di dalam kitab Fatawa Aimmatil Muslimin, hlm. 131, susunan Mahmud Muhammad Khithab as Subki yang berisikan fatwa-fatwa sebagian ulama Mesir, Syam dan Maghrib mutaqaddimin : “Seluruh imam mujtahidin telah sepakat, bahwa tidak boleh mengambil ilmu dari ahli bid’ah”.<br />
<br />
TUJUAN PERINGATAN ULAMA<br />
Syaikh Dr. Ibrahim bin Amir Ruhaili –hafizhahullah- berkata,”Sesungguhnya para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para tabi’in sesudah mereka telah memberikan bimbingan untuk mengambil ilmu dari orang yang ‘adil dan istiqamah. Mereka telah melarang mengambil ilmu dari orang yang zhalim dan menyimpang. Dan di antara orang yang menyimpang, yaitu para ahli bid’ah. Sesungguhnya mereka telah menyimpang dan menyeleweng dari agama dengan sebab bid’ah-bid’ah itu, maka tidah boleh mengambil ilmu dari mereka. Karena ilmu merupakan agama, dipelajari untuk diamalkan. Maka jika ilmu diambil dari ahli bid’ah, sedangkan ahli bid’ah tidak mendasarkan dan menetapkan masalah-masalah kecuali dengan bid’ah-bid’ah yang dia jadikan agama, sehingga ahli bid’ah itu akan mempengaruhi murid-muridnya secara ilmu dan amalan. Sehingga murid-murid itu akan tumbuh di atas bid’ah dan susah meninggalkan kebid’ahan setelah itu. Apalagi jika belajar dari ahli bid’ah itu pada masa kecil, maka pengaruhnya akan tetap dan tidak akan hilang selama hidupnya.”[11]<br />
<br />
Syaikh juga menjelaskan, maksud peringatan para ulama ini ada dua. Pertama. Menjaga orang-orang yang belajar dari kerusakan aqidah, karena terpengaruh oleh perkataan dan perbuatan ahli bid’ah. Kedua. Memboikot (mengisolir) ahli bid’ah yang menyerukan bid’ahnya, dengan niat mencegah dan menghentikan mereka dari bid’ah.[12]<br />
<br />
Larangan ini berlaku saat situasi memungkinkan. Adapun dalam keadaan terpaksa, boleh belajar kepada ahli bid’ah, dengan tetap waspada dari kesesatan mereka.[13]<br />
<br />
Syaikh Bakar Abu Zaid berkata,”Wahai, penuntut ilmu. Jika engkau berada dalam kelonggaran dan memiliki pilihan, janganlah engkau mengambil (ilmu) dari ahli bid’ah, (yaitu) : seorang Rafidhah (Syi’ah), seorang Khawarij, seorang Murji’ah, seorang qadari (orang yang mengingkari takdir), seorang quburi (orang yang berlebihan mengagungkan kuburan), dan seterusnya, karena engkau tidak akan mencapai derajat orang yang benar aqidah agamanya, kokoh hubungannya dengan Allah, benar pandangannya, mengikuti atsar (jejak Salaf), kecuali dengan meninggalkan ahli bid’ah dan bid’ah mereka”.[14]<br />
<br />
PERINGATAN BELAJAR AGAMA KEPADA ORANG KAFIR!<br />
Setelah kita mengetahui keterangan di atas, maka selayaknya umat Islam agar senantiasa jeli dan berhati-hati dalam mengambil ilmu. Sehingga pantas untuk diperingatkan, yaitu adanya fenomena pada zaman ini dan sebelumnya, berupa pengambilan ilmu dari orang-orang yang menyimpang, yaitu para ahli bid’ah, bahkan dari orang-orang kafir! Tidakkah orang-orang yang mengambil ilmu dari orang-orang kafir itu pernah membaca atau mendengar firman Allah k tentang usaha orang-orang musyrik untuk memurtadkan umat Islam? Allah Azza wa Jalla berfirman :<br />
<br />
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرُُ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ {217}<br />
<br />
"Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya" [al Baqarah : 217].<br />
<br />
Tidakkah mereka juga pernah mendengar firman Allah Azza wa Jalla tentang keinginan orang-orang Ahli Kitab yang selalu berkeinginan memurtadkan umat Islam?<br />
<br />
وَدَّكَثِيرُُ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ {109}<br />
<br />
"Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran" [al Baqarah : 109]<br />
<br />
Apakah mereka mengira, bahwa keinginan dan usaha orang-orang kafir untuk memurtadkan umat Islam itu hanyalah pada zaman turunnya ayat-ayat al Qur`an itu?<br />
<br />
Anggapan seperti itu adalah perkiraan yang salah, karena ayat-ayat itu berasal dari Allah Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Seluruh berita dariNya adalah haq, baik saat turunnya ayat maupun setelahnya. Maka, hendaklah mereka memperhatikan sejarah umat Islam, memperhatikan kejadian-kejadian umat Islam, dahulu dan sekarang. Dengan demikian, mereka akan mengetahui kebenaran firman Allah tersebut.<br />
<br />
Inilah sedikit keterangan seputar jalan mengambil ilmu. Semoga Allah selalu membimbing kita kepada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa dan Bijaksana. Al hamdulillahi Rabbil ‘alamin.<br />
<br />
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]<br />
________<br />
Footnote<br />
[1]. Diringkas dari Kitabul Ilmi, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah, hlm. 68-69.<br />
[2]. Riwayat Ibnul Mubarak, al Lalikai, dan al Khaththib al Baghdadi. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani di dalam Shahih al Jami’ ash Shaghir, no. 2203, dan Syaikh Salim al Hilali dalam kitab Hilyatul ‘Alim, hlm. 81.<br />
[3]. Lihat Jami’ Bayanil ‘ilmi, hlm. 246.<br />
[4]. Hilyah Thalibil ‘Ilmi, hlm. 39, karya Syaikh Bakar Abu Zaid.<br />
[5]. Siyar A’lamin Nubala, 4/472, dinukil dari Hilyah Thalibil ‘Ilmi, hlm. 39.<br />
[6]. HR Ibnu ‘Adi di dalam al Kamil, al Baihaqi di dalam Sunan Kubra, Ibnu ‘Asakir di dalam Tarikh Dimsyaq, Ibnu Hibban di dalam ats Tsiqat, Abu Nu’aim di dalam Ma’rifatush Shahabat, Ibnu Abdil Barr di dalam at Tamhid, al Khath-thib di dalam Syaraf Ash-habul Hadits, dan lain-lain. Hadits ini diriwayatkan lebih dari 10 sanad, sehingga saling menguatkan. Dishahihkan oleh Imam Ahmad, dihasankan oleh Syaikh Salim al Hilali di dalam Hilyatul ‘Alim al Mu’allim, hlm. 77, juga oleh Syaikh Ali bin Hasan di dalam Tashfiyah wat Tarbiyyah.<br />
[7]. Riwayat al Khaththib al Baghdadi di dalam al Kifayah, hlm. 121. Dinukil dari Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 686, karya Dr. Ibrahim bin Amir Ruhaili.<br />
[8]. Riwayat Imam Ibnul Mubarak di dalam az Zuhud, hlm. 281, hadits 815. Dinukil dari kitab Asy-rathus Sa’ah, hlm. 184, karya Syaikh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf al Wabil.<br />
[9]. Jami’ Bayanil ‘Ilmi, hlm. 248. Dinukil dari Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 687.<br />
[10]. Jami’ Bayanil ‘Ilmi, hlm. 348. Dinukil dari Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 688.<br />
[11]. Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 686, karya Syaikh Ibrahim ar Ruhaili.<br />
[12]. Lihat Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 693.<br />
[13]. Lihat Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 685-695.<br />
[14]. Hilyah Thalibil ‘Ilmi, hlm. 40.Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-73573941295199552852012-03-07T04:58:00.000-08:002012-03-07T04:58:43.297-08:00KAIDAH-KAIDAH MENUNTUT ILMUPembaca,<br />
Untuk memahami ilmu secara benar, seorang thalibul-'ilmi dituntut untuk berusaha dan mengerahkan seluruh kemampuannya. Begitu pula dengan keluasan ilmu yang tidak mungkin diraih secara menyeluruh dalam satu waktu, maka untuk meraihnya pun memerlukan tahapan-tahapan dan langkah demi langkah, dari persoalan-persoalan ringan hingga ilmu-ilmu yang memerlukan analisa secara lebih terperinci dan mendalam. Disinilah ia harus menunjukkan kesungguhannya, sehingga pemahamannya terhadap setiap ilmu yang direngkuhnya tidak menyisakan kesamaran. Dan manakala harus menyampaikannya pun tidak akan menimbulkan kesesatan.<br />
<br />
Demikian sebagian pesan yang bisa kita ambil dari Syaikh Dr. Ibrahim bin 'Amir ar-Ruhaili –hafizhahullah- saat menyampaikan ceramah pada Daurah Syar'iyyah, di Agro Wisata Kebun Teh, Wonosari, Lawang, Malang, Jawa Timur yang diadakan antara tanggal 7 – 14 Rajab 1428H, bertepatan dengan 22 – 29 Juli 2007M. Saat ini, Syaikh juga aktif sebagai Dosen Pasca Sarjana Universitas Islam, Madinah, Kerajaan Saudi Arabia. Adapun ceramah beliau ini diterjemahkan dan dengan pemberian judul serta catatan kaki oleh Ustadz Abu Isma'il Muslim al-Atsari. Semoga kita mendapatkan faidah (manfaatnya). (Redaksi).<br />
_____________________________________<br />
<br />
Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, dan memohon ampun kepada-Nya, dan kami bertaubat kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa kami, dan dari keburukan amalan kami. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, tidak ada seorangpun yang akan menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan, maka tidak ada yang akan memberinya petunjuk.<br />
<br />
Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad n nabi kita adalah hamba Allah dan utusan-Nya.<br />
<br />
Mudah-mudahan Engkau, wahai Allah, memberikan shalawat kepada hamba-Mu dan Rasul-Mu, Muhammad, kepada keluarganya dan para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti petunjuknya dan meneladani jejaknya sampai hari Pembalasan.<br />
<br />
Amma ba’du:<br />
Sesungguhnya keistiqamahan seorang muslim di atas agamanya yang telah disyariatkan Allah Azza wa Jalla dibangun berdasarkan dua pondasi yang besar. Pondasi Pertama : Yaitu mengenal agamanya yang telah disyariatkan Allah Azza wa Jalla. Pondasi Kedua : Yaitu melaksanakan ilmu yang telah ia ketahui dan melaksanakan agama Allah Azza wa Jalla berdasarkan apa yang telah ia ketahui dan telah jelas dari agama-Nya. Pondasi pertama berkaitan dengan ilmu. Pondasi kedua berkaitan dengan amal. Dengan ilmu dan amal akan didapatkan keselamatan.<br />
<br />
Dan manusia berbeda-beda dalam mewujudkan ilmu dan amal. Mereka terbagi menjadi empat bagian. Sedangkan menurut Syaikhul-Islam terbagi menjadi dua. Akan tetapi, sesuai dengan tabiatnya, maka sesungguhnya kedudukan manusia terbagi menjadi empat, sesuaidengan keadaan mereka.<br />
<br />
1. Di antara manusia ada yang diberi taufik oleh Allah dengan ilmu yang shahîh dan amal shalih. Ini merupakan martabat yang paling utama dan paling tinggi derajatnya di sisi Allah.<br />
<br />
2. Martabat kedua, yaitu orang yang memiliki ilmu tetapi tanpa amal. Tidak ada keraguan, hal ini merupakan kekurangan, karena ilmu merupakan pijakan amal. Oleh karena itu, seseorang yang belajar namun tidak beramal, berarti pada diri orang itu terdapat keserupaan dengan Yahudi. Mereka ini berilmu, namun tanpa amal.<br />
<br />
3. Martabat ketiga, yaitu orang yang beramal tanpa ilmu. Pada diri orang ini terdapat keserupaan dengan Nashara. Mereka adalah orang-orang yang sesat. Mereka beramal, namun tanpa ilmu. Demikian ini keadaan ahli bid'ah. Yakni orang-orang yang beribadah kepada Allah dan beramal, namun dalam ibadahnya tanpa mempergunakan ilmu.<br />
<br />
4. Martabat keempat, yaitu orang yang tidak memiliki ilmu dan amal. Para ulama menyebut mereka adalah manusia yang menyerupai binatang ternak. Mereka tidak memiliki keinginan kecuali bersenang-senang dengan dunia, tidak memiliki cita-cita dalam ilmu dan amal. Sedangkan orang yang diberi taufiq ialah yang diberi taufiq oleh Allah terhadap ilmu yang shahîh dan amal shalih.<br />
<br />
Adapun ilmu itu sendiri menuntut beberapa perkara. Ilmu tidak akan terwujud kecuali dengan konsekwensinya. Ilmu itu hanyalah dengan belajar, mengerahkan kesungguhan dan kemampuan untuk mendapatkannya. Dan caranya, seorang thalibul-'ilmi mengerahkan kemampuannya dalam tafaqquh fid-dîn, dalam menggalinya, dan saat duduk di hadapan ulama, dalam membaca kitab-kitab dan meminta penjelasan perkara yang menyusahkannya, sampai Allah memberikan kepadanya rezeki berupa ilmu. Seorang thalibul-'ilmu harus mengikuti manhaj yang shahîh dalam mengambil dan menuntut ilmu.<br />
<br />
Di antara manhaj (jalan, kaidah) dalam menuntut ilmu, hendaklah memulai dengan ilmu-ilmu yang ringan sebelum ilmu-ilmu yang berat. Oleh karena itulah dikatakan tentang seorang 'alim rabbani, bahwa dia adalah orang yang membina para penuntut ilmu kecil dengan ilmu-ilmu yang kecil sebelum ilmu-ilmu yang besar. Demikianlah, menuntut ilmu itu harus tadarruj (bertahap).<br />
<br />
Yang dimaksud dengan ilmu-ilmu yang ringan ialah masalah-masalah yang dikenal, yang diketahui, bukan masalah-masalah yang membutuhkan analisa dan pembahasan. Dari sini, maka di antara masalah-masalah yang sepantasnya didahulukan ialah masalah-masalah yang jelas dan gamblang, yaitu mengenai ushuludin (pokok-pokok agama), seperti mengetahui ushuludin, ushul i'tiqad. Oleh karena itu, para ulama dalam mengajari para thulab (penuntut ilmu, santri) dilakukan secara bertahap dengan menggunakan mukhtasharat (kitab-kitab yang ringkas), dalam setiap cabang-cabang ilmu. Mereka menjelaskan kepada manusia pokok-pokok ilmu melalui mukhtasharat (kitab-kitab yang ringkas) ini. Secara bertahap, mulai dari teks-teks mukhtasharat sampai kemudian meningkat, dengan membaca kitab-kitab syarh (penjelasan) terhadapnya, kemudian meluas sehingga para thalib sampai kepada kitab-kitab muthawalat (kitab-kitab tebal/luas) dan menumbuhkan nazhar (penelitian) serta ijtihad dalam masalah-masalah ini, sehingga mencapai derajat ulama dengan taufiq Allah. Demikianlah, bahwasanya dalam thalibul-'ilmi harus dengan tadarruj (bertahap).<br />
<br />
Termasuk perkara yang penting sebelum menuntut ilmu, ialah ikhlas untuk Allah Azza wa Jalla dalam mencari ilmu. Karena sesungguhnya ikhlas memiliki pengaruh yang besar untuk meraih taufiq (bimbingan Allah) dalam segala sesuatu. Barangsiapa mendapatkan taufiq dengan ikhlas, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak dalam segala urusan agama dan dunia. Pengaruh ikhlas terhadap taufiq (bimbingan Allah) ditunjukkan oleh firman Allah mengenai dua hakim di antara suami istri:<br />
<br />
"... Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu ... " [an-Nisâ`/4:35].<br />
<br />
Demikian juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang pengaruh hati berkaitan dengan keistiqamahan anggota badan dalam hadits Nu`man bin Basyir:<br />
<br />
أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ<br />
<br />
"Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka seluruh tubuh juga baik. Jika segumpal daging itu rusak, maka seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati".[1]<br />
<br />
Jika hati itu baik, amal juga baik, dan manusia mendapatkan manfaat dengan ilmunya. Dengan demikian, seseorang diberi taufiq disebabkan oleh ilmu dan pemahamannya. Oleh karena itu, perkara ini harus diperhatikan.<br />
<br />
Termasuk ikhlas dalam thalabul-'ilmi, yaitu menuntut ilmu untuk tafaqquh (memahami), dan untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri. Oleh karena itu, Malik bin Dinar rahimahullah berkata: ''Barangsiapa menuntut ilmu untuk dirinya, maka ilmu yang sedikit mencukupinya. Dan barangsiapa menuntut ilmu untuk keperluan manusia (orang lain), maka sesungguhnya kebutuhan orang lain itu tidak berujung''.<br />
<br />
Seseorang lebih mengetahui apa yang menjadi kebutuhannya. Engkau membutuhkan untuk mengetahui thaharah (bersuci), shalat, puasa, dan ibadahmu kepada Allah Azza wa Jalla. Maka, hendaklah engkau bertafaqquh (memahami) ilmu yang membuahkan amalan. Dan amalan itu ada yang wajib dan ada yang mustahab. Sehingga seseorang hendaklah memulai dengan ilmu yang wajib baginya secara individu. Kemudian secara bertahap mempelajari yang mustahab (sunah, disukai). Oleh karena itu wajib ikhlas dalam thalabul-'ilmi.<br />
<br />
Di antara perkara yang perlu diperhatikan juga oleh penuntut ilmu, yaitu isti'anah (memohon pertolongan) kepada Allah Azza wa Jalla, tawakkal kepada-Nya, dan berdoa kepada-Nya, agar Dia memberikan kepadanya ilmu yang shahih (benar) yang nafi` (bermanfaat). Hal ini dituntunkan oleh Allah dalam firman-Nya:<br />
<br />
"Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan". [Thâhâ/20:114].<br />
<br />
Allah berfirman (di dalam hadis qudsi):<br />
<br />
يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ<br />
<br />
"Wahai hamba-hamba-Ku, kamu semua sesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk; maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan memberi petunjuk kepadamu".[2]<br />
<br />
Maka, meminta hidayah kepada Allah, niscaya Allah Azza wa Jalla akan memberikan hidayah, sebagaimana hadits di atas.<br />
<br />
Dan, dalam sebuah doa yang diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada seorang laki-laki, yang dibimbing Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menuju pintu-pintu kebaikan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan agar ia berdoa:<br />
<br />
أَللَّهُمَّ أَلْهِمْنِي رُشْدِي وَقِنِي شَرَّ نَفْسِي<br />
<br />
"Wahai, Allah! Berilahkan petunjuk kepadaku terhadap kelurusanku, dan jagalah aku dari keburukan jiwaku".<br />
<br />
Jadi, manusia tidak akan mendapatkan taufiq kecuali yang diberi taufiq oleh Allah. Juga sebuah doa lain dalam atsar (riwayat):<br />
<br />
أَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَااتِّبَاعَهُ وَ أَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ<br />
<br />
"Wahai, Allah! Tunjukkanlah al-haq kepada kami sebagai al-haq, dan berilah rezeki kepada kami untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah al-batil kepada kami sebagai al-batil, dan berilah rezeki kepada kami untuk menjauhinya".<br />
<br />
Dengan demikian, pertama kali yang dibutuhkan manusia ialah agar ditunjukkan kepada al-haq oleh Allah sebagai al-haq, kemudian Allah memberi rezeki-Nya untuk mengikutinya; dan ditunjukkan al-batil oleh Allah sebagai al-batil, kemudian Allah memberi rezeki-Nya untuk menjauhinya. Jika tidak, maka banyak di antara manusia yang mengamalkan kebatilan, dan menyangkanya berada di atas kebenaran. Sehingga wajib memperhatikan sisi ini, yaitu tawakal kepada Allah dan berdoa kepada-Nya, agar Dia memberi taufik terhadap al-haq, memahamkannya dalam agama, dan agar mengajarinya. Demikian pula perlu banyak beristighfar dan selalu berlindung kepada Allah Azza wa Jalla.<br />
<br />
Syaikhul-Islam rahimahullah mengatakan bahwa dirinya pernah kesusahan memahami suatu masalah. Beliau berkata,"Lalu aku beristighfar kepada Allah dan berdzikir kepadaNya. Aku selalu melakukannya, sehingga Allah membukakan masalah itu untukku''.<br />
<br />
Demikianlah sepantasnya seorang penuntut ilmu. Akan tetapi, sebagian manusia hanya bersandar kepada usaha dan kekuatannya. Dia melupakan tawakkal dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya dalam semua perkara, manusia membutuhkan tawakkal dan usaha. Menghadiri majlis ulama dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, termasuk melakukan usaha. Dan manusia juga membutuhkan tawakkal. Berapa banyak manusia duduk di depan ulama, namun tidak mendapatkan manfa'at. Berapa banyak manusia membaca muthawalat (kitab-kitab tebal), namun tidak mendapatkan manfa'at. Dan berapa banyak manusia hafal Al-Qur`ân, namun mereka tidak mendapatkan manfa'at sedikitpun darinya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang Khawarij:<br />
<br />
يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ<br />
<br />
"Mereka membaca Al-Qur`ân, namun Al-Qur`ân itu tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang buruan".[3]<br />
<br />
Sebagian manusia diberi kecerdasan, namun ia tidak diberi taufiq. Syaikhul-Islam rahimahullah berkata tentang para filosof: "Mereka diberi kecerdasan, namun tidak diberi kesucian''. Maksudnya, Allah memberikan kepada mereka kecerdasan dan akal, namun mereka tidak diberi taufiq untuk mensucikan jiwa mereka.<br />
<br />
Oleh karena itu, jika manusia itu diberi kecerdasan oleh Allah, hendaklah dia memohon kepada Allah agar Allah Azza wa Jalla mensucikannya, karena kecerdasan saja tidaklah cukup.<br />
<br />
Dahulu, Abu Jahal digelari dengan Abul-Hakam karena faktor akalnya, yaitu kecerdasan akalnya. Tetapi ia tidak mengikuti petunjuk agama ini, padahal orang yang akalnya lebih rendah darinya mengikuti petunjuk agama ini.<br />
<br />
'Abdullah bin Ubaiy bin Salul, dahulu termasuk orang yang paling cerdas, sehingga sebelum diutusnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, penduduk Madinah berniat mengangkatnya sebagai raja. Akan tetapi, ia tidak mengikuti petunjuk agama ini.<br />
<br />
Manusia itu lemah, kecuali orang yang diberi taufiq oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Akal tidaklah cukup, kecerdasan tidaklah cukup, maka hendaklah engkau memohon kepada Alah Azza wa Jalla agar diberi taufiq. Bahkan terkadang kecerdasan merupakan sebab kesesatan seseorang. Dia hanya bersandar kepada akalnya, kecerdasannya dan pemahamannya. Dia menyangka bahwa dirinya memahami, sedangkan orang lain tidak memahami. Lalu ia berbuat lancang, dan berlaku sombong dengan akalnya.<br />
<br />
Manusia (yang berakal, Pent.) jika diberi akal dan kecerdasan oleh Allah Azza wa Jalla, ia mengetahui bahwa tidak ada jalan untuk meraih hidayah kecuali dengan syariat ini. Oleh karena itulah, orang-orang yang beragama adalah orang-orang yang berakal. Tidak ada seorang 'alim kecuali mengetahui bahwasanya tidak ada hidayah kecuali dengan agama ini. Sehingga, jika ada orang yang menyangka bahwa ia boleh keluar dari agama ini, dan bahwa menyangka akalnya mencukupi untuk mendapatkan hidayah, maka ini sebagai bukti kurangnya hidayah akal dan ilmunya. Oleh karena itu, manusia membutuhkan untuk disucikan oleh Allah Azza wa Jalla.<br />
<br />
Termasuk yang perlu diperhatikan juga, yaitu mengetahui jalan yang benar dalam menuntut ilmu. Pembicaraan masalah ini sangat panjang. Telah dijelaskan dalam ceramah (saya) di Universitas Islam Madinah tentang jalan para ulama dalam mempelajari akidah, dan persiapan materi ceramah ini lebih dari seminggu. Dan Allah memberikan nikmat yang banyak dengan sebab ini, dengan membaca perkataan para ulama, jalan mereka mendapatkan ilmu, dan metode memahami nash-nash.<br />
<br />
Ceramah ini direkam dan mungkin bisa didapatkan dari sebagian mahasiswa yang telah merekamnya. Dalam ceramah itu, terdapat banyak sisi penting yang sepantasnya diperhatikan dalam mempelajari ilmu dan meneliti suatu masalah, terutama dalam permasalahan akidah. Di antaranya, ialah dalam menetapkan lafazh-lafazh syar'iyyah, dan mengetahui perbedaan antara makna lughawi (menurut bahasa Arab) dengan makna syar'i (menurut agama).<br />
<br />
Sesungguhnya kesalahan yang terjadi pada sebagian orang bukan karena ketiadaan dalil. Terkadang ada dalil di hadapannya, dan terkadang telah mengetahuinya, tetapi mereka tidak diberi taufiq dalam memahaminya, yang kemungkinan karena lafazh itu musykil pada mereka. Kesamaran lafazh termasuk di antara yang menjadi penyebab kesalahan pada diri ulama. Seperti kesamaran lafazh al-quru`, apakah itu haidh ataukah suci dari haidh? Begitulah pula dalam lafazh al-muzâbanah, al-muhâqalah, al-mukhâbarah, dan semacamnya sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul-Islam dalam kitab Raf'ul Malam 'an Aimmatil-A'lam.<br />
<br />
Manusia terkadang berselisih disebabkan kesamaran lafazh pada mukhathab (orang yang diajak bicara). Sebagaimana yang terjadi pada sahabat 'Adi bin Hatim, yaitu ketika turun firman Allah Azza wa Jalla :<br />
<br />
"..hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar". [al-Baqarah/2:187]<br />
<br />
Diapun mengambil dua benang (putih dan hitam) dan ditaruhnya di bawah bantalnya. Mulailah ia melihat kedua benang itu. Ketika ia memberitakan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau pun bersabda: ''Engkau benar-benar orang yang lebar tengkuknya. Sesungguhnya yang dimaksud warna putih fajar, dan warna hitam ialah malam''.<br />
<br />
Di sini terjadi kesamaran pada sahabat yang agung ini.<br />
<br />
Begitu pula kesamaran yang terjadi pada ulama terhadap lafazh mulâmasah dalam firman Allah:<br />
<br />
أو لمستم النساء<br />
<br />
(Atau kamu menyentuh perempuan).[4]<br />
<br />
Apakah yang dimaksud dengan mulâmasah adalah semata-mata menyentuh wanita, ataukah kiasan dari jima'?<br />
<br />
Demikianlah pada banyak lafazh dalam syara' (agama) yang diperselisihkan para ulama. Oleh karena itulah ulama menjelaskan tentang pengetahuan makna-makna lafazh syar'iyyah (menurut agama) dan membedakannya dengan makna lughawi (menurut bahasa arab). Demikian juga banyak kitab-kitab disusun dalam pembahasan gharibul-hadits dan gharibul-Qur`ân.[5]<br />
<br />
Dalam menafsirkan Al-Qur`ân, para ulama tidak mencukupkan dengan mengetahui makna lughawi (bahasa) saja. Bahkan Imam ath-Thabari rahimahullah -seorang pakar ahli tafsir- menyebutkan, sebagian ahli tafsir telah salah dalam menafsirkan Al-Qur`ân, dikarenakan mereka bersandar kepada arti bahasa, tanpa mengetahui istilah syariat. Maka seharusnya seseorang mengetahui perkataan para ahli tafsir dalam kitab-kitab tafsir. Seseorang tidaklah cukup mengambil buku kamus bahasa Arab, lalu melihat makna secara bahasa, kemudian menafsirkan kitab Allah dengan makna ini saja. Karena satu lafazh itu berbeda-beda artinya.<br />
<br />
Misalnya, kata khair. Dalam kitab Allah Azza wa Jalla, khair memiliki makna hasanah (kebaikan). Juga bermakna dunia. Dimaksudkan juga dengan pahala di sisi Allah. Bagaimana engkau mengetahui makna kalimat ini?<br />
<br />
Misalnya lagi kata kufur. Di dalam kitab Allah, kufur mengandung maksud kufur akbar dan kufur ashghar. Demikian juga kezhaliman dan syirk. Begitu pula kata iradah (kehendak Allah), terkadang dimaksudkan dengan iradah kauniyah dan terkadang iradah syar'iyyah. Demikian juga qadha` dan kitabah. Maka untuk memahaminya harus mengetahui perkataan para ulama dalam menafsirkan nash-nash dan lainnya. Di antara yang membantu perihal ini ialah bersandar kepada perkataan ulama.<br />
<br />
Walaupun ayat itu jelas dan gamblang bagimu, tetapi janganlah engkau mengatakannya jelas, sebelum memperhatikan penjelasan para ahli tafsir. Bagaimana penafsiran oleh ath-Thabari, oleh al-Baghawi, oleh Ibnu Katsir, oleh Ibnu Taimiyyah. Perkataan para ulama yang mendalam ilmunya, yang telah memahami masalah-masalah ini dengan baik. Hendaklah seseorang mengambil manfaat dengan perkataan para ulama. Kemudian, setelah itu tidaklah membahayakan dirinya, yang telah jelas baginya bahwa itu adalah haq. Adapun jika usaha seseorang dalam memahami nash-nash tanpa berpedoman dengan penjelasan ulama, maka ini merupakan kesalahan. Demikian juga untuk memahami kitab-kitab Sunnah, untuk mengetahui makna-maknanya perlu meruju` kitab-kitab gharibul-hadits (kata-kata asing dalam hadits,-red).<br />
<br />
Demikian juga, seorang penuntut ilmu tidak cukup hanya mengetahui makna mufradat (kata-kata) saja. Karena mufradat terkadang berada dalam satu siyaq (rangkaian kalimat) dengan suatu makna, dan dalam siyaq lainnya memiliki makna yang lain.<br />
<br />
Demikian juga nafyi (peniadaan) dan itsbat (penetapan), terkadang dimaksudkan sesuatu tertentu. Misalnya sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :<br />
<br />
لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ<br />
<br />
"Tidaklah berzina seseorang yang sedang berzina sedangkan dia mukmin". [6]<br />
<br />
Apakah yang dimaksud dengan nafyi (peniadaan iman) dalam hadits ini?<br />
<br />
Maksud seorang pezina bukan mukmin, adalah bahwa seorang pezina bukanlah seorang mukmin yang sempurna imannya. Bagaimana kita mengetahuinya? Karena dalam nash-nash yang lain terdapat penjelasan tentang keberadaan iman bagi pelaku maksiat.<br />
<br />
Sehingga kita mengetahui, maksud peniadaan di sini ialah peniadaan kesempurnaan (iman) yang wajib, bukan yang pokok. Jadi, penetapannya ialah untuk yang pokok, dan bukan untuk kesempurnaan.<br />
<br />
Oleh karena itu, seseorang harus mengetahui makna yang terkandung di dalam siyaq (rangkaian kalimat), dan penunjukan makna siyaq terhadap masalah ini. Karena sebagian nash diketahui dengan makna-makna syar'iyyah. Dan (untuk memahami) sebagian nash, Anda membutuhkan pengetahuan makna nash ini dengan melihat makna nash-nash lainnya yang menjadi penjelas.<br />
<br />
Contohnya, orang yang memperhatikan firman Allah:<br />
<br />
"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya." [an-Nisa`/4:93].<br />
<br />
Orang yang memandang nash ini akan mengatakan bahwa pembunuh ini kekal di dalam neraka. Akan tetapi, jika dia melihat nash lainnya, maka ia akan mengetahui bahwa nash ini tidak bertentangan dengan firman Allah Aza wa Jalla:<br />
<br />
"(Dan kalau ada dua golongan dari orang-orang yang beriman itu berperang) -Qs al-Hujurat/49 ayat 9. Di dalam ayat ini, Allah menyebutkan iman dengan adanya peperangan.<br />
<br />
Allah juga berfirman<br />
<br />
"Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)". [al-Baqarah/2:178].<br />
<br />
Di dalam ayat ini Allah menjadikan wali qishash saudara (seiman/seagama, Pent.) bagi pembunuh. Maka kita mengetahui bahwa nash ini tidak bertentangan dengan itu.<br />
<br />
Jika kita memperhatikan dengan teliti nash ini:<br />
<br />
"(Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya...)" -Qs an-Nisa`/4 ayat 93- bahwa ayat ini dirangkaikan dengan penyebutan balasan. Sedangkan balasan, terkadang terjadi dan terkadang tidak.<br />
<br />
Berdasrkan pemahaman ini, semua nash-nash diatas bisa dipertemukan di atas kebenaran, yaitu dalam masalah hukum Allah dan keadilan-Nya; barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam. Tetapi Allah Azza wa Jalla -dengan rahmat dan karunia-Nya- telah menetapkan bahwa barang siapa bertemu Allah dengan tauhid dan terbebas dari perbuatan syirik, ia tidak akan kekal di dalam neraka, walaupun Allah menyiksanya terhadap sebagian dosa-dosanya. Maka kita mengetahui bahwa seorang pembunuh walaupun mendapatkan siksa, tetapi sesungguhnya dia tidak akan kekal di dalam neraka.<br />
<br />
Dari sini, maka sesatlah orang yang memahami masalah ini tanpa berdasarkan yang semestinya, yaitu Sunnah. Sehingga muncullah Khawarij dan Mu'tazilah disebabkan buruknya pemahaman mereka terhadap nash-nash ini [7]. Demikian juga Murji'ah telah menyimpang dalam masalah ini [8]. Dan Allah memberi petunjuk kepada Ahlus-Sunah untuk mengetahui nash-nash ini dengan memperhatikan nash-nash lainnya. Sesungguhnya ilmu itu saling melengkapi, saling berkaitan, dan saling menunjukkan. Seperti yang Anda lihat sekarang, seseorang hanya melihatnya dari satu sisi. Dia menghukumi secara umum dan menyalahkan orang lain yang berbicara tentangnya. Dia tidak memperhatikan bahwa masalah ini terbagi dalam beberapa bagian, dan dalam masalah ini terdapat perincian.<br />
<br />
Seperti yang kita dengar dari sebuah pertanyaan, bahwa penuntut ilmu tidak mengambil ilmu dari mubtadi.<br />
<br />
Perkataan ini benar merupakan perkataan ulama, tetapi dalam keadan yang bagaimana? Yaitu dalam keadaan manakala ada kemudahan. Adapun dalam keadaan darurat dan sangat mendesak, sedangkan di tempat itu tidak ada yang mengajarkan ilmu ini, maka tidak dilarang mengambil ilmu dari orang yang menyimpang, jika ia ahli dalam bidang ilmu dimaksud.<br />
<br />
Orang yang tidak memperhatikan bagian-bagian dan perincian-perincian ini akan terjatuh dalam kesalahan. Oleh karena itu, (untuk mendapatkan kebenaran) harus memperhatikan lafazh-lafazh (syari'at) dan siyaq (rangkaian kalimat). Seseorang harus mengetahui makna lafazh dan kandungannya (madlul siyaq).<br />
<br />
Sehingga jika kita memperhatikan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :<br />
<br />
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا<br />
<br />
(Tolonglah saudaramu, baik dia menzhalimi atau dizhalimi) [9] –HR Bukhari, no. 2343, Pent.-, maka kita akan mengetahui bahwa kezhaliman yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di sini bukanlah kezhaliman yang besar seperti halnya disebutkan dalam firman Allah:<br />
<br />
"(Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar)". -Qs Luqmân/31 ayat 13.<br />
<br />
Demikian juga kita akan mengetahui semisal sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang wanita-wanita:<br />
<br />
يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ<br />
<br />
(Mereka kufur terhadap suami) [10], Kufur disini bukan berarti kufur akbar, tetapi kufur (mengingkari) terhadap suami; kufur di bawah kekafiran, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu 'Abbas dan lainnya dari kalangan ahli tafsir dalam ayat semisalnya, (yaitu) firman Allah Azza wa Jalla :<br />
<br />
"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir". [al-Maidah/5: 44]<br />
<br />
"Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim". [al-Maidah/5:45]<br />
<br />
"Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik" [al-Maidah/5:47].<br />
<br />
Tentang tiga ayat dalam surat al-Maidah ini, 'Abdullah bin 'Abbas mengatakan kufur duna kufrin (kekafiran di bawah kekafiran, yaitu kekafiran yang tidak mengeluarkan dari iman), zhulmun duna zhulmin (kezhaliman di bawah kezhaliman, yaitu kezhaliman yang tidak mengeluarkan dari iman), fisqun duna fisqin (kefasikan di bawah kefasikan, yaitu kefasikan yang tidak mengeluarkan dari iman). Bagaimana mereka mengetahui ini, mereka mengetahui dengan nash-nash yang lain. Maka harus memperhatikan sisi-sisi ini.<br />
<br />
Perincian masalah ini panjang, namun saya mengingatkan bahwa dalam masalah itu terdapat ilmu-ilmu yang daqiq (pelik/komples), dan sebagian perkara-perkaranya sangat luas, sehingga sulit dipahami oleh sebagian manusia. Tak diketahuinya masalah ini oleh sebagian manusia, menyebabkan timbulnya kesalahan-kesalahan yang berbahaya dalam masalah keyakinan dan muamalah.<br />
<br />
Oleh karena itu, semua sisi dalam masalah ini seharusnya diperhatikan dan dicermati. Dengan beristi'anah (memohon pertolongan) kepada Allah Azza wa Jalla dalam memahaminya, sehingga seorang penuntut ilmu tidak terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan. Jika menetapkan sesuatu (masalah) hendaklah menyampaikannya kepada para ulama, sehingga mereka akan mengoreksi kesalahannya, jika memang ia melakukan kesalahan.<br />
<br />
Kita memohon taufiq kepada Allah untuk kita semua, wallahu a'lam. Semoga Allah memberikan salam dan berkah kepada hamba-Nya dan Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (06-07)/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]<br />
_______<br />
Footnote<br />
[1]. HR Muslim, no. 1599. Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasâ`i, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan ad-Darimi, dengan lafazh yang berbeda-beda namun maknanya sama. Hadits ini dimuat oleh Imam an-Nawawi dalam Arba’in an-Nawawiyah, hadits no. 6, dan Riyadhush-Shalihin, no. 588.<br />
[2]. HR Muslim, no. 2577; at-Tirmidzi, no. 2495; Ahmad (5/154).<br />
[3]. HR al-Bukhari, no. 3414.<br />
[4]. Qs an-Nisâ`/4 ayat 43, al-Maidah/5 ayat 6.<br />
[5]. Yaitu kitab-kitab yang menjelaskan makna kata-kata yang jarang dipergunakan dalam pembicaraan yang terdapat di dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan terdapat di dalam kitab suci Al-Qur`ân.<br />
[6]. HR al-Bukhari, no. 2475; Muslim, no. 57.<br />
[7]. Khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar keluar dari iman dan menjadi kafir. Adapun Mu'tazilah berpendapat bahwa pelaku dosa besar keluar dari iman namun belum kafir, tetapi kedudukan berada di antara iman dan kekafiran. Itu hukum di dunia. Sedangkan hukum di akhirat, kedua kelompok itu berpendapat sama, bahwa pelaku dosa besar kekal di neraka, tidak ada syafa'at baginya. Pemahaman kedua kelompok ini menyelisihi al-haq.<br />
[8]. Murji'ah berpendapat bahwa dosa tidak merusak atau mengurangi iman. Pendapat ini menyelisihi al-haq.<br />
[9]. Yang dimaksud menolong saudaranya ketika menzhalimi, yaitu dengan melarangnya dari berbuat zhalim sebagaimana kelanjutan hadits tersebut.<br />
[10]. HR al-Bukhari, no. 29; Muslim, no. 885.Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-77722371245769945152012-03-07T04:56:00.000-08:002012-03-07T04:56:09.352-08:00KETIKA BERAMAL TANPA ILMUSebagai seorang muslim tentu setiap kali mendirikan shalat lima waktu, atau shalat-shalat yang lainnya. Dia selalu meminta ditunjukan shirathul mustaqim. Yaitu jalan lurus yang telah lama dilalui oleh orang-orang yang telah diberi nikmat, dan dijauhkan dari jalan orang-orang maghdhubi `alaihim (orang-orang yang Engkau murkai), juga jalan orang-orang dhallin (orang-orang yang sesat). Dalam tafsiran, dua kelompok diatas disebutkan [1], bahwa orang-orang mahgdhubi ‘alaihim adalah Yahudi, sedangkan orang dhallin adalah Nashara.<br />
<br />
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah,”Dan perbedaan antara dua jalan -yaitu agar dijauhi jalan keduanya-, karena jalan orang yang beriman menggabungkan antara ilmu dan amal. Adalah orang Yahudi kehilangan amal, sedangkan orang Nashrani kehilangan ilmu. Oleh karenanya, orang Yahudi memperoleh kemurkaan dan orang Nashrani memperoleh kesesatan. Barangsiapa mengetahui, kemudian tidak mengamalkannya, layak mendapat kemurkaan. Berbeda dengan orang yang tidak mengetahui. Orang-orang Nashrani, ketika mempunyai maksud tertentu, tetapi mereka tidak memperoleh jalannya, karena mereka tidak masuk sesuai dengan pintunya. Yaitu mengikuti kebenaran. Maka, jatuhlah mereka ke dalam kesesatan.”[2]<br />
<br />
Banyak orang yang menyangka, bahwa banyak amal dan ibadah sudah mendapat jaminan untuk hari akhiratnya, sekurang-kurangnya merupakan tanda kebenaran dan bukti keshalihan. Begitulah sering kita dengar, dan itulah fenomena yang terjadi di kalangan kaum muslimin. Kalaulah kita mencoba untuk mengingat surat yang telah sering kita dengar ini, maka semua sangkaan dan dugaan kita selama ini, akan bisa kita ubah untuk hari besoknya. Dapat dibayangkan, seseorang yang mempunyai amalan sebanyak pepasiran di pantai, akan tetapi setelah ditimbang, dia bagaikan debu yang beterbangan, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,<br />
<br />
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا<br />
<br />
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. [Al Furqan:23].<br />
<br />
Bukan saja amalannya tidak dianggap sebagai amalan yang diterima, bahkan dialah penyebab masuknya ke dalam api neraka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,<br />
<br />
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً<br />
<br />
Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan? Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka). [Al Ghasyiah:1- 4].<br />
<br />
Berkata Ibnu Abbas,”Khusyu`, akan tetapi tidak bermanfaat amalannya,” diterangkan oleh Ibnu Katsir, yaitu dia telah beramal banyak dan berletih-letih, akan tetapi yang diperolehnya neraka yang apinya yang sangat panas [3]. Oleh sebab itu, Imam Bukhari membuat bab di dalam kitab Shahih Beliau, Bab: Berilmu sebelum berucap dan beramal.”<br />
<br />
KEUTAMAAN ILMU DALAM AL QURAN<br />
Ayat yang menerangkan tentang keutamaan ilmu dan celaan terhadap orang yang beramal tanpa ilmu sangatlah banyak [4]. Allah Subhanahu wa Ta'ala membedakan antara orang yang berilmu dengan orang yang bodoh, bagaikan orang yang melihat dengan si buta.<br />
<br />
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى<br />
<br />
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? [Ar Ra`ad:19].<br />
<br />
Bahkan tidak sekedar buta, akan tetapi juga tuli dan bisu .<br />
<br />
Di berbagai tempat dalam Al Qur’an Allah l mencela orang-orang yang bodoh, yaitu:<br />
<br />
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ<br />
<br />
Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Al Araf:187].<br />
<br />
وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ<br />
<br />
Dan kebanyakan mereka tidak berakal. [Al Maidah:103].<br />
<br />
Bahkan mereka disamakan dengan binatang, dan lebih dungu daripada binatang:<br />
<br />
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ<br />
<br />
Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah, ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa. [Al Anfal: 22].<br />
<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan, bahwa orang-orang bodoh lebih buruk dari binatang dengan segala bentuk dan macamnya. Dimulai dari keledai, anjing, serangga, dan mereka lebih buruk dari binatang-bintang tersebut. Tidak ada yang lebih berbahaya terhadap agama para rasul dari mereka, bahkan merekalah musuh agama yang sebenarnya.<br />
<br />
Lebih dari itu, bahwa syariat membolehkan sesuatu yang pada asalnya haram, karena yang satu berilmu dan yang satu lagi tidak berilmu. Yaitu dihalalkannya memakan daging hasil buruan anjing yang diajarkan berburu, berbeda dengan anjing biasa yang menangkap mangsanya.<br />
<br />
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ<br />
<br />
Mereka menanyakan kepadamu,"Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah,"Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisabNya." [Al Maidah:4] [5]<br />
<br />
Sedangkan sunnah dan atsar Salaf sangat banyak sekali yang menerangkan permasalahan ini.<br />
<br />
Setelah ini semua, ketika seorang muslim mengarahkan pandangannya kepada jamaah-jamaah yang menisbatkan diri kepada Islam, maka didapatkan bahwa dakwah mereka bermuara kepada suatu persamaan. Yaitu tidak mempedulikan ilmu syariat dan tenggelam ke dalam lumpur kebodohan. Inilah yang menyebabkan banyaknya terjadi penyelewengan terhadap pemahaman Islam.<br />
<br />
Ini sebelum mereka, satu kelompok yang disebut Khawarij, sampai-sampai Nabi menyebutkan, bahwa amalan para sahabatnya jika dibandingkan dengan amalan mereka tidak ada apa-apanya. Shalat mereka, jika dibandingkan shalat kita tidak apa-apanya. Mereka orang-orang yang ahli ibadah. Siang harinya bagaikan singa yang bertempur, dan pada malam harinya bagaikan rahib ... Akan tetapi, apa akhir dari cerita mereka? Nabi telah mengabarkan kepada kita, bahwa Islam mereka hanya sebatas kerongkongan saja ... Mereka keluar dari Islam, sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya; mereka dikatakan anjing-anjing neraka. Barangsiapa yang berhasil membunuh mereka, akan mendapat ganjaran di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berazam, jika Beliau bertemu dengan zaman mereka, maka Beliau akan memeranginya, sebagaimana diperanginya kaum `Ad ...<br />
<br />
Pada masa sekarang, tumbuh berkembang suatu jamaah. Yaitu jamaah yang didirikan di atas bid`ah dan khurafat, dan syirik. Didirikan dengan aqidah As`ariyyah Maturidiyyah. Membaiat para pengikutnya dengan empat tharikat tasawuf: Jistiyyah, Qadiriyyah, Sahruwardiyyah dan thariqat Naqsyabandiyyah.<br />
<br />
Sedangkan pada masalah aqidah dan tauhid. Mereka tidak lebih mengerti tentang tauhid bila dibandingakan dengan orang-orang musyrik Arab pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka hanya mengakui tauhid Rububiyyah dengan tafsiran syahadat tauhid tersebut. Dan tidak mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan tauhid Uluhiyyah. Adapun pada tauhid Asma` wa Shifat, maka mereka berada diantara aqidah Asyariyyah dan Maturidiyyah. Sebagaimana diketahui, bahwa kedua mazhab tersebut terkhusus dalam tauhid ini, telah melenceng dari mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.<br />
<br />
Adapun tentang ibadah dan suluk mereka; maka mereka dibaiat dengan empat thariqat dan mengamalkan dzikir-dzikir serta shalawat yang dipenuhi bid`ah dan khurafat. Seperti membaca (la ilaha) empat ratus kali, dan (Allah, Allah) enam ratus kali setiap hari. Buku shalawat yang sering dibaca oleh mereka, ialah kitab shalawat yang masyhur bid`ah dan ghuluw kepada Nabi. Yaitu kitab Dala-ilul Khairat, Burdah.<br />
<br />
Adapun kitab yang paling berarti bagi mereka, apa yang disebut dengan Tablighi Nishab. Dikarang oleh salah seorang pendiri mereka. Kitab ini nyaris dimiliki dan dibaca oleh setiap jamaah, melebihi membaca kitab Shahih Bukhari. Kitab ini dipenuhi dengan khurafat, syirik, bid`ah, dan hadits-hadist palsu, serta hadist-hadist lemah. Begitu juga dengan kitab Hayat Ash Shahabah, yang dinamalkan mereka, dipenuhi dengan khurafat serta kisah-kisah yang tidak benar, dan begitu seterusnya ...<br />
<br />
Kesimpulan tentang jama’ah ini ialah, bahwa mereka merupakan jama’ah yang tidak peduli terhadap ilmu dan ulama, berdakwah di atas kebodohan [6], dengan bukti hadist yang selalu mereka dendangkan yaitu, “sampaikan dariku sekalipun satu ayat”. Hadits ini sekalipun shahih, akan tetapi yang tidak shahih ialah cara pemahaman mereka terhadap hadits ini. Setiap orang yang masuk ke jemaah ini sudah layak menjadi juru dakwah dari rumah ke rumah yaitu untuk mengajak kepada jemaah mereka dengan alasan hadist di atas. Atau mereka membaca buku fadhilah di masjid ...dan mereka permisalkan bahwa umat Islam sekarang bagaikan (orang yang sedang tenggelam yang harus diselamatkan). Tidak tahu mereka bahwa belajar berenang tidak bisa dalam satu hari atau dua, sehingga dia dapat menyelamatkan yang mau tenggelam tadi, atau malah yang awalnya hendak menolong karena tidak bisa berenang sama-sama tenggelam kedalam lautan dosa dan kesalahan.<br />
<br />
Bukankah pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika salah seorang sahabat terluka, kemudian junub ketika musim dingin, dan dia bertanya kepada salah seorang diantara mereka. Apakah ada rukhsah untuk tidak mandi? Yang ditanya menjawab: tidak! Maka, mandilah sahabat tadi yang menyebabkannya meninggal. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar cerita ini, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam marah besar, dan berkata,”Sungguh kalian telah membunuhnya. Semoga kalian diberi balasan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mengapa kalian tidak bertanya jika tidak mengetahui? Karena obat dari tidak tahu ialah bertanya.”<br />
<br />
Yang lebih menarik untuk mengkaji jama’ah ini ialah, karena mereka jama’ah bunglon. Berubah setiap hinggap, dan bertukar warna sesuai dengan lingkungannya. Apakah mereka ini tidak mempunyai pendirian yang kuat dan tidak mempunyai pondasi yang kokoh? Ataukah demikian metode dakwah mereka, yaitu mengumpulkan semua warna dan kelompok di bawah naungan kelompok mereka?<br />
<br />
Oleh sebab itu, jama’ah ini yang berada di tempat pembaca, berbeda dengan mereka yang berada di tempat penulis. Bisa saja, di satu tempat mereka mempelajari suatu pelajaran yang benar bukan karena ajaran tersebut, akan tetapi karena lingkungan yang membuatnya terpaksa memulainya dari sana. Dan bisa saja sebaliknya, menjadi pembawa bendera bid`ah serta sebagai penyebarnya.<br />
<br />
Jama’ah ini paling mudah terpengaruh oleh suasana, karena permasalahan tadi. Yaitu, mereka tidak dididik di atas ilmu yang shahih. Maka, anda akan melihat mereka bagaikan baling-baling di atas bukit. Bak sebuah bulu ayam di padang pasir, mengikuti apa yang dikehendaki oleh angin.<br />
<br />
Kalaulah mereka tidak diikat dengan pertemuan-pertemuan di masjid-masjid dan tamasya-tamasya ke negeri-negeri kesayangan mereka -sekalipun negeri tersebut adalah tempat sarang berhala terbanyak di dunia-, maka penulis yakin, mereka akan berantakan. Dan jama’ah mereka akan terpengaruh oleh jama’ah lain, atau kembali kepada kepada asal mereka.<br />
<br />
Mungkin ada terbetik pertanyaan. Bukankah keberhasilan mereka mengeluarkan orang-orang dari tempat-tempat maksiat, dan membuatnya bertaubat ini sebagai salah satu dari kebaikan dan kesuksesan jama’ah ini dalam berdakwah?!<br />
<br />
Maka, kita perhatikan jawaban Syaikh Aman Ali Al Jami rahimahullah, ketika Beliau menjawab tentang sebagian dakwah moderen yang mempunyai persamaan dakwah dengan permasalahan di atas:<br />
<br />
... Benar, ia telah mengeluarkan orang-orang dari tempat-tempat diskotik dan bioskop. Ini tidak ada yang mengingkarinya. Akan tetapi, setelah ia mengeluarkan mereka dari tempat-tempat tersebut, apa yang dilakukannya? Apakah kemudian mendakwahi mereka dengan dakwah, dan dengan metode para anbia` (nabi)? Atau sebaliknya, mengajarkan mereka dan mengumpulkannya, sehingga mereka terpecah-pecah ke dalam berbagai macam thariqat tasawuf? Benar ... Akan tetapi, ia telah mengeluarkan mereka dari jahiliyah kepada jahiliyah. “<br />
<br />
Dia tidak memindahkan mereka kepada pemahaman yang benar tentang Islam. Buktinya, ia sendiri menganut salah satu thariqat shufi. Adapun orang-orang yang telah dikeluarkannya dari tempat-tempat diskotik itu, kalau tidak mengambil thariqat yang dianut olehnya, tentu mengambil thariqat tasawwuf lainnya. Dan apakah dakwahnya juga membasmi peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang secara jelas nampak ada di negerinya? Apakah dia telah mengeluarkan manusia dari thawaf di sekeliling kuburan, seperti kuburan Husain, Zainab dan Badawi?! Apakah dia telah mengeluarkan manusia dari berhukum dengan hukum demokrasi kepada berhukum dengan hukum Allah? Inilah yang seharusnya dilakukannya. Jika begini dakwahnya, tentu dakwah yang dibawanya merupakan dakwah yang benar. Akan tetapi sebagaimana kata syair:<br />
<br />
إِذَا كَانَ رَبُّ الْبَيْتِ بِالدُّفَّ ضَارِباً<br />
فَشِيْمَةُ أَهْلِ اْلبَيْتِ كُلِّهِمِ الرَّقْصُ<br />
<br />
Jika seandainya tuan rumah berdendang dengan rebana<br />
Tentu semua yang di rumah menari kegemaran mereka<br />
<br />
Jika tidak sampai kepadanya ilmu dan makrifah tentang Islam yang benar, bagaimana mungkin ia akan meninggalkan kuburan-kuburan tersebut dan memerangi orang yang thawaf disekelilingnya. Apa yang dapat dilakukannya terhadap orang-orang yang jatuh ke dalam maksiat tersebut? [7]<br />
<br />
Terakhir. Marilah menuntut ilmu, wahai para pemuda. Sesungguhnya dialah pintu kejayaan dan keselamatan.<br />
<br />
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VII/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]<br />
_______<br />
Footnote<br />
[1]. Dari hadits Nabi yang diriwayatkan oleh `Adi bin Hatim dan Abu Dzar serta yang lainnya. Dikeluarkan oleh Abu Dawud , Thayalisi di Musnadnya, dan Tirmidzi di Jami`nya. Lihat Ibnu Katsir, Tafsir Qur’anil `Adhim, 1/28, Maktabah `Ulum Wal Hikam, Madinah, 1993 dan Al Qurthubi, Al Jami` Li Ahkamil Qur`an, 1/104, Darul Kutub `Ilmiah, Beirut, 1993.<br />
[2]. Ibnu Katsir, Ibid.<br />
[3]. Ibnu Katsir, Ibid. hal. 4/503.<br />
[4]. Ibnul Qayyim menyebutkan permasalahan ini dalam kitab Beliau yang masyhur, Miftah Darus Sa`adah. Cobalah untuk menelaahnya. Sungguh untuk memperolehnya, para ulama kita berjalan kaki yang tidak sanggup ditempuh oleh kuda.<br />
[5]. Lihat Miftah Darus Sa`adah, hal. 1/48-126, Darul Fikri, Beirut.<br />
[6]. Lihat Kitab Al Qaulul Baligh …, Syaikh Hamud Al Tuwaijiri, hal. 7-18, Dar As Shuma`I, Riyadh, Cet. II/ 1997.<br />
[7]. Dari kaset 27 Sualan Haula Ad Dakwah As Salafiah (Duapuluh Tujuh Permasalahan Seputar Dakwah Salafiah).Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-64817382592900262602012-03-07T04:46:00.000-08:002012-03-07T04:46:32.760-08:00Apakah Penamaan As-Salafiyah Adalah Kebid'ahan ? Dan Kenapa Kita Menisbatkan Diri Kepada Salaf ?SUBHAT DAN JAWABANNYA<br />
[1]. Apakah Penamaan As-Salafiyah Adalah Kebid'ahan ?<br />
<br />
Ada sebagian orang berkata : Sesungguhnya penamaan dengan As-Salafiyah adalah kebid'ahan, karena para sahabat di zaman Rasulullah tidak memakainya.<br />
<br />
Jawabannya.<br />
Kata Salafiyah tidak dipakai di zaman Rasulullah dan sahabatnya karena tidak butuh untuk itu. Kaum muslimin awal berada di atas Islam yang benar, maka tidak butuh kepada kata Salafiyah, karena tabiat dan fitrah mereka berada di atasnya sebagaimana mereka berbahasa Arab fasih tanpa keliru dan salah, maka tidak ada ilmu nahwu dan sharaf serta balaghah sampai munculnya kekeliruan lalu muncullah ilmu ini yang dapat meluruskan lisan yang bengkok, demikian pula ketika muncul keanehan dan penyimpangan dari jama'ah kaum muslimin mulailah muncul kata As-Salafiyah pada alam kenyataan walaupun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan maknanya dalam hadits Iftiroq dengan sabdanya :<br />
<br />
"Artinya : Apa yang aku miliki dan sahabat-sahabatku sekarang"<br />
<br />
Ketika kelompok-kelompok sesat banyak bermunculan dan seluruhnya mendakwakan (mengklaim) diri mereka berjalan di atas Al-Kitab dan As-Sunnah, maka para Ulama umat bangkit melakukan pembedaan yang lebih gamblang dan mengatakan : Ahlul Hadits dan As-Salaf.<br />
<br />
Karena itu Salafiyah terbedakan dari seluruh golongan-golongan Islam yan lain dengan penisbatannya kepada perkara yang menjamin mereka dapat berjalan di atas Islam yang benar, ketahuilah, itu adalah berpegang teguh kepada apa yang telah dijalani Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam dan para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari kalangan Muhajirin dan Anshor serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, merekalah para generasi yang mendapat persaksian kebaikan.<br />
<br />
[2]. Dikatakan : Kenapa Kita Menisbatkan Diri Kepada Salaf<br />
<br />
Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :<br />
<br />
"Artinya : Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu" [ Al-Hajj : 78]<br />
<br />
Kami akan memaparkan sebuah dialog yang baik antara guru kami dan ustadz Abdul Halim Abu Syuqah pengarang kitab "Tahrirul Mar'ah Fi Ashri Ar-Risalah".<br />
<br />
Berkata Asy-Syaikh : Kalau engkau ditanya apa madzhab kamu, apa yang akan kamu katakan ?<br />
<br />
Dia menjawab : Muslim<br />
<br />
Berkata Asy-Syaikh : Ini tidak cukup !<br />
<br />
Dia berkata : Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menamakan kita kaum muslimin sejak dahulu, lalu dia membacakan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu" [Al-Hajj : 78]<br />
<br />
Berkata Asy-Syaikh : Ini adalah jawaban yang benar seandainya kita berada di zaman awal sebelum berkembangnya kelompok-kelompok sesat, dan seandainya kita tanyakan -sekarang- setiap muslim dari kelompok-kelompok yang kita berselisih dengannya secara mendasar dalam aqidah, maka tidak akan berbeda jawabannya dari jawaban ini, semuanya mengatakan baik orang Syi'ah Rafidah, Khawarij, Druze, Nushairiy Al-Alawiy : Saya Muslim, kalau begitu jawaban itu belum cukup untuk saat-saat ini.<br />
<br />
Dia berkata : Kalau begitu saya katakan : Saya muslim yang berada di atas Al-Kitab dan As-Sunnah.<br />
Berkata Asy-Syaikh : Ini juga tidak cukup.<br />
<br />
Dia berkata : Kenapa ?<br />
<br />
Berkata Asy-Syaikh : Apakah kamu dapatkan seorang dari mereka yang telah kita jadikan contoh mengatakan : Saya muslim dan saya tidak berada di atas Al-Kitab dan As-Sunnah ... maka siapakah yang mengatakan : Saya tidak berada di atas Al-Kitab dan As-Sunnah.<br />
<br />
Kemudian Syaikh mulai menjelaskan arti penting tambahan yang kami telah tetapkan yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih.<br />
<br />
Dia berkata : Kalau begitu saya seorang muslim yang berada di atas Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih.<br />
<br />
Berkata Asy-Syaikh : Jika seorang bertanya kepada kamu tentang madzhab kamu, apakah kamu akan menjawab demikian ?<br />
<br />
Dia berkata : Ya.<br />
<br />
Berkata Asy-Syaikh : Bagaimana pendapat kamu jika kita meringkasnya secara bahasa, karena sebaik-baiknya perkataan adalah yang paling ringkas tetapi mewakili maksudnya, maka kita katakan : Salafiy.<br />
<br />
Dia berkata : Saya mungkin berbasa-basi kepadamu dan saya katakan : Ya, akan tetapi keyakinan saya tetap seperti tadi, karena pertama yang terbesit pada pikiran seseorang ketika mendengar kamu adalah Salafiy adalah hal-hal yang banyak dari kebiasaan berupa sikap-sikap keras yang mengantar kepada kebengisan yang terkadang ada pada Salafiyin (orang-orang Salafiy).<br />
<br />
Berkata Asy-Syaikh : Anggaplah ucapanmu itu benar. Jika kamu katakan : Saya muslim, tidak akan terpahami kamu seorang Syi'ah Rafidah atau Druziyah atau Ismailiyah..?<br />
<br />
Dia berkata : Mungkin saja akan tetapi saya telah mengikuti ayat yang mulia : "Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu" [Al-Hajj : 78]<br />
<br />
Berkata Asy-Syaikh : Tidak wahai saudaraku ! sesungguhnya kamu tidak mengikuti ayat tersebut, karena ayat tersebut bermakna Islam yang benar, sepatutnyalah diajak bicara orang-orang sesuai dengan akalnya ... apakah ada seorang yang memahami dari kamu bahwa kamu muslim dengan makna yang ada di ayat tersebut ?<br />
<br />
Adapun hal-hal yang jelek yang telah kamu sebutkan tadi adakalanya benar atau tidak benar, karena perkataan kamu : keras, adakalanya pada sebagian pribadi-pribadi saja dan bukan seperti manhaj ilmiyah yang diyakini, maka tinggalkanlah pribadi-pribadi tersebut. karena kita berbicara tentang manhaj dan karena kalau kita katakan : Syi'iy, Driziy, Khorijiy, Shufi atau Mu'taziliy akan masuk juga kepada hal-hal buruk yang telah kamu sebutkan. Kalau begitu hal itu diluar pembahasan kita, karena kita membahas tentang nama yang menunjukkan madzhab yang dipegangi oleh seorang manusia.<br />
<br />
Kemudian Syaikh berkata : Bukankah sahabat semuanya muslim ?<br />
<br />
Dia menjawab : Tentu.<br />
<br />
Berkata Asy-Syaikh : Akan tetapi ada dari mereka yang mencuri dan berzina, dan ini tidak diperbolehkan seorangpun mengatakan : Saya bukan seorang muslim, akan tetapi dia masih seorang muslim yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya seperti satu manhaj, akan tetapi dia terkadang menyelisihi manhajnya, karena dia tidak maksum. Oleh karena itu, kita -semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberkati kamu- berbicara tentang kata yang menunjukkan aqidah, pemikiran dan pedoman kita dalam kehidupan dalam hal yang berhubungan dengan perkara agama yang kita beribadah denganya. Adapun fulan keras atau sebaliknya (lemah) adalah perkara lain.<br />
<br />
Kemudian berkata Asy-Syaikh : Saya ingin kamu renungkan kata yang singkat ini sampai kamu tidak tetap terus berada pada kata muslim sedangkan kamu tahu tidak ada seorangpun yang memahami darimu apa yang kamu inginkan darinya, maka kalau begitu berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kemampuan akal mereka.<br />
<br />
Barakallahu laka fi Talbiyika.<br />
<br />
<br />
[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-12684541205475150602012-03-07T04:41:00.000-08:002012-03-07T04:41:33.298-08:00AS-SALAFIYAH, FIRQATUN NAJIYAH (GOLONGAN YANG SELAMAT) DAN THAIFATUL MANSHURAH (KELOMPOK YANG MENANG)[1]. Firqatun Najiyah (Golongan Yang Selamat) dan Thaifatul Manshurah (Kelompok Yan Menang)<br />
<br />
Pembahasan tentang Firqatun Najiyah (golongan yang selamat) dan Thaifatul Manshurah (kelompok yang menang) meliputi beberapa sisi :<br />
<br />
Pertama.<br />
Hadits-hadits Nabi yang menjelaskan perpecahan Umat Islam.<br />
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu beliau berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
"Artinya : Orang Yahudi telah berpecah belah menjadi tujuh puluh satu kelompok dan Nashrani telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua kelompok dan umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga kelompok" [Hadits Hasan ; sebagaimana telah saya jelaskan dalam Nushhul Umat Fi Fahmi Ahaadits Iftiraqatil Umat hal. 9-10]<br />
<br />
Dalam hal ini juga ada dari sejumlah sahabat :<br />
<br />
[a]. Dari Muawiyah Radhiyallahu 'anhu dalam hadits beliau ada tambahan.<br />
"Artinya : Dan akan keluar pada umatku satu kaum yang telah merasuk mereka hawa nafsunya sebagaimana terjangkitnya penyakit anjing gila (rabies) kepada orang yang tertimpa (penyakit tersebut) tidak tinggal satu otot dan persendian pun kecuali dimasuki" [Hadits Hasan lihat refernsi diatas hal. 10-11]<br />
<br />
[b]. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, dalam hadits beliau ada tambahan<br />
"Artinya : Semuanya didalam neraka kecuali satu yaitu Al-Jama'ah" [Hadits Hasan dengan syahid-syahidnya, lihat referensi di atas, hal.12-18]<br />
<br />
[c]. Dari Auf bin Malik Radhiyalahu anhu, dan ada tambahan semakna dengan hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu [Hadits Hasan, lihat referensi diatas hal.18-19]<br />
<br />
[d]. Dari Abi Umamah Al-Bahiliy Radhiyallahu 'anhu dalam kisah yang panjang, dalam hadits beliau ada tambahan.<br />
"Artinya : Kelompok yang paling besar -yaitu yang selamat-" [Hadits Hasan dengan syahid-syahidnya, lihat referensi di atas, hal.19-21]<br />
<br />
[e]. Dari Sa'ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu, dalam hadits beliau ada tambahan seperti hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu. [Hadits Lemah, lihat referensi diatas hal.21-22]<br />
<br />
[f]. Hadits Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyalahu 'anhu, dalam hadits beliau ada tambahan.<br />
"Artinya : Sebagaimana keadaanku sekarang dan para shabatku" [Hadits hasan dengan syahid-syahidnya, sebagaimana telah saya jelaskan dalam juz khusus : Dar'ul Irtiyaab 'an Hadits Ma'ana Alaihi Wa Ashabihi]<br />
<br />
Dan dalam masalah ini juga ada dari Amru bin Auf Al-Muzaniy, Abu Darda. Abu Usamah, Waatsilah bin Al-Asyqa' dan Anas bin Malik, mereka semua bersepakat dalam hadits yang satu. [Semua sanad-sanad periwayatannya lemah sekali, sebagaimana telah saya jelaskan dalam Nushhul Umat Fi Fahmi Ahaadits Iftiratil Umat hal.22-27]<br />
<br />
Dan dari hadits-hadits di atas terdapat penamaan kelompok yang tetap pada pokok yang telah menggigit sunnah dengan gigi gerahamnya dengan nama An-Najiyah (golongan yang selamat), karena dia selamat dari perselisihan dan akan selamat -dengan izin Allah- dari neraka.<br />
<br />
Kedua.<br />
Hadits-Hadits Thaifah Al-Manshurah.<br />
<br />
[1].Dari Muawiyah Radhiyallahu 'anhu beliau berkata : Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.<br />
<br />
"Artinya : Senantiasa ada dari umatku sekelompok orang yang menegakkan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak merugikannya orang yang menghina dan menyelisihi mereka sampai datang hari kiamat dan mereka berada dalam keadaan demikian" [Mutafaqun Alaihi dan hadits ini dari Muawiyah memiliki delapan jalan periwayatan yang telah saya takhrij dalam Allaali al-Mansturah bi Aushaafith Thaifatil Manshurah (1)]<br />
<br />
Berkata Umair -salah satu perawi hadits- :Telah berkata Malik bin Yakhomir : Telah berkata Muadz : mereka berada di Syam. Dan berkata Muawiyah : Malik ini mengatakan bahwa dia telah mendengar Muadz bin Jabal berkata : Mereka di Syam.<br />
<br />
[2]. Hadits Mughirah bin Syu'bah Radhiyallahu 'anhu dengan lafadz.<br />
"Artinya : Senantiasa ada dari umatku sekelompok orang yang dimenangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala sampai datang hari kiamat dan mereka dalam keadaan demikian" [Mutafaqun Alaihi, lihat referensi diatas (2)]<br />
<br />
[3]. Hadits Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu 'anhu dengan lafadz.<br />
"Artinya : Senantiasa ada dari umatku sekelompok orang yang menegakkan kebenaran sampai datang hari kiamat" [Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, sebagaimana telah saya jelaskan dalam referensi diatas (3)]<br />
<br />
[4]. Hadits Tsauban Radhiyallahu 'anhu dengan lafadz.<br />
"Artinya : Senantiasa ada dari umatku sekelompok orang yang menegakkan kebenaran tidak merugikannya orang yang menghina sampai datang hari kiamat dan mereka dalam keadaan demikian" [Diriwayatkan oleh Muslim (3/65 An-Nawawiy) dan lihat referensi diatas (4)]<br />
<br />
[5]. Hadits Imraan bin Hushain Radhiyallahu 'anhu dengan lafadz.<br />
"Artinya : Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang berperang diatas kebenaran, mengalahkan orang yang memusuhi mereka sehingga akhirnya mereka memerangi Ad-Dajjal" [Hadits Shahih dan telah saya jelaskan dalam referensi diatas (5)]<br />
<br />
[6]. Hadits Jaabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu dengan lafadz.<br />
"Artinya : Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang berperang diatas kebenaran sampai hari kiamat ; beliau berkata lagi : Lalu turunlah Isa bin Maryam, kemudian amir mereka berkata : silahkanlah mengimami kami (dalam shalat), maka beliau menjawab : Tidak, sesungguhnya sebagian kalian adalah amir atas sebagian yang lain sebagai pemulian Allah terhadap umat ini" [Dikeluarkan oleh Muslim (2/193 An-Nawawiy) dan lihat referensi diatas]<br />
<br />
[7]. Hadits Salamah bin Naufal Radhiyallahu 'anhu dengan lafadz.<br />
"Artinya : Sekaranglah tiba peperangan, senantiasa ada sekelompok dari umatku yang mengalahkan manusia, Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengangkat hati-hati sejumlah kaum lalu berperang dan mendapatkan rizqi dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mereka dalam keadaan demikian, ketahuilah bahwa istana kaum mukminin ada di Syam dan kuda perang telah diikat di ubun-ubunnya kebaikan sampai hari kiamat" [Hadits shahih atas syarat Muslim, sebagaimana telah saya jelaskan dalam referensi diatas (7)]<br />
<br />
[8&9]. Hadits Abdillah bin Umar dan hadits Uqbah bin Amir Radhiyallahu 'anhu dengan lafadz.<br />
<br />
"Artinya : Senantiasa ada sekelompok dari umatku berperang diatas perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mengalahkan manusia, tidaklah merugikan mereka orang-orang yang menyelisihinya sampai menemui mereka dari kiamat dalam keadaan seperti itu" [Diriwayatkan oleh Muslim 13/67-68 An-Nawawiy dan lihat referensi diatas (9)]<br />
<br />
[10]. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dengan lafadz.<br />
"Artinya : Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menegakkan perintah Allah yang tidak merugikannya orang-orang yang menyelisihinya" [Hadits shahih dengan jalan-jalan periwayatannya, sebagaimana telah saya jelaskan dalam referensi diatas (10)]<br />
<br />
[11]. Hadits Qurrah Radhiyallahu 'anhu dengan lafadz<br />
"Artinya : Jika penduduk Syam telah rusak maka tiada kebaikan pada kalian, senantiasa ada sekelompok dari umatku yang dimenangkan yang tidak merugikannya orang-orang yang menyelisihinya sampai datangnya hari kiamat" [Hadits shahih atas syarat Syaikhoin, sebagaimana telah saya jelaskan dalam referensi diatas (11)]<br />
<br />
[12]. Hadits Jaabir bin Samurah Radhiyallahu 'anhu dengan lafadz.<br />
"Artinya : Senantiasa agama ini tegak berperang diatasnya sekelompok dari kaum muslimin sampai datangnya hari kiamat" [Diriwayatkan oleh Muslim 13/66 An-Nawawiy, lihat dalam referensi diatas (12)]<br />
<br />
[13]. Hadits Saad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu dengan dua lafadz.<br />
"Artinya : Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menegakkan agama dengan kemuliaan sampai hari kiamat" [Diriwayatkan oleh Muslim 13/68 An-Nawawiy, lihat dalam referensi diatas (13)]<br />
<br />
"Artinya : Senantiasa ahlul maghrib menegakkan kebenaran sampai tegaknya hari kiamat" [Hadits hasan, sebagaimana telah saya jelaskan dalam referensi diatas (15)]<br />
<br />
[14]. Hadits Abu Inabah Al-Khaulaniy Radhiyallahu 'anhu dengan lafadz.<br />
"Artinya : Senantiasa Allah menumbuhkan pada agama ini generasi yang Dia gunakan dalam ketaatannya sampai hari kiamat.<br />
<br />
Kesimpulannya.<br />
Hadits-hadits Ath-Thaifah Al-Manshurah mutawatir, sebagaimana telah dinyatakan oleh para ahli ilmu diantara mereka Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho Shirothil Mustaqiim hal.6, As-Suyuthiy dalam Al-Azhaar Al-Mutanasirah (93) dan Syaikh kami Al-Albaaniy dalam Shalaatil 'Idain hal.39-40 serta lainnya.<br />
<br />
Dari hadits-hadits di atas didapatkan bahwa kelompok tersebut disifatkan dengan Al-Manshurah (yang dimenangkan) karena dia menegakkan kebenaran dan tetap teguh (komitmen) di atasnya dan karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjaga dan menolong mereka sampai hari kiamat dan mereka berada dalam keadaan demikian.<br />
<br />
<br />
[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-84649036226904802882012-03-07T04:39:00.000-08:002012-03-07T04:39:28.785-08:00AS-SALAFIYAH, FIRQATUN NAJIYAH (GOLONGAN YANG SELAMAT) DAN THAIFATUL MANSHURAH (KELOMPOK YANG MENANG)Sifat-sifat (ciri-ciri) golongan yang selamat dan kelomppok yang dimenangkan apakah terdapat pertentangan dan perbedaan ?<br />
<br />
Terdapat berita-berita yang shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam penentuan sifat-sifat golongan yang selamat dan kelompok yang dimenangkan baik secara manhaj atau kondisinya.<br />
<br />
Adapun tentang manhaj mereka terdapat tiga lafadz yang menjelaskan bentuknya :<br />
<br />
[1]. Ma anaa 'alaihi alyauma wa ashaabii (siapa saja yang mengikuti aku dan sahabatku sekarang) sebagaimana dalam hadits Abdillah bin 'Amr bin Al-Ash Radhiyallahu 'anhu.<br />
<br />
[2]. Al-Jama'ah Sebagaimana dalam hadits Anas dan Sa'ad Radhiyallahu 'anhuma<br />
<br />
[3]. As-sawaadul A'dzam (kelompok paling besar) sebagaimana dalam hadits Abi Umamah Radhiyallahu 'anhu.<br />
<br />
Lafadz-lafadz hadits yang shahih ini maknanya satu dan tidak berbeda, sinonim dan tidak berselisih, segaris dan tidak bertolak belakang, sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Ajuuriy dalam kitabnya Asy-Syariat hal.13-15, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya : Siapakah An-Najiyah (golongan yang selamat) ? dan menjawab salam satu hadits Maa anaa 'alaihi al-yauma wa ashaabii (siapa saja yang mengikuti aku dan sahabatku sekarang) dan dalam hadits yang kedua Al-Jama'ah serta dalam hadits yang ketiga As-Sawaadul A'dzam (kelompok paling benar) dan dalam hadits keempat Kuluhaa fii an-naari ila waahidah wa hiyaa al-jama'ah (semuanya di dalam neraka kecuali satu yaitu al-Jama'ah).<br />
<br />
Saya Al-Ajuuriy berpendapat : Maknanya satu -Insya Allah-<br />
<br />
Berkata Abu Usamah Al-Hilaliy : Benar dan baik, dan masalahnya seperti yang dia katakan, karena Thaifah Almanshurah (kelompok yang dimenangkan) adalah Al-Jama'ah, karena Al-Jama'ah adalah yang sesuai dengan kebenaran walaupun kamu hanya sendirian, sebagaimana yang telah didefinisikan oleh sahabat yang mulia Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu.<br />
<br />
Dari Amr bin Maimun Al-Audiy Radhiayallahu 'anhu beliau berkata :<br />
<br />
"Artinya : Muadz bin Jabal mendatangi kami di masa Rasulullah lalu masuklah kedalam hatiku perasaan cinta kepadanya, kemudian aku bermulazamah (belajar) dengannya sampai aku memakamkannya di Syam, kemudian aku bermulazamah (belajar) kepada orang yang paling fakih setelah beliau yaitu Abdullah bin Mas'ud, kemudian pada suatu hari disebutkan kepadanya pengunduran shalat di waktunya, maka beliau berkata : shalatlah kalian di rumah-rumah kalian dan jadikanlah shalat kalian bersama mereka nafilah. Berkata Amru bin Maimuun : Dikatakan kepada Abdullah bin Mas'ud : Bagaimana sikap kami terhadap Jama'ah ? Lalu beliau menjawab kepadaku : Wahai Amru bin Maimuun sesungguhnya Jumhur Jama'ah (kebanyakan orang-orang yang berjama'ah) merekalah yang menyelisihi Al-Jama'ah, dan Al-Jama'ah itu adalah yang sesuai dengan ketaatan Allah Subhanahu wa Ta'ala walaupun kamu sendirian" [Dikeluarkan oleh Al-Lalikaaiy dalam Syarh Ushul I'tikad Ahlus Sunnnah wa Jama'ah (160) dan Ibnu Asaakir dalam Tarikh Dimasyqi 13/322/2]<br />
<br />
Hal ini juga telah dinukilkan oleh Abu Syaamah dalam kitabnya Al-Baa'its 'Ala Inkaril Bidaa' wal Hawaadits hal.22 dalam rangka berhujjah degannya untuk perkataan beliau :<br />
<br />
Dimana telah datang perintah memegang teguh Al-Jama'ah, maka yang dimaksud dengannya adalah berpegang teguh kepada kebenaran dan mengikutinya, walaupun orang yang berpegang teguh itu sedikit dan yang menyelisihinya itu banyak, karena kebenaran yang dimiliki Al-Jama'ah pertama dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabat-sahabatnya tidak memandang kepada banyaknya ahli kebatilan setelah mereka.<br />
<br />
Ibnul Qayyim memuji perkataan ini dalam kitabnya yang hebat Ighatsatul Lahfaan Min Mashaaidisy Syaithan 1/69, dan berkata :<br />
<br />
Alangkah bagusnya perkataan Abu Muhammad bin Ismail yang dikenal dengan Abu Syaamah dalam kitabnya Alhawadits wal bida'a (lalu beliau menyebutkan ucapan tersebut).<br />
<br />
Saya berkata : "Telah jelas bagi orang yang dapat memandang, bahwa Al-Jama'ah adalah yang sesuai dengan kebenaran walaupun sendirian dan kelompok yang dimenangkan (At-Thaifah Al Manshurah) ini disifatkan dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai penegak kebenaran dan demikian juga lafadz kelompok (thaifah) terjadi pada satu atau lebih dalam bahasa Arab".<br />
<br />
Berkata ahli bahasa dan fiqih Ibnu Qutaibah Ad-Dainuriy dalam kitabnya Ta'wil Mukhtalafil Hadits hal. 45 :<br />
<br />
Mereka berkata : "Paling sedikit untuk dinamakan Jama'ah adalah tiga dan mereka salah dalam hal ini, karena Thaifah itu bisa satu dan tiga dan lebih, karena thoifah bermakna satu bagian dan satu. kadang-kadang pula bermakna satu bagian dari kaum sebagaimana firman Allah Subhnahu wa Ta'ala.<br />
<br />
"Artinya : Hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman" [An-Nur : 2]<br />
Menginginkan seorang atau dua orang.<br />
<br />
Saya berkata : Dan ini yang telah disepakati oleh para imam ahli bahasa dan agama sebagaimana telah saya jelaskan dalam kitab saya :Al-'Adillah Wasy Syawaahid 'Ala Wujubil Akhadzi Bi Khobaril Waahid Fil Ahkaam Al-Aqaaid 1/23, maka tidak diragukan lagi (dapat dipastikan) bahwa Thaifah Al-Manshurah (kelompok yang dimenangkan) ini adalah Al-Jama'ah dan dia adalah As-Sawaadul A'dzam (kelompok yang terbesar) karena dia adalah Al-Jama'ah. [Dikeluarkan oleh Abu Na'im dalam Hilyatul Auliya' 9/239]<br />
<br />
Berkata Ibnu Hibban dalam Shahihnya 8/44 : Perintah berjama'ah dengan lafadz umum dan yang dimaksud darinya khusus ; karena Al-Jama'ah adalah ijma' para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka barangsiapa yang berpegang teguh kepada apa yang telah mereka pahami dan menyelisihi orang-orang yang setelah mereka bukanlah termasuk orang yang menyelisihi Al-Jama'ah dan tidak juga memisahkan diri darinya. Baragsiapa yang menyelisihi mereka dan mengikuti orang-orang setelah mereka maka dia menjadi penyelisih Al-Jama'ah. Dan Al-Jama'ah setelah sahabat adalah kaum-kaum yang berkumpul padanya agama, akal, ilmu dan senantiasa meninggalkan hawa nafsu yang mereka miliki walaupun sedikit jumlah mereka dan bukanlah rakyat kecil dan awam mereka walaupun banyak jumlahnya.<br />
<br />
Berkata Ishaaq bin Raahaawih : Seandainya kamu bertanya kepada orang yang tidak tahu (bodoh) tentang As-Sawaadul A'dzam, niscaya akan mengatakan : Jama'ah orang-orang , mereka tidak mengetahui bahwa Al-Jama'ah adalah seorang alim yang berpegang teguh kepada atsar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnahnya, maka siapa saja yang bersama dan mengikutinya maka dia adalah Al-Jama'ah. [Dikeluarkan oleh Abu Na'im dalam Hilyatul Auliya' 9/239]<br />
<br />
Berkata Imam Asy-Syathibiy dalam kitabnya Al-Itishom 2/267 dalam menegaskan pemahaman Sunni yang shahih ini : Lihatlah pernyataannya !, niscaya akan jelas kesalahan orang yang menganggap bahwa Al-Jama'ah adalah jama'ah (sekumpulan) orang-orang walaupun tidak ada pada mereka orang yang alim, ini merupakan pemahaman orang-orang awam dan bukan pemahaman para Ulama. Hendaklah orang yang telah mendapatkan taufiq dan Allah Subhanahu wa Ta'ala memantapkan pijakannya di tempat yang licin ini agar tidak tersesat dari jalan yang lurus, dan taufiq itu hanya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br />
<br />
Berkata Al-Laalika'iy dalam Syarh Ushul I'tikad Ahli Sunnah Wal Jama'ah 1/255 dalam menafsirkan Ath-Thaifah Al-Manshurah dan Firqatun Najiyah : Para penentang marah terhadap mereka ; karena mereka As-Sawadul A'dzam dan mayoritas yang paling banyak mereka miliki ilmu, hukum, akal, kesabaran, kekhilafahan, kepemimpinan, kekuasaan, dan politik, sedangkan mereka orang-orang yang menegakkan shalat Jum'at dan perkumpulan, shalat jama'ah dan masjid-masjid, manasik haji dan hari-hari raya, haji dan jihad dan memberikan kebaikan kepada para perantau (emigran) dan para pendatang (imigran) dan penjaga perbatasan-perbatasan dan harta kekayaan negara, merekalah orang-orang yang berjihad fi sabilillah.<br />
<br />
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Al-Fataawa 3/3455 : Oleh karena itu disifatkan Firqatun Najiyah dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah, merekalah mayoritas yang terbanyak dan As-Sawaadul A'dzam.<br />
<br />
Saya berkata : "Renungkanlah kata-kata yang bernilai tinggi ini wahai Saudara dan hapalkanlah, karena hal itu dapat menghilangkan kesulitan-kesulitan yang terjadi akibat memahami hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terdahulu dalam perpecahan umat di atas pemahaman salah orang awam dan prasangka sebagian ahli fiqih, dan dapat melenyapkan syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh para da'i kelompok-kelompok sesat yang menolak hadits-hadits tersebut dengan dakwaan bahwa hadits-hadits tersebut menyelisihi kenyataan yang ada. Karena dia menetapkan (menghukum) mayoritas umat Islam masuk neraka dengan prasangka dari mereka bahwa mayoritas umat Islam beragama dengan kebid'ahan dan kesesatan, mereka tidak mengerti bahwa mayoritas umat Islam telah ditarik oleh fitrah mereka yang selamat kepada Aqidah yang benar -Insya Allah-, oleh karena itu tokoh-tokoh besar madzhab khalaf berangan-angan untuk mati di atas agama 'Ajaiz (orang-orang yang masih selamat fitrahnya -pent).<br />
<br />
<br />
[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-2756431555440676552012-03-07T04:37:00.001-08:002012-03-07T04:37:11.729-08:00MENGAPA HANYA MANHAJ SALAFI SAJASangat banyak dalil-dalil dari kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta perkataan para sahabat yang menjelaskan akan pujian terhadap orang yang mengikuti jalan As-Salaf dan celaan terhadap orang yang tidak melakukan hal demikian. Dan ini merupakan perkara-perkara yang menguatkan kewajiban mengikuti manhaj Salaf serta menegaskan bahwa dia merupakan jalan keselamatan dan kebahagian hidup. Di sini kami melemparkan beberapa belas anak panah kepada orang yang ragu lagi bimbang untuk membentangkan jalan kaum mukminin dari pohon keyakinan sehingga memetik manisnya iman dari atas pohon yang subur dan berteduh dibawah kerindangannya dalam buaian dan wanginya.<br />
<br />
Pertama<br />
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br />
<br />
"Artinya : Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar" [At-Taubah : 100]<br />
<br />
Sisi pendalilannya adalah, Rabb sekalian manusia telah memuji orang yang mengikuti sebaik-baik manusia maka jelaslah bahwa mereka (Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar ) jika mengatakan satu perkataan lalu diikuti oleh orang yang mengikutinya maka haruslah hal itu merupakan hal yang terpuji dan berhak mendapatkan keridhoan, dan seandainya mengikuti mereka tidak memiliki keistimewaan dari selain mereka maka dia tidak berhak mendapatkan pujian dan keridhoan.<br />
<br />
Kedua<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.<br />
<br />
"Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah" [Ali Imran :110]<br />
<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan keutamaan atas sekalian umat-umat yang ada dan hal ini menunjukkan keistiqomahan mereka dalam setiap keadaan ; karena mereka tidak menyimpang dari syari'at yang terang benderang, sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala mempersaksikan bahwa mereka memerintahkan setiap kemakrufan (kebaikan) dan mencegah setiap kemungkaran, hal itu menunjukkan dengan pasti bahwa pemahaman mereka adalah hujjah atas orang yang setelah mereka sampai Allah Subhanahu wa Ta'ala mewarisi bumi dan seisinya.<br />
<br />
Jika ditanya : Ini umum pada umat Islam seluruhnya tidak khusus untuk generasi sahabat saja.<br />
<br />
Saya jawab : Bahwa merekalah orang yang pertama yang menjadi obyek penderita, dan tidak masuk dalam konteks ini orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik kecuali dengan kias (analogi) atau dengan dalil sebagaimana dalil pertama. Dan seandainya konteksnya umum -inipun benar- maka para sahabat adalah yang pertama masuk dalam keumuman konteks ayat, karena mereka orang pertama yang menerima dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa perantara (langsung) sedang mereka adalah orang-orang yang langsung berkenaan dengan wahyu, sehingga mereka lebih pantas dimasukkan dalam konteks ayat daripada selainnya karena sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala jadikan sebagai sifat mereka tidak memiliki sifat -sifat tersebut dengan sempurna kecuali mereka. Dan kesesuaian sifat terhadap kondisi yang nyata merupakan bukti bahwa mereka lebih pantas dari selainnya untuk dipuji. Hal itu dijelaskan oleh :<br />
<br />
Ketiga<br />
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :<br />
<br />
"Artinya : Sabik-baiknya manusia adalah generasiku [1] kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi, kemudian datang satu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya" [Mutawatir, sebagaimana telah ditegaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah 1/12 dan Al-Muanawiy dalam Faidhul Qadir 3/478 serta disetujui oleh Al-Kataaniy dalam kitab Nadzmul Mutanatsir hal.127]<br />
<br />
Apakah keutamaan yang ditetapkan kepada generasi sahabat ini ada pada warna kulit atau bentuk tubuh atau harta mereka ... dst ?<br />
<br />
Tidak akan ragu bagi orang berakal yang telah memahami Al-Kitab dan As-Sunnah bahwa bukan itu semua yang dimaksud ; karena tolak ukur keutamaan dalam Islam adalah ketakwaan hati dan amal shalih, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :<br />
<br />
"Artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kami di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu" [Al-Hujuraat : 13]<br />
<br />
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
"Artinya : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak melihat kepada bentuk kalian dan harta kalian akan tetapi melihat kepada hati-hati kalian dan amalan kalian" [Hadits Shahih Riwayat Muslim 16/121 -Nawawiy]<br />
<br />
Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melihat kepada hati-hati para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendapatkannya sebagai sebaik-baik hati diantara para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian Allah memberikan kepahaman yang tidak didapatkan oleh orang-orang yang menyusul mereka, oleh karena itu apa yang para sahabat pandang sebagai kebaikan maka dia adalah kebaikan di sisi Allah Subahanahu wa Ta'ala dan apa yang mereka pandang sebagai kejelekan maka dia adalah kejelekan di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br />
<br />
Abdullah bin Mas'ud berkata : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melihat kepada hati-hati para hambaNya dan mendapatkan hati Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebaik-baik hati para hamba lalu memilihnya untuk dirinya dan diutus sebagai pembawa risalahNya, kemudian melihat kepada hati-hati para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendapatkan hati-hati para sahabat beliau sebaik-baik para hamba lalu menjadikan mereka sebagai pembantu NabiNya, mereka berperang di atas agamaNya, maka apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dia baik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan apa yang mereka pandang kejelekan maka dia adalah kejelekan di sisi Allah Subahanhu wa Ta'ala. [2]<br />
<br />
Dari Abu Juhaifah, beliau berkata.<br />
<br />
"Artinya : Saya telah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib : 'Apakah kalian memiliki kitab ? Beliau menjawab : 'Tidak kecuali Kitabullah atau pemahaman yang diberikan kepada seorang muslim atau apa yang ada di lembaran ini [3]. Saya bertanya lagi : Apa yang ada di lembaran tersebut ? Beliau menjawab ; Diyat, pembebasan tawanan dan (pernyataan) bahwa seorang muslim tidak di bunuh dengan sebab orang kafir" [Hadits Shahih Riwayat Bukhari 1/204 - Al-Fath]<br />
<br />
Dengan demikian maka pemahaman para sahabat terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah merupakan hujjah atas orang yang setelahnya sampai akhir umat ini, oleh karena itu mereka menjadi saksi Allah Subhanahu wa Ta'ala dipermukaan bumi ini, hal ini dijelaskan berikut.<br />
<br />
Keempat<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.<br />
<br />
"Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu" [Al-Baqarah : 143]<br />
<br />
Di sini Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan mereka umat pilihan dan umat yang adil karena mereka adalah umat yang paling utama dan paling adil dalam perkataan, perbuatan dan kehendaknya, sehingga mereka berhak menjadi para saksi atas manusia dan dengan demikian Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji mereka, mengangkat nama mereka dan menerima mereka dengan baik. Dan saksi yang diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah yang bersaksi dengan ilmu dan kebenaran sehingga mengkhabarkan kebenaran yang berdasarkan ilmunya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br />
<br />
"Artinya : Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa'at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya)" [Az-Zukhruf : 86]<br />
<br />
Apabila persaksian mereka diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala maka tidak diragukan lagi bahwa pemahaman mereka dalam agama merupakan hujjah atas orang yang setelah mereka, karena ayat ini telah menjelaskan penunjukkan tersebut secara mutlak dan umat Islam tidak memutlakkan sifat adil pada satu generasi kecuali kepada generasi sahabat, karena Ahlus Sunnah wal Jama'ah memberikan sifat adil pada mereka secara mutlak dan menyeluruh sehingga mereka mengambil dari sahabat secara riwayat dan ilmu seluruhnya tanpa kecuali. Berbeda dengan selain sahabat, maka Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak memberikan sifat adil ini kepada mereka kecuali yang telah diakui keimanan dan keadilannya. Kedua hal ini tidak diberikan kepada seseorang kecuali jika dia berjalan di atas jejak para sahabat.<br />
<br />
Maka jelaslah dengan demikian bahwa pemahaman para sahabat merupakan hujjah atas selainnya dalam pengarahan nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah oleh karena itu diperintahkan untuk mengikuti jalan mereka, hal ini dijelaskan dalam.<br />
<br />
Kelima<br />
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br />
<br />
"Artinya : Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku" [Luqman : 15]<br />
<br />
Setiap sahabat adalah orang yang kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kepada mereka hidayah (petunjuk) untuk mendapatkan perkataan yang baik dan amalan shalih dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br />
<br />
"Artinya : Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira ; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal" [Az-Zumar : 17-18]<br />
<br />
Maka wajib mengikuti jalan mereka dalam memahami agama Allah baik Al-Qur'an ataupun As-Sunnah, oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'a mengancam orang yang tidak mengikuti jalan mereka dengan neraka jahannam seburuk-buruknya tempat kembali, hal ini dijelaskan.<br />
<br />
Keenam<br />
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br />
<br />
"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali" [An-Nisaa : 115]<br />
<br />
Sisi pendalilannya adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengancam orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin sehingga menunjukkan bahwa mengikuti jalan mereka dalam memahami syari'at adalah wajib dan menyelisihinya adalah kesesatan.<br />
<br />
Jadi dikatakan : Ini adalah Istidlal (pendalilan) dengan dalil khithaab dan hal itu bukanlah hujjah, maka kami katakan ; Dia itu dalil, dan dibawah ini akan dijelaskan dalilnya.<br />
<br />
[a]. Dari Ya'la bin Umaiyah beliau berkata : Saya telah bertanya kepada Umar.<br />
<br />
"Artinya : Maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir" [An-Nisaa : 101]<br />
<br />
Padahal manusia telah aman ? Umar berkata : "Saya telah heran seperti yang kamu herankan, lalu saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal tersebut dan beliau menjawab :<br />
<br />
"Artinya : Shadaqah yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada kalian maka terimalah shadaqahNya" [Hadits Riwayat Muslim 5/196 - An-Nawawiy]<br />
<br />
Kedua sahabat ini yaitu Ya'la bin Umaiyah dan Umar bin Al-Khathab memahami dari ayat ini bahwa qashar shalat terkait dengan syarat takut, sehingga jika manusia telah aman wajib menyempurnakan shalat dan ia adalah dalil khithaab yang dinamakan juga dengan Mafhum Mukhalafah.<br />
<br />
Lalu Umar bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu 'alihi wa sallam menyetujui pemahamannya akan tetapi beliau jelaskan kepada Umar bahwa hal itu tidak dipakai disini ; karena Allah Subahanahu wa Ta'ala telah bershadaqah kepada kalian maka terimalah shadaqahnya tersebut.<br />
<br />
Seandainya pemahaman Umar tidak benar tentunya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sejak awal tidak mendiamkannya kemudian mengarahkan pengarahan ini dan ada pepatah yang mengatakan : Taujih (pengarahan) bagian dari penerimaan.<br />
<br />
[b]. Dari Jabir dari Ummu Mubasyir bahwa dia telah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata di hadapan Hafshah.<br />
<br />
"Artinya : Tidaklah masuk neraka seorangpun -insya Allah- dari Ashhab Syajaroh yang berbaiat dibawahnya"<br />
Dia berkata : benar wahai Rasulullah, lalu beliau menghardiknya lalu berkata Hafshah :<br />
<br />
"Artinya : Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu" [Maryam : 71]<br />
<br />
Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : Allah telah berfirman.<br />
<br />
"Artinya : Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa dan membiarkan orang-orang yang zhalim di dalam naar dalam keadaan berlutut" [Maryam : 72]<br />
<br />
Di sini Ummul Mukminin Hafshah memahami dari ayat ini bahwa semua manusia akan masuk neraka, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meluruskan hal itu dengan lanjutan ayat tersebut yaitu :<br />
<br />
"Artinya : Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa" [Maryam : 72]<br />
<br />
Pada awalnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakui kebenaran pemahaman Hafshah, kemudian menjelasakan bahwa konteks kata " tidak masuknya neraka" (dalam hadits itu) berbeda dengan konteks kata "wurud" (datangnya orang ke neraka yan ada dalam ayat tersebut) dan menjelaskan bahwa yang pertama itu khusus untuk orang-orang shalih yang bertaqwa yakni mereka tidak merasakan adzab neraka dan masuk ke syurga dengan melewatinya tanpa disentuh sedikitpun siksaan dan adzab, sedangkan selain mereka tidak demikian.<br />
<br />
Maka jelaslah Alhmadulillah bahwa dalil khithaab adalah hujjah yang diakui dan dapat disandarkan dalam pemahaman.<br />
<br />
Cukuplah bagimu bahwa firman Allah :<br />
<br />
"Artinya : Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min" [An-Nisaa : 115]<br />
<br />
Bukanlah dalil khithab akan tetapi hal itu merupakan argumentasi dengan Taqsiimin Aqliy (pembagian secara logika), karena tidak ada pilihan yang ketiga antara mengikuti jalan orang-orang mukmin dan mengikuti selain jalan mereka.<br />
<br />
Maka ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang ikut selain jalan mereka maka wajiblah mengikuti jalan mereka, ini sudah sangat jelas sekali.<br />
<br />
Jika ada yang membantah : Ada di antara dua pilihan tersebut pilihan yang ketiga yaitu tidak ikut kedua-keduanya.<br />
<br />
Maka saya jawab : Ini merupakan pendapat yang sangat lemah sekali ; karena tidak mengikuti keduanya sama sekali berarti mengikuti jalan selain mereka (orang-orang mukmin) secara pasti karena firman Allah :<br />
<br />
"Artinya : Maka tidak ada sesudah kabenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)" [Yunus : 32]<br />
<br />
Jelaslah di sini bahwa hanya ada dua pilihan dan tidak ada pilihan yang ketiga. Jika dikatakan : Kami tidak setuju bahwa mengikuti selain jalan orang-orang mukmin berhak mendapat ancaman tersebut (dalam ayat) kecuali dibarengi dengan penentangan terhadap Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam sehinnga hal itu tidak menunjukkan pengharaman mengikuti selain jalan kaum mukminin secara mutlak akan tetapi harus ada penentangan Rasulnya.<br />
<br />
Jawabannya ; Telah diketahui bahwa menentang Rasul diharamkan secara tersendiri dan terpisah karena adanya peringatan atas hal tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br />
<br />
"Artinya : Dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya" [Al-Anfaal : 13]<br />
<br />
Maka ayat ini menunjukkan ancaman tersebut ada untuk setiap dari keduanya secara tersendiri dan pensifatan ini (mengikuti selain jalan kaum mukminin) termasuk yang mendapat ancaman secara tersendiri dan hal itu ditinjau dari hal-hal berikut ;<br />
<br />
[a]. Mengikuti selain jalan kaum mukminin seandainya tidak diharamkan secara tersendiri maka tidak diharamkan bersama penentangan seperti penyelamat yang lainnya.<br />
[b]. Mengikuti selain jalan kaum mukminin seandainya tidak termasuk dalam ancaman tersebut secara tersendiri maka (pensifatan tersebut) hanyalah sia-sia dan tidak ada faedahnya untuk disebutkan, maka jelaslah bahwa penghubungannya (dalam konteks ayat tersebut) adalah dalil tersendiri seperti yang awal.<br />
<br />
Jika ada yang mengatakan : Kami tidak sependapat jika ancaman tersebut berlaku untuk semua orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin secara mutlak akan tetapi hal itu berlaku setelah jelas baginya petunjuk, karena Allah menyebut penentangan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mensyaratkan padanya kejelasan petunjuk kemudian dihubungkan dengan mengikuti selain jalan kaum mukminin, hal itu menunnjukkan bahwa kejelasan petunjuk merupakan syarat dalam ancaman terhadap orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin.<br />
<br />
Jawabanya : Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala<br />
<br />
"Artinya : Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min" [An-Nisaa : 115]<br />
<br />
Ma'thuf (disandarkan/dihubungkan) dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br />
"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya" [An-Nisaa : 115]<br />
<br />
Maka hal itu menunjukkan bahwa kait (syarat) pada awal ayat bukanlah syarat bagi yang kedua akan tetapi kata hubung tersebut hanya untuk menunjukkan kesatuan dan kesamaan dalam hukum yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br />
"Artinya : Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali" [An-Nisaa : 115]<br />
<br />
Hal ini menunjukkan bahwa setiap sifat dari kedua sifat tersebut mendapatkan ancaman tersendiri.<br />
<br />
Hal ini di bawah ini dapat menunjukkannya.<br />
<br />
Kejelasan petunjuk (kebenaran) merupakan syarat dalam (hukum) penentangan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena orang yang tidak mengetahui petunjuk (kebenaran) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak dikatakan menentang sedangkan mengikuti jalan kaum mukminin merupakan petunjuk (kebenaran) itu sendiri.<br />
<br />
Konteks ayat ini adalah untuk mengagungkan dan memuliakan kaum mukminin, maka seandainya mengikuti jalan mereka disyaratkan dengan datangnya kejelasan petunjuk (kebenaran) maka tidaklah mengikuti jalan mereka ini lantaran sebagai jalan mereka akan tetapi karena telah datang kejelasan petunjuk (kebenaran) dan jika demikian tidak ada faedah mengikuti jalan mereka.<br />
<br />
Dengan demikian jelaslah bahwa mengikuti jalan kaum mukminin merupakan jalan keselamatan dan pemahaman para sahabat dalam agama adalah hujjah atas selain mereka, sehingga orang yang menentangnya maka telah menghendaki kesesatan dan berjalan di tempat yang berbahaya, maka cukuplah Jahanam (neraka) sebagai sejelek-jeleknya tempat tinggal dan kembalinya. Inilah kebenaran maka berpegang teguhlah kepadanya dan tinggalkanlah jalan-jalan yang menyimpang, dan hal itu juga dijelaskan oleh.<br />
<br />
Ketujuh<br />
Firman Allah Subhnahu waa Ta'ala<br />
<br />
"Artinya: Barangsiapa berpegang teguh kepada Dienullah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus".[Ali Imran : 101]<br />
<br />
Para sahabat merupakan orang-orang yang berpegang pada tali Allah, karena Allah adalah wali orang-orang yang berpegang teguh kepadaNya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br />
<br />
"Artinya: Dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu,maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong".[Al-Hajj :78]<br />
<br />
Dan telah diketahui kesempurnaan perlindungan dan pertolongan Allah kepada mereka yang menunjukan bahwa mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka adalah orang-orang yang memberi petunjuk dengan persaksian Allah dan menyampaikan kebenaran merupakan satu kewajiban menurut syariat, akal dan fitrah, oleh karena itu menjadikan mereka sebagai imam-imam bagi kaum mutaqin (orang-orang yang bertaqwa ) karena kesabaran dan keyakinan mereka dan itu dijelaskan oleh:<br />
<br />
Kedelapan<br />
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala<br />
<br />
"Artinya : Danjadikanlah kami imam bagi orang yang bertaqwa". [Al-Furqan : 74]<br />
<br />
Setiap orang yang bertaqwa akan diikuti oleh mereka sedangkan ketaqwaan adalah wajib sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam banyak ayat yang sulit untuk memaparkannya pada kesempatan ini, sehingga jelaslah kewajiban mengikuti mereka dan penyimpangan dari jalan meraka merupakan pintu fitnah dan musibah.<br />
<br />
Kesembilan<br />
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala<br />
<br />
"Artinya : Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami".[As-Sajadah : 24]<br />
<br />
Sifat ini diberikan untuk para sahabat Musa dimana Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengkhabarkan Bahwa Dia telah menjadikan mereka sebagai imam-imam yang diikuti oleh orang yang setelah mereka dengan kesabaran dan keyakinannya, karena keimaman (kepemimpinan) di dunia dapat dicapai dengan kesabaran dan keyakinan.<br />
<br />
Sudah pasti para sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih berhak dan pantas mendapat sifat ini dari para sahabat Musa tersebut karena mereka lebih sempurna keyakinan dan lebih besar kesabarannya dari umat yang lain sehingga mereka lebih pantas memegang jabatan keimamam ini. Hal ini telah ditetapkan juga oleh persaksian Allah dan pujian Rasulullah terhadap mereka. Kalau begitu mereka adalah orang yang paling pintar dari umat ini sehingga kita diwajibkan untuk merujuk kepada fatwa dan pendapat mereka serta terikat dengan pemahaman mereka terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah secara amalan, akal dan syariat, wabillahi taufiq.<br />
<br />
Kesepuluh<br />
Dari Abi Musa Al-Asy'ariy beliau berkata :<br />
<br />
"Artinya : Kami sholat maghrib bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu kami berkata : Semalam kita duduk-duduk sampai shalat Isya bersama beliau lalu kami duduk sampai Rasulullah menemui kami dan berkata ; Kalian masih di sini ? kami menjawab : wahai Rasulullah kami telah shalat bersamamu kemudian kami berkata : kami akan tetap duduk sampai shalat Isya bersamamu, beliau menjawab ; bagus atau benar. Abu Musa berkata : kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kepala ke langit dan hal itu sering beliau lakukan lalu bersabda : bintang-bintang adalah penjaga langit, jika hilang bintang-bintang tersebut maka datanglah bencana padanya dan saya adalah penjaga para sahabatku maka jika saya pergi datang kepada mereka apa yang dijanjikan dan sahabatku adalah penjaga umatku jika telah pergi sahabatku datanglah kepada umat ku apa yang dijanjikan" [Hadits Riwayat Muslim 16/82 -An-Nawawiy]<br />
<br />
Rasulullah menjadikan kedudukan para sahabatnya dibandingkan dengan generasi setelah mereka dari umat Islam sebagaimana kedudukan beliau kepada para sahabatnya dan sebagaimana kedudukan bintang terhadap langit.<br />
<br />
Jelaslah Tasybih Nabawiy (perumpamaan Nabi) ini menjelaskan kewajiban mengikuti pemahaman para sahabat dalam agama Islam sama dengan kewajiban umat Islam kembali kepada Nabi mereka karena Nabi adalah penjelas Al-Qur'an sedangkan para sahabatnya adalah penyampai dan penjelas beliau bagi umat. Demikianlah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang yang maksum yang tidak berbicara dengan hawa nafsu dan beliau hanya mengucapkan petunjuk dan hidayah, sedangkan para sahabatnya adil yang tidak berkata-kata kecuali dengan kejujuran dan tidak mengamalkan sesuatu kecuali kebenaran.<br />
<br />
Dan demikian juga Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan bintang-bintang sebagai alat pelempar syaitan ketika mencuri khabar sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br />
<br />
"Artinya : Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, dan telah memeliharanya (sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang sangat durhaka, syaithan-syaithan itu tidak dapat mendengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang kekal, akan tetapi barangsiapa (diantara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan) ; maka ia dikejar-kejar oleh suluh api yang cemerlang" [Ash-Shaaffat : 9-10]<br />
<br />
Dan firmanNya.<br />
<br />
"Artinya : Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaithan" [Al-Mulk : 5]<br />
<br />
Demikian juga para sahabat adalah hiasan umat Islam yang menghancurkan ta'wil orang-orang bodoh, ajaran batil dan penyimpangan orang yang menyimpang yang mengambil sebagian Al-Qur'an dan membuang sebagiannya, mengikuti hawa nafsu mereka lalu bercerai-berai ke kanan dan ke kiri lalu mereka menjadi berkelompok-kelompok. Demikian juga bintang-bintang menjadi tanda bagi penduduk bumi agar mereka gunakan sebagai alat petunjuk di kegelapan darat dan laut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br />
<br />
"Artinya : Dan Dia (ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk." [An-Nahl : 16]<br />
<br />
Dan firmanNya.<br />
<br />
"Artinya : Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut" [Al-An'am :97]<br />
<br />
Demikian juga para sahabat, mereka dicontoh untuk menyelamatkan diri dari kegelapan syahwat dan syubhat, maka orang yang berpaling dari pemahaman mereka berada dalam kesesatan yang membawanya kepada kegelapan yang sangat kelam, seandainya dia mengeluarkan tangannya maka tidak terlihat lagi.<br />
<br />
Dengan pemahaman para sahabat, kita membentengi Al-Kitab dan As-Sunnah dari kebid'ahan syaithan jin dan manusia yang menginginkan fitnah dan ta'wilnya untuk merusak apa yang dimaksud Allah dan RasulNya. Sehingga pemahaman para sahabat merupakan pelindung dari kejelekan dan sebab-sebabnya. Seandainya pemahaman mereka bukan hujjah tentunya pemahaman orang setelah mereka menjadi penjaga dan pelindung mereka dan ini mustahil.<br />
<br />
Kesebelas<br />
Hadits-hadits yang menjelaskan kewajiban untuk mencintai para sahabat dan mencela orang yang membenci mereka -dan merupakan kesempurnaan dalam mencintai mereka adalah dengan mencontoh jejak langkah dan berjalan di atas petunjuk mereka dalam memahami kitabullah dan sunnah Rasulullah- sangat banyak, diantara hadits-hadits tersebut adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
"Artinya : Janganlah mencela sahabatku karena seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung uhud tidak akan menyamai satu mud atau setengah mudnya shadaqah mereka" [4]<br />
<br />
Keutamaan ini bukan saja dari sisi mereka telah melihat, berdampingan dan bersahabat dengan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan tetapi hal itu karena ittiba' dan pengamalan mereka terhadap sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang demikian besar. Pantaslah jika pemahaman mereka dijadikan jalan petunjuk dan pendapat-pendapat mereka dijadikan kiblat tempat seorang muslim menghadapkan wajahnya dan tidak berpaling kepada selainnya. Dan hal itu jelas -jika dilihat- sebab turunnya hadits ini dimana orang yang dilarang tersebut adalah Khalid bin Al-Walid dan beliau seorang sahabat, maka apabila satu mud sebagian sahabat atau setengahnya lebih baik di sisi Allah dari emas sebesar gunung uhud lantaran keutamaan dan terdahulunya mereka dalam Islam, maka tidak diragukan lagi adanya perbedaan yang besar antara sahabat dengan orang yang setelah mereka. Kalau keadaannya seperti ini bagaimana mungkin pemahaman orang yang memiliki akal yang cemerlang dalam agama Allah ini tidak menjadi jalan petunjuk yang membawa kepada jalan yang lebih lurus ?<br />
<br />
Keduabelas<br />
Diantaranya hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
"Artinya : Berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin dan gigitlah dengan gigi gerahammu" [Telah lewat Takhrijnya]<br />
<br />
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan umatnya ketika terjadi perselisihan untuk berpegang teguh kepada sunnahnya dengan paham para sahabatnya sebagaimana telah lalu penjelasannya.<br />
<br />
Diantara faedah berharga dari hadits ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menyebut sunnahnya dan sunnah para Khulafaur Rasyidin berkata :<br />
<br />
Dalam rangka untuk menunjukkan bahwa sunnah beliau dan sunnah para Khalifah Rasyidin adalah satu manhaj dan hal itu hanya terjadi dengan pemahaman yang shahih dan jelas yaitu berpegang teguh kepada sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman para sahabatnya.<br />
<br />
Ketigabelas<br />
Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mensifatkan manhaj Firqatun Najiyah (golongan yang selamat) dan Ath-Thaifah Al-Manshurah (kelompok yang dimenangkan) :<br />
<br />
"Artinya : Apa yang aku ada atasnya sekarang dan para sahabatku" [Telah lalu Takhrijnya]<br />
<br />
Ada yang mengatakan : Tidak diragukan lagi bahwa pemahaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya setelah beliau adalah manhaj yang tidak ada kebatilannya akan tetapi apa dalilnya kalau manhaj salafi adalah pemahaman Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya ?<br />
<br />
Jawaban atas pertanyaan ini ada dari dua sisi :<br />
Sesungguhnya pemahaman-pemahaman yang disebutkan tadi adanya setelah zaman Nabi dan kekhilafahan Rasyidah dan tentunya tidaklah dinisbatkan yang terdahulu kepada yang setelahnya akan tetapi sebaliknya, sehingga jelaslah kelompok yang tidak berjalan dan mengikuti jalan-jalan kesesatan adalah kelompok yang berada pada asalnya.<br />
<br />
Kami tidak menemukan pada kelompok-kelompok sempalan umat Islam yang sesuai dengan para sahabat kecuali Ahlul Sunnah wal Jama'ah dari kalangan pengikut As-Salaf Ash-Shalih Ahlul Hadits.<br />
<br />
Adapun Mu'tazilah bagaimana bisa sesuai dengan para sahabat sedangkan tokoh-tokoh besar mereka mencela tokoh besar sahabat dan merendahkan keadilan mereka serta menuduh mereka sesat seperti Al-Washil bin Atho' yang menyatakan : Seandainya Ali, Tholhah dan Az-Zubair bersaksi maka saya tidak menghukum karena persaksian mereka.[Lihat Al-Farqu Bainal Firaq hal.119-120]<br />
<br />
Adapun Khawarij telah keluar dari agama dan menyempal dari jama'ah kaum muslimin karena diantara pokok-pokok dasar ajaran mereka adalah mengkafirkan Ali dan anaknya, Ibnul Abbas, Utsman, Thalhah, Aisyah dan Mu'awiyah dan tidaklah berada diatas sifat-sifat para sahabat orang yang melecehkan dan mengkafirkan mereka.<br />
<br />
Adapun Shufiyah, mereka meremehkan warisan para Nabi dan merendahkan para penyampai Al-Kitab dan As-Sunnah serta mensifatkan mereka sebagai para mayit. Seorang tokoh besar mereka berkata : Kalian mengambil ilmu kalian, dari mayit sedangkan kami mengambil ilmu kami dari yang maha hidup yang tidak mati (Allah) langsung. Oleh karena itu mereka mengatakan -dengan mulut-mulut mereka untuk menolak sanad hadits- : Telah mengkhabarkan kepada saya hati saya dari Rabb.<br />
<br />
Adapun Syi'ah, mereka telah meyakini bahwa para sahabat telah murtad setelah kematian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali beberapa orang saja, lihatlah Al-Kisyiy -salah seorang imam mereka- meriwayatkan satu riwayat dalam kitab Rijalnya hal. 12,13 dari Abu Ja'far, bahwa dia telah menyatakan : Semua orang murtad setelah kematian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali tiga, saya berkata : Siapakah ketiga orang tersebut ? Beliau jawab : Al-Miqdaad bin Al-Aswaad, Abu Dzar Al-Ghifary dan Salman Al-Farisiy.<br />
<br />
Dan meriwayatkan dalam hal.13 dari Abu Ja'far, dia berkata : Kaum Muhajirin dan Anshor telah keluar (dari agama) kecuali tiga. [Lihat Al-Kaafiy karya Al-Kulaniy, hal.115]<br />
<br />
Lihat juga Khumaini -tokoh besar mereka di zaman ini- mencela dan melaknat Abu Bakar dan Umar dalam kitabnya Kasyful Asroor hal, 131, dia menyatakan : Sesungguhnya syaikhani (Abu Bakar dan Umar) ... dan dari sini kita dapati diri kita terpaksa menyampaikan bukti-bukti penyimpangan mereka berdua yang sangat jelas terhadap Al-Qur'an dalam rangka membuktikan bahwa kedua telah menyelisihinya.<br />
<br />
Dan berkata lagi hal 137 : ... dan Nabi menutup matanya (wafat) sedangkan kedua telinga beliau ada ucapan-ucapan Ibnul Khaththab yang tegak diatas kedustaan dan bersumber dari amalan kekufuran, kezindikan dan penyelisihan terhadap ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur'an yang mulia.<br />
<br />
Adapun Murji'ah, mereka berkeyakinan bahwa iman orang-orang munafiq yang berada dalam kenifakan sama seperti imannya Assabiqunal Awalun (orang-orang pertama yang masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar.<br />
<br />
Bagaimana mereka semua ini bersesuaian dengan para sahabat sedangkan mereka :<br />
<br />
Mengkafirkan orang-orang pilihan dari kalangan mereka<br />
Tidak menerima sedikitpun yang mereka riwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam aqidah dan hukum syari'at.<br />
Mengikuti peradaban Rumawi dan filsafat Yunani<br />
<br />
Kesimpulannya<br />
Kelompok-kelompok ini semua ingin menolak para saksi kita terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah dan mencela mereka sedangkan mereka lebih pantas dicela dan mereka ini adalah kaum zindiq.<br />
<br />
Dengan demikian jelaslah bahwa pemahaman salaf adalah manhaj Al-Firqatun Najiyah dan Ath-Thaifah Al-Manshurah dalam konsep pemahaman, penerimaan dan Istidlal (pengambilan hukum).<br />
<br />
Sedangkan orang-orang yang mencontoh para sahabat adalah orang-orang yang beramal dengan riwayat-riwayat (hadits) yang shahih dan otentik dalah hukum syariat, dengan jalan dan pemahaman sahabat, dan ini merupakan jalan hidupnya Ahlul Hadits, bukan jalannya ahlul bid'ah dan hawa. Sehingga benar dan kuatlah apa yang telah kami paparkan ketika kami jelaskan wujud keberhasilan mereka dalam berhukum kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan keberhasilan orang yang mengambil sunnah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnahnya para Khulafaur Rasyidin setelah beliau.<br />
<br />
[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]<br />
_______<br />
Footnote.<br />
[1]. Tertulis dalam banyak buku hadits ini degan lafadz : "Sebaik-baiknya generasi". Saya mengatakan bahwa lafadz-lafadz ini lemah dan yang benar apa yang telah saya tulis ini.<br />
[2]. Dikeluarkan oleh Ahmad I/379, Ath-Thoyalisiiy dalam musnadnya hal.23 dan Al-Khotib Al-Baghdadiy dalam Al-faqih wal Mutafaqqih I/166 secara mauquf dengan sanad yang hasan. Kata-kata terakhir dari atsar ini telah masyhur sebagai hadits marfu' dan itu tidak benar sebagaimana telah dijelaskan para imam dan itu hanyalah dari perkataan Ibnu Mas'ud, sebagaimana telah saya jelaskan dalam kitab Al-Bid'ah wa Atsaruha fil Umat, hal.21-22 silahkan dilihat.<br />
[3]. Ini adalah nash yang cukup tegas dari Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib menghancurkan kebatilan syiah rafidhah yang menisbatkan diri mereka kepada keluarga Nabi (ahlil bait) secara dzolim dan menipu ketika mengaku-ngaku bahwa ahlil bait memiliki kitab yang berukuran tiga lipat dari Al-Qur'an yang berada di tangan kita yang mereka namakan Mushaf Fatimah. Lihat Bughyatul Murtaab karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal.321-322<br />
[4]. Hadits Riwayat Al-Bukhariy 7/21 - Al-Fath dan Muslim 16/92-93 - An-Nawawiy dari hadits Abi Said Al-Khudriy. Dan disebutkan dalam Shahih Muslim (16/92 - An-Nawawiy) dari hadits Abi Hurairah dan ini satu kesalahan sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Hafidz Al-Baihaaqiy dalam Al-Madkhol Ila Sunnah hal. 113 dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bariy 7/135, untuk lebih jelasnya lihat kitab : Juz Muhammad bin Ashim An-Syuyukhihi yang saya tahqiq (13)Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-64132531360819471052012-03-07T04:34:00.000-08:002012-03-07T04:34:55.311-08:00SAHABAT DAN TABIIN BERHUJJAH (BERARGUMENTASI) DENGAN FAHAM SALAF DAN MANHAJ MEREKA[1]. Abdullah bin Mas'ud<br />
Dari Amru bin Salamah beliau berkata : Kami duduk-duduk di depan rumah Abdullah bin Mas'ud sebelum Dzuhur lalu jika beliau keluar kami akan berjalan bersamanya ke masjid, lalu datanglah Abu Musa Al-Atsary dan berkata : "Apakah Abu Abdurrahman telah menemui kalian ?"<br />
<br />
Kami jawab : Belum.<br />
Lalu beliau duduk bersama kami sampai Abdullah bin Mas'ud keluar, ketika beliau keluar kami semua menemuinya kemudian berkata Abu Musa kepadanya : "Wahai Abu Abdurrahman saya telah melihat di masjid tadi satu hal yang saya anggap mungkar dan saya tidak memandangnya -Alhamudlillah-kecuali kebaikan.<br />
<br />
Beliau bertanya : "Apa itu ?"<br />
<br />
Dijawab : "Jika engkau hidup niscaya akan melihatnya, aku telah melihat di masjid suatu kaum berhalaqah, duduk-duduk menanti shalat pada setiap halaqah ada seorang yang memimpin dan ditangan-tangan mereka ada batu kerikil, lalu berkata (yang memimpin) : "Bertakbirlah seratus kali dan mereka bertakbir seratus kali dan berkata " "bertasbihlah seratus kali dan mereka bertasbih seratus kali".<br />
<br />
Berkata Abdullah bin Mas'ud : "Apa yang engkau katakan kepada mereka"<br />
Abu Musa menjawab : "Saya tidak mengatakan sesuatupun pada mereka menunggu perintahmu.<br />
<br />
Berkata Abdullah bin Mas'ud : "Mengapa tidak kamu perintahkan mereka untuk menghitung kejelekan mereka[1] dan aku menjamin mereka tidak ada kebaikan mereka yang disia-siakan".<br />
<br />
Kemudian beliau berjalan dan kami berjalan bersamanya sampai beliau mendatangi satu halaqah dari pada halaqah-halaqah tersebut dan menghadap mereka lalu berkata : "Apa ini yang kalian lakukan ?!"<br />
<br />
Mereka menjawab : "Wahai Abu Abdirrahman, batu kerikil yang kami pakai untuk menghitung tahlil dan tasbih".<br />
<br />
Berkata Ibnu Mas'ud : "Dan aku menjamin tidak akan ada satupun kebaikan kalian yang tersia-siakan, celakalah kalian wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian, mereka sahabat-sahabat nabi masih banyak hidup dan ini pakaiannya belum rusak dan bejananya belum hancur dan demi dzat yang jiwaku di tangannya sesungguhnya kalian berada di atas agama yang lebih baik dari agama Muhammad atau kalian pembuka pintu kesesatan".<br />
<br />
Mereka berkata : "Demi Allah wahai Abu Abdurrahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan, lalu beliau berkata : "Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tidak mendapatkannya: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya ada kaum yang membaca Al-Qur'an tidak melebihi tenggorokkannya [2] dan demi Allah saya rasa tampaknya kebanyakan mereka adalah dari kalian.<br />
<br />
Kemudian beliau meninggalkan mereka. Amru bin Salamah berkata : "Aku telah melihat mayoritas halaqah-halaqah tersebut memerangi kami pada perang Nahrawan bersama Khawarij" [3]<br />
<br />
Disini Abdullah bin Mas'ud telah beragumentasi kepada cikal bakal Khawarij dengan keberadaaan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diantara mereka dan mereka tidak melaksanakan pekerjaan tersebut, sebab seandainya hal itu merupakan kebaikan sebagaimana yang mereka sangka tentu sahabat-sahabat nabi telah mendahului mereka untuk melakukannya, maka itu merupakan kesesatan. Maka seandainya manhaj sahabat bukanlah hujjah atas orang setelah mereka maka tentu mereka berkata kepada Abdullah bin Mas'ud : "Kalian rijal dan kami rijal".<br />
<br />
[2]. Beliaupun berkata :<br />
Barangsiapa yang mencontoh maka contohlah sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena mereka adalah orang-orang dari umat ini yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling tidak macam-macam, paling baik contoh teladannya dan paling bagus keadaannya, mereka adalah suatu kaum yang dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menemani NabiNya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan untuk menegakkan agamaNya, maka akuilah keutamaan mereka dan ikutilah jejak langkah mereka karena mereka telah berada diatas petunjuk yang lurus.<br />
<br />
[3]. Abdullah bin Abbas.<br />
Ketika muncul kelompok Haruriyah (Khawarij) [4] mereka memisahkan diri di suatu perkampungan, mereka berjumlah 6000 orang dan bersepakat untuk menyempal (memberontak) dari Ali Radhiyallahu anhu. Orang-orang selalu mendatangi Ali Radhiyallahu 'anhu dan berkata : Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya kaum tersebut akan memberontak kepadamu. Lalu beliau menjawab : Biarkan mereka karena saya tidak akan memerangi mereka sampai mereka memerangi saya dan mereka akan melakukannya. [5]<br />
<br />
Pada suatu hari saya (Ibnu Abbas) mendatanginya sebelum shalat dzuhur dan aku berkata kepada Ali Radhiyallahu 'anhu : Wahai Amirul Mukminin akhirkan shalat agar saya dapat mengajak bicara mereka. Beliau berkata : Saya mengkhawatirkan mereka mencelakai kamu. Saya menjawab : Tidak akan, karena saya seorang yang berakhlak baik dan tidak pernah menyakiti seorangpun.<br />
<br />
Lalu beliau mengizinkan saya, maka saya mengenakan pakaian yang paling bagus dari pakaian Yaman dan menyisir rambut saya kemudian aku menemui mereka di perkampungan mereka di tengah hari sedang mereka sedang makan, lalu saya menemui satu kaum yang saya tidak pernah menemukan kaum yang lebih bersungguh-sungguh (dalam ibadah) dari mereka, dahi-dahi mereka hhitam dari sujud, tangan-tangan mereka kasar seperti kasarnya unta dan mereka mengenakan gamis-gamis yang murah dan tersingkap serta wajah-wajah mereka pucat menguning.<br />
<br />
Lalu saya memberi salam kepada mereka dan mereka menjawab : Selamat datang wahai Ibnu Abbas pakaian apa yang engkau pakai ini ?!<br />
<br />
Saya menjawab : Apa yang kalian cela dariku ? Sunnguh saya telah melihat Rasululla Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat bagus sekali ketika mengenakan pakaian Yaman, kemudian membacakan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br />
<br />
"Artinya : Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkanNya untuk hamba-hambanNya dan (siapa pulakah yang menharamkan) rezki yang baik" [Al-A'raaf : 32]<br />
<br />
Lalu mereka berkata : Apa maksud kedatangan engkau ?<br />
<br />
Saya katakan pada mereka : Saya mendatangi kalian sebagai utusan para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Muhajirin dan Anshar dan dari sepupu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menantunya sedangkan Al-Qur'an turun pada mereka sehingga mereka lebih mengetahui terhadap ta'wilnya dari kalian dan tidak ada di kalangan kalian seorangpun dari mereka ; sungguh saya akan menyampaikan kepada kalian apa yang mereka sampaikan dan saya akan sampaikan kepada mereka apa yang kalian sampaikan.<br />
<br />
Lalu berkata sekelompok dari mereka : Janganlah kalian berdebat dengan orang Quraisy karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :<br />
<br />
"Artinya : Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar" [Az-Zukhruf : 58]<br />
<br />
Kemudian bangkit kepadaku sebagian dari mereka dan berkata dua atau tiga orang : Sungguh kami akan mengajak bicara dia. Saya berkata : Silahkan, apa dendam kalian terhadap para sahabat Rasulullah dan sepupunya ? mereka menjawab : Tiga.<br />
<br />
Saya katakan : Apa itu ?<br />
<br />
Mereka mengatakan : Yang pertama karena dia berhukum kepada orang dalam perkara Allah Subhanahu wa Ta'ala sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.<br />
<br />
"Artinya : Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah..." [Al-An'am : 57]<br />
<br />
Saya katakan : Ini satu.<br />
<br />
Mereka berkata lagi : Yang kedua karena dia berperang dan tidak menawan dan merampas harta (yang diperangi), kalau mereka kaum kafir maka halal menawannya dan kalau mereka kaum mu'minin maka tidak boleh menawan mereka dan tidak pula memerangi mereka [6]<br />
<br />
Saya katakan : Ini yang kedua dan apa yang ketiga ?<br />
<br />
Mereka berkata : Dia menghapus gelar Amirul Mu'minin dari dirinya, maka jika dia bukan Amirul Mu'minin, dia Amirul Kafirin.<br />
<br />
Saya katakan : Apakah masih ada pada kalian selain ini ?<br />
<br />
Mereka menjawab : Ini sudah cukup<br />
<br />
Saya katakan kepada mereka : Bagaimana pendapat kalian kalau saya bacakan kepada kalian bantahan atas pendapat kalian dari Kitabullah dan Sunnah NabiNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, apakah kalian mau kembali ?<br />
<br />
Mereka menjawab : Ya.<br />
<br />
Saya katakan : Adapun pendapat kalian bahwa dia (Ali) berhukum kepada orang (manusia) dalam perkara Allah maka saya bacakan kepada kalian ayat dalam kitabullah dimana Allah menjadikan hukumnya kepada manusia dalam menentukan harga 1/4 dirham, lalu Allah memerintahkan mereka untuk berhukum kepadanya. Apa pendapatmu tentang firman Allah :<br />
<br />
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu" [Al-Maa'idah : 95]<br />
<br />
Dan hukum Allah diserahkan kepada orang (manusia) yang menghukum dalam perkara tersebut, dan kalau Allah kehendaki maka dia menghukumnya sendiri, kalau begitu tidak mengapa seseorang berhukum kepada manusia, demi Allah Subhanahu wa Ta'ala apakah berhukum kepada manusia dalam masalah perdamaian dan pencegahan pertumpahan darah lebih utama ataukah dalam perkara kelinci ? mereka menjawab : Tentu hal itu lebih utama. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang seorang wanita dan suaminya.<br />
<br />
"Artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan" [An-Nisaa' : 35]<br />
<br />
Demi Allah Subhanahu wa Ta'ala apakah berhukum kepada manusia dalam perdamaian dan mencegah pertumpahan darah lebih utama dari berhukum kepada manusia dalam permasalahan wanita ?! Apakah saya telah menjawab hal itu ?<br />
<br />
Mereka berkata : Ya<br />
<br />
Saya katakan : Pendapat kalian : "Dia berperang akan tetapi tidak menawan dan merampas harta perang". Apakah kalian ingin menawan ibu kalian Aisyah yang kalian menghalalkannya seperti kalian menghalalkan selainnya, sedangkan beliau adalah ibu kalian ? Jika kalian menjawab : Kami menghalalkannya seperti kami menghalalkan selainnya maka kalian telah kafir dan jika kalian menjawab : Dia bukan ibu kami maka kalian telah kafir, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.<br />
<br />
"Artinya :Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka" [Al-Ahzab : 6]<br />
<br />
Maka kalian berada di dua kesesatan, silakan beri jalan keluar ; Apakah saya telah menjawabnya ?<br />
<br />
Mereka berkata : Ya.<br />
<br />
Sedangkan masalah dia (Ali Radhiyallahu 'ahu) telah menghapus gelar Amirul Mukminin dari dirinya, maka saya akan datangkan kepada kalian apa yang membuat kalian ridha, yaitu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari perjanjanjian Hudaibiyah berdamai dengan kaum musyrikin, lalu berkata kepada Ali : Hapuslah wahai Ali (tulisan) Allahumma Inaaka Ta'alam Ani Rasulullah (wahai Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah) dan tulislah (kalimat) Hadza ma Shalaha Alaihi Muhammad bin Abdillah (ini adalah perjanjian yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdillah)[7] Demi Allah Subhanahu wa Ta'ala sungguh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih baik dari Ali dan beliau menghapus (gelar kerasulannya) dari dirinya dan tidaklah penghapusan tersebut berarti penghapusan kenabian dari dirinya. Apakah aku telah menjawbnya ?<br />
<br />
Mereka berkata : Ya<br />
<br />
Kemudian kembalilah dari mereka dua ribu orang dan sisanya memberontak dan berperang diatas kesesatan mereka lalu mereka diperangi oleh kaum Muhajirin dan Anshar.[8]<br />
<br />
Disini Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu berargumentasi (berhujjah) dengan manhaj sahabat dalam menghadapi kaum Khawarij, karena Al-Qur'an turun kepada mereka, maka mereka adalah orang yang paling mengetahui tafsirnya dan mereka menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga menjadi orang yang paling mengikuti jalan beliau. Jawaban Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu terhadap syubhat-syubhat Khawarij dan penjelasan beliau sisi kebenaran dari kebathilan adalah dalil ilmiyah atas do'a yang telah saya kemukakan dari pengambilan hujjah (argumentasi) dengan manhaj sahabat.<br />
<br />
[4]. Al-Uzaa'iy Rahimahullah berkata : Sabarkan (tetapkan) dirimu diatas Sunnah, berhentilah dimana kaum (para sahabat) berhenti, katakanlah apa yang mereka katakan dan diamlah terhadap yang telah mereka diamkan serta berjalanlah di jala As-Salaf Ash-Shalih, karena mereka mencukupkan kamu apa yang telah mencukupkan mereka. [9]<br />
<br />
<br />
[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]<br />
__________<br />
Foote Note.<br />
[1]. Agar mereka meminta ampunan darinya, karena barangsiapa yang menghitung kejelekannya maka akan mendorongnya untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala<br />
[2]. Hadits ini memiliki jalan lain dari Abdillah bin Mas'ud dikeluarkan oleh Ahmad 1/404 dengan sanad yang baik. Dan demikian juga diriwayatkan dari sejumlah sahabat.<br />
[3]. Lihat Takhrij dan fiqih perdebatan ini dalam kitab saya " Al-Bid'ah wa Atsaruha Asayi' fi Al-Ummah hal, 29-33, cetakan ketiga.<br />
[4]. Nisbat kepada Harura' yaitu sebuah desa berjarak dua mil dari Kuffah, dia menjadi tempat pertama berkumpulnya kaum Khawarij yang menyelisihi Ali bin Abi Thalib, lalu dinisbatkan kepadanya. Lihat Mu'jam Al-Buldan 3/345 dan Allubaab fi Tahdzibil Ansaab 1/359<br />
[5]. Sebagai pembenaran terhadap khabar Rasulullah tentang mereka.<br />
[6]. Demikianlah hukum terhadap kelompok pembangkan : wanita-wanita mereka tidak ditawan dan tidak dibagi-bagikan fa'inya, tidak dibunuh orang-orang yang luka dari mereka dan tidak dikejar orang-orang yang lari serta tidak dimulai memeranginya sebelum mereka melakukannya.<br />
[7]. Dan hadits ini memiliki syahid dan hadits Bara' bin Aaziib dikeluarkan oleh Bukhariy 5/303-304 (fath) dan Muslim 12/134-138 (Nawawiy) dan syahid dari hadits Anas dikeluarkan oleh Muslim 12/138-139 (Nawawiy).<br />
[8]. Shahih, lihat takhrijnya dalam kitab : Munaadzaraatussalaf Ma'a Hizbi Iblis wa Afrokhil Kholaf, hal.95 penerbit Dar Ibnil Jauziy, Damam<br />
[9]. Al-Aajuriy dalam Asy-yariat, hal 58Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-90468588828943998702012-03-07T00:31:00.002-08:002012-03-07T00:31:50.890-08:00AHLUS SUNNAH MELARANG MEMAKAI JIMATKata tamaa-im adalah bentuk jamak dari tamimah, yaitu sesuatu jimat yang dikalungkan di leher atau bagian dari tubuh seseorang yang bertujuan mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, baik kandungan jimat itu adalah Al-Qur-an, atau benang atau kulit atau kerikil dan semacamnya. Orang-orang Arab biasa menggunakan jimat bagi anak-anak mereka sebagai perlindungan dari sihir atau guna-guna dan semacamnya.<br />
<br />
Jimat terbagi menjadi dua macam:<br />
Pertama: Yang tidak bersumber dari Al-Qur-an. Inilah yang dilarang oleh syari’at Islam. Jika ia percaya bahwa jimat itu adalah subjek atau faktor yang berpengaruh, maka ia dinyatakan musyrik dengan tingkat syirik besar. Tetapi jika ia percaya bahwa jimat hanya menyertai datangnya manfaat atau mudharat, maka ia dinyatakan telah melakukan syirik kecil. Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Shahiihul Bukhari dari Sahabat Abu Basyir al-Anshari bahwa beliau pernah bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam satu perjalanan, lalu ia berkata:<br />
<br />
فَأَرْسَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُوْلاً: لاَ تَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيْرٍ قِلاَدَةٌ مِنْ وَتَرٍ -أَوْ قِلاَدَةٌ- إِلاَّ قُطِعَتْ.<br />
<br />
“Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus seseorang, kemudian beliau bersabda: ‘Jangan sisakan satu kalung pun yang digantung di leher unta melainkan kalungnya harus dipotong.’” [1]<br />
<br />
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ.<br />
<br />
‘Sesungguhnya jampi, jimat dan tiwalah adalah syirik.’” [2]<br />
<br />
Tiwalah adalah sesuatu yang digunakan oleh wanita untuk merebut cinta suaminya (pelet) dan ini dianggap sebagai sihir.<br />
<br />
Jimat diharamkan oleh syari’at Islam karena ia mengandung makna keterkaitan hati dan tawakkal kepada selain Allah, dan membuka pintu bagi masuknya keperacayaan-kepercayaan yang rusak tentang berbagai hal yang ada pada akhirnya menghantarkan kepada syirik besar.<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
مَنْ عَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ.<br />
<br />
“Barangsiapa menggantungkan jimat, maka ia telah melakukan syirik.”[3]<br />
<br />
Kedua: Yang bersumber dari Al-Qur-an. Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat, yaitu ada sebagian yang membolehkan dan ada yang mengharamkannya. Pendapat yang kuat adalah pendapat yang kedua, yaitu yang mengharamkannya. Karena dalil yang mengharamkan jimat menyatakannya sebagai perbuatan syirik dan tidak membedakan apakah jimat berasal dari Al-Qur-an atau bukan dari Al-Qur-an. Dengan membolehkan jimat dari ayat Al-Qur-an, sebenarnya kita telah membuka peluang menyebarnya jimat dari jenis pertama yang jelas-jelas haram. Maka, sarana yang dapat mengantar kepada perbuatan haram mempunyai hukum haram yang sama dengan perbuatan haram itu sendiri. Ia juga menyebabkan tergantungnya hati kepadanya, sehingga pelaku-nya akan ditinggalkan oleh Allah dan diserahkan kepada jimat tersebut untuk menyelesaikan masalahnya. Selain itu, pemakaian jimat dari Al-Qur-an juga mengandung unsur penghinaan terhadap Al-Qur-an, khususnya di waktu tidur dan ketika sedang buang hajat atau sedang berkeringat dan semacamnya. Hal semacam itu tentu saja bertentangan dengan kesucian dan kesakralan Al-Qur-an. Selain itu juga, jimat ini dapat pula dimanfaatkan oleh para pembuatnya untuk menyebarkan kemusyrikan dengan alasan jimat yang dibuatnya dari Al-Qur-an.[4]<br />
<br />
Ibrahim an-Nakha’i (wafat th. 96 H) rahimahullah berkata: “Mereka membenci jimat, baik yang berasal dari Al-Qur-an maupun yang bukan dari Al-Qur-an.” Maksudnya, itu ijma’ ulama Salaf dalam mengharamkan jimat secara keseluruhan. [5]<br />
<br />
Sa’id bin Jubair (wafat th. 95 H) rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang memotong sebuah jimat dari seseorang, maka pahalanya sama dengan memerdekakan seorang budak.” Perkataan seperti ini tentu saja tidak akan diucapkan tanpa dasar wahyu yang jelas. Sehingga ucapan ini dapat dianggap sebagai hadits mursal, atau hadits yang diriwayatkan oleh seorang Tabi’in dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa menyebutkan nama Sahabat, dan ia termasuk seorang pembesar Tabi’in. Maka, hadits mursal semacam ini menjadi hujjah bagi yang menjadikannya sebagai dalil.[6]<br />
<br />
Wallaahu a’lam bish shawaab.<br />
<br />
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]<br />
_______<br />
Footnote<br />
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 3005) dan Muslim (no. 2115), dari Sabahat Abu Basyir al-Anshari.<br />
[2]. HR. Abu Dawud (no. 3883), Ibnu Majah (no. 3530), Ahmad (I/381) dan al-Hakim (IV/417-418), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud . Hadits ini shahih, lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 331 dan 2972).<br />
[3]. HR. Ahmad (IV/156), al-Hakim (IV/417), dari Sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhani . Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 492).<br />
[4]. Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah (hal. 151).<br />
[5]. Fathul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid (hal. 153).<br />
[6]. Lihat Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid (bab VII: Maa Jaa-a fir Ruqaa wat Tamaa-im, hal. 145-154) dan al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah (hal. 150-151).Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-33342653978707780972012-03-07T00:30:00.003-08:002012-03-07T00:30:19.560-08:00HUKUM THIYARAH (TATHAYYUR, MENGANGGAP SIAL KARENA SESUATU)[1]<br />
<br />
Oleh<br />
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qodir Jawas<br />
<br />
<br />
Ahlus Sunnah tidak percaya kepada thiyarah atau tathayyur. Tathayyur atau thiyarah yaitu merasa bernasib sial karena sesuatu[2]. Diambil dari kalimat: زَجَرَ الطَّيْرَ (menerbangkan burung).<br />
<br />
Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H) rahimahullah berkata: “Dahulu, mereka suka menerbangkan atau melepas burung, jika burung itu terbang ke kanan, maka mereka menamakannya dengan ‘saa-ih’, bila burung itu terbang ke kiri, mereka namakan dengan ‘baarih’. Kalau terbangnya ke depan disebut ‘na-thih’, dan manakala ke belakang, maka mereka menyebutnya ‘qa-id’. Sebagian kaum bangsa Arab menganggap sial dengan ‘baarih’ (burungnya terbang ke kiri) dan menganggap mujur dengan ‘saa-ih’ (burungnya terbang ke kanan) dan ada lagi yang berpendapat lain.” [3]<br />
<br />
Tathayyur (merasa sial) tidak terbatas hanya pada terbangnya burung saja, tetapi pada nama-nama, bilangan, angka, orang-orang cacat dan sejenisnya. Semua itu diharamkan dalam syari’at Islam dan dimasukkan dalam kategori perbuatan syirik oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena orang yang bertathayyur menganggap hal-hal tersebut membawa untung dan celaka. Keyakinan seperti ini jelas menyalahi keyakinan terhadap taqdir (ketentuan) Allah Azza wa Jalla.<br />
<br />
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (wafat th. 1421 H) rahimahullah : “Tathayyur adalah menganggap sial atas apa yang dilihat, didengar, atau yang diketahui. Seperti yang dilihat yaitu, melihat sesuatu yang menakutkan. Yang didengar seperti mendengar burung gagak, dan yang diketahui seperti mengetahui tanggal, angka atau bilangan. Tathayyur menafikan (meniadakan) tauhid dari dua segi:<br />
<br />
Pertama, orang yang bertathayyur tidak memiliki rasa tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla dan senantiasa bergantung kepada selain Allah.<br />
<br />
Kedua, ia bergantung kepada sesuatu yang tidak ada hakekatnya dan merupakan sesuatu yang termasuk takhayyul dan keragu-raguan.” [4]<br />
<br />
Ibnul Qayyim rahimahullah kembali menuturkan: “Orang yang bertathayyur itu tersiksa jiwanya, sempit dadanya, tidak pernah tenang, buruk akhlaknya, dan mudah terpengaruh oleh apa yang dilihat dan didengarnya. Mereka menjadi orang yang paling penakut, paling sempit hidupnya dan paling gelisah jiwanya. Banyak memelihara dan menjaga hal-hal yang tidak memberi manfaat dan mudharat kepadanya, tidak sedikit dari mereka yang kehilangan peluang dan kesempatan (untuk berbuat kebajikan-pent.).” [5]<br />
<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَٰذِهِ ۖ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُ ۗ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ<br />
<br />
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: ‘Ini disebabkan (usaha) kami.’ Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” [Al-A’raaf: 131]<br />
<br />
Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat th. 310 H) rahimahullah dalam Tafsiirnya mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menceritakan bahwa apabila pengikut Fir’aun mendapat keselamatan, kesuburan, keuntungan, kemakmuran dan banyak rizqi, serta menemukan kesenangan duniawi, mereka mengatakan: ‘Kami memang lebih pantas mendapatkan semua ini.’ Sebaliknya, manakala tertimpa kejelekan berupa kekeringan, bencana dan musibah, mereka bertathayyur kepada Musa Alaihissallam dan orang-orang yang besertanya, yakni melemparkan penyebabnya kepada Musa dan orang-orangnya. Mereka mengatakan: ‘Sejak kedatangan Musa, kita kehilangan kemakmuran, kesuburan dan tertimpa krisis.’”<br />
<br />
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata: “Allah Azza wa Jalla menyebutkan bahwa keberuntungan, kemakmuran, dan keburukan serta bencana kaum Fir’aun dan yang lainnya tidak lain adalah ketetapan yang baik dan yang buruk semuanya dari Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui sehingga mereka menuduh Musa Alaihissallam dan pengikutnya sebagai penyebabnya.”[6]<br />
<br />
Thiyarah termasuk syirik yang menafikan kesempurnaan tauhid, karena ia berasal dari apa yang disampaikan syaithan berupa godaan dan bisikannya.<br />
<br />
اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.<br />
<br />
“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.” [7]<br />
<br />
Dalam Shahiih Muslim disebutkan, dari Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Di antara kami ada orang-orang yang bertathayyur.” Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Itu adalah sesuatu yang akan kalian temui dalam diri kalian, akan tetapi janganlah engkau jadikan ia sebagai penghalang bagimu.’” [8]<br />
<br />
Dengan ini beliau mengabarkan bahwa rasa sial dan nasib malang yang ditimbulkan dari sikap tathayyur ini hanya pada diri dan keyakinannya, bukan pada sesuatu yang ditathayyurkan. Maka prasangka, rasa takut dan kemusyrikannya itulah yang membuatnya bertathayyur dan menghalangi dirinya untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat, bukan apa yang dilihat dan didengarnya.<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian menerangkan permasalahan tersebut kepada umatnya tentang kesesatan tathayyur supaya mereka mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak memberikan kepada mereka suatu alamat atau tanda atas kesialan, atau menjadikannya sebab bagi apa yang mereka takutkan dan khawatirkan. Supaya hati mereka menjadi tenang dan jiwa mereka menjadi damai di hadapan Allah Yang Mahasuci.<br />
<br />
Telah diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَنْ يَقُوْلَ أَحَدُهُمْ :اَللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ.<br />
<br />
‘Barangsiapa mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” Para Sahabat bertanya: “Lalu apakah tebusannya?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Hendaklah ia mengucapkan: ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiadalah burung itu (yang dijadikan objek tathayyur) melainkan makhluk-Mu dan tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.’” [9]<br />
<br />
Pengharaman thiyarah didasarkan pada beberapa hal:<br />
1. Dalam thiyarah terkandung sikap bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala<br />
<br />
2. Thiyarah melahirkan perasaan takut, tidak aman dari banyak hal dalam diri seseorang, sesuatu yang pada gilirannya menyebabkan kegoncangan jiwa yang dapat mempengaruhi proses kerjanya sebagai khalifah di muka bumi.<br />
<br />
3. Thiyarah membuka jalan penyebaran khurafat dalam masyarakat dengan jalan memberikan kemampuan mendatangkan manfaat dan mudharat atau mempengaruhi jalan hidup manusia kepada berbagai jenis makhluk yang sebenarnya tidak mereka miliki. Pada gilirannya, itu akan mengantar kepada perbuatan syirik besar.<br />
<br />
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]<br />
_______<br />
Footnote<br />
[1]. Fat-hul Majiid (bab 27: Maa Ja-a fit Tathayyur hal. 345-359), Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/273-277), al-Madkhal (hal. 148-150).<br />
[2]. Lihat an-Nihaayah (III/152), Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/273).<br />
[3]. Lihat Miftaah Daaris Sa’aadah (III/268-269) ta’liq dan takhrij Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi, cet. I-Daar Ibnu ‘Affan, th. 1416 H.<br />
[4]. Lihat al-Qaulul Mufiid ‘alaa Kitaabit Tauhiid (I/559-560).<br />
[5]. Miftaah Daaris Sa’aadah (III/273) ta’liq dan takhrij Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.<br />
[6]. Tafsiir Ibni Jarir ath-Thabari (VI/30-31) dengan diringkas.<br />
[7]. HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 909), Abu Dawud (no. 3910), at-Tirmidzi (no. 1614), Ibnu Majah (no. 3538), Ahmad (I/389, 438, 440), Ibnu Hibban (Mawaariduzh Zham’aan no. 1427), at-Ta’liiqatul Hisaan ‘alaa Shahiih Ibni Hibban (no. 6089) dan al-Hakim (I/17-18). Lafazh ini milik Abu Dawud, dari Sahabat Ibnu Mas’ud . Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 429).<br />
[8]. HR. Muslim (no. 537).<br />
[9]. HR. Ahmad (II/220), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir da-lam Tahqiiq Musnad Imam Ahmad (no. 7045). Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1065).<br />
[10]. Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 148-150).Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-10221585275322783282012-03-07T00:28:00.000-08:002012-03-07T00:28:34.954-08:00ILMU NUJUM (ILMU PERBINTAGAN)Munajjim (ahli nujum) juga termasuk dalam kategori peramal menurut apa yang diistilahkan oleh sebagian ulama [2]. Di dalam Shahiihul Bukhari dan Shahiih Muslim, dari hadits Zaid bin Khalid al-Juhani, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengimami kami shalat Shubuh di Hudaibiyyah setelah semalamnya turun hujan. Ketika usai shalat, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berbalik menghadap kepada para Sahabat Radhiyallahu anhum lantas bersabda: ‘Tahukah kalian apa yang difirmankan Rabb-mu?’ Para Sahabat Radhiyallahu anhum menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’ Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: ‘Di kala pagi ini, di antara hamba-hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir.’ Adapun orang yang mengatakan: ‘Telah turun hujan kepada kita berkat karunia dan rahmat Allah’, ia telah beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Sedangkan orang-orang yang berkata: ‘Telah turun hujan kepada kita karena bintang ini atau bintang itu,’ maka ia kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.” [3]<br />
<br />
Imam al-Bukhari (wafat th. 256 H) rahimahullah berkata di dalam kitab Shahiih-nya: Qatadah berkata: “Allah menciptakan bintang-bintang ini untuk tiga hal:<br />
<br />
1. Sebagai penghias langit.<br />
2. Sebagai pelempar syaithan.<br />
3. Sebagai tanda bagi orang untuk mengenal arah.<br />
<br />
Maka, barangsiapa menafsirkan selain dari itu, ia telah salah dan menyia-nyiakan bagiannya dan memaksakan diri dalam se-suatu yang ia tidak mengetahuinya.” [4]<br />
<br />
Ilmu Nujum ada dua macam: [5]<br />
Pertama: ‘Ilmu at-Ta’tsiir, yaitu ilmu nujum yang meyakini bahwa bintang-bintang mempunyai pengaruh terhadap keadaan alam semesta. Ilmu ini termasuk syirik dan bukan ilmu yang ber-manfaat. Penjelasan yang lainnya tentang definisi ilmu at-Ta’tsiir yaitu menjadikan keadaan bintang, planet dan benda angkasa lainnya sebagai dasar penentuan berbagai peristiwa di bumi, baik sebagai sesuatu yang berpengaruh mutlak maupun hanya sebagai isyarat yang menyertai peristiwa-peristiwa bumi. Jika dia percaya bahwa keadaan itu adalah faktor yang berpengaruh mutlak atas peristiwa-peristiwa bumi -dengan tidak membedakan, baik karena kekuatan internalnya maupun karena izin Allah- maka ia dinyatakan musyrik dengan tingkatan syirik besar dan telah keluar dari Islam. Tetapi jika ia percaya bahwa keadaan itu hanya merupakan isyarat yang menyertai peristiwa-peristiwa bumi, maka ia dinyatakan sebagai musyrik dengan tingkatan syirik kecil yang bertentangan dengan kesempurnaan tauhid. Perbintangan tidak berpengaruh terhadap peristiwa-peristiwa yang ada di bumi. Anggapan tentang perbintangan berpengaruh terhadap peristiwa-peristiwa di bumi adalah termasuk berkata sesuatu atas Nama Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa ilmu.<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
مَنِ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنَ النُّجُوْمِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ.<br />
<br />
“Barangsiapa mempelajari satu cabang dari ilmu nujum, maka sesungguhnya ia telah mengambil satu bagian dari ilmu sihir, semakin bertambah (ilmu yang dia pelajari ), semakin ber-tambah pula (dosanya).” [6]<br />
<br />
Kedua: ‘Ilmu at-Tas-yiir, yaitu ilmu nujum yang tujuannya untuk memudahkan arah tujuan dalam perjalanan dan kemaslahatan agama. Penjelasan yang lainnya tentang definisi ilmu at-Tas-yiir yaitu menjadikan keadaan bintang dan benda angkasa sebagai petunjuk penentuan arah mata angin dan letak geografis suatu negara dan semacamnya. Jenis ini dibolehkan dalam Islam. Dari sinilah munculnya Hisab Takwim (penanggalan), pengetahuan tentang akhir musim dingin dan panas, waktu-waktu pembuahan (tumbuhan dan hewan), kondisi cuaca, hujan, penyebaran wabah penyakit dan semacamnya. [7] [*]<br />
<br />
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]<br />
_______<br />
Footnote<br />
[1]. Ilmu nujum ini termasuk sesuatu yang dapat menafikan Tauhid dan menjerumus-kan pelakunya kepada kemusyrikan, karena orang itu menyandarkan suatu kejadian kepada selain Allah.<br />
[2]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Tanjim adalah meramal kejadian-kejadian di bumi berdasarkan petunjuk keadaan bintang.” Lihat Majmuu’ Fataawaa (XXXV/192) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid (bab XXVII: Maa Jaa-a fit Tanjiim).<br />
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 846, 1038, 4147) dan Muslim (no. 71).<br />
[4]. HR. Al-Bukhari dalam Fat-hul Baari (VI/295). Diriwayatkan juga oleh ‘Abdur-razzaq, ‘Abd bin Humaid, Ibnu Jarir dan Ibnu Mundzir serta yang lainnya. Lihat Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid (Bab 28: Ma Jaa fit Tanjim, hal. 361-362), tahqiq Dr. Al-Walid bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Furraiyan.<br />
[5]. Lihat keterangan lebih lengkap dalam Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 21-22) oleh Ibnu Rajab al-Hanbaly, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halaby, al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 146-147), dan al-Qaulul Mufiid ‘ala Kitaabit Tauhiid (II/5) oleh Syaikh Muham-mad bin Shalih al-‘Utsaimin.<br />
[6]. HR. Abu Dawud (no. 3905), Ibnu Majah (no. 3726), Ahmad (I/227, 311), al-Baihaqi (VIII/138-139) dari Sahabat Ibnu ‘Abbas c. Hadits ini dishahihkan oleh Imam an-Nawawi dalam Riyaadhus Shaalihiin (no. 1671) dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmuu’ Fataawaa (XXXV/193).<br />
[7]. Lihat al-Qaulul Mufiid ‘alaa Kitaabit Tauhiid (II/5-7) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dan al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 146-147).<br />
[*]. Dan yang terakhir ini dilandaskan kepada analisis ilmiah Badan Meteorologi dan Geofisika melalui pengamatan langsung dengan peralatan modern terhadap gejala-gejala alam seperti pertukaran panas, dingin, angin, hujan dan sebagainya. Bukan dengan fenomena bintang, sehingga diperbolehkan.-edAbdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-21245042577143683442012-03-07T00:27:00.000-08:002012-03-07T00:27:06.067-08:00AHLUS SUNNAH MELARANG NUSYRAH (MENGOBATI SIHIR DENGAN SIHIR)Dalam Islam dilarang mengobati sihir dengan sihir atau dengan mendatangi dukun, karena dukun hanyalah mengusir syaithan sihir dengan syaithan sihir yang lain. Maka, ibarat mengusir maling dengan meminta bantuan perampok atau penjarah.<br />
<br />
Ibnul Jauzi (wafat th. 597 H) rahimahullah berkata: “Nusyrah adalah membuka sihir dari orang yang terkena sihir, dan hampir tidak ada orang yang mampu melakukannya kecuali oleh orang yang mengetahui sihir.” [1]<br />
<br />
Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang nusyrah, maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:<br />
<br />
هُوَ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ.<br />
<br />
‘Nusyrah itu termasuk perbuatan syaithan.’” [2]<br />
<br />
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat th. 751 H) rahimahullah menjelaskan: “Nusyrah adalah penyembuhan terhadap seseorang yang terkena sihir. Caranya ada dua macam:<br />
<br />
Pertama: Dengan menggunakan sihir pula, dan inilah yang termasuk perbuatan syaithan.<br />
<br />
Kedua: Penyembuhan dengan menggunakan ruqyah, ayat-ayat ta’awwudz (perlindungan), obat-obatan, dan do’a-do’a yang diperkenankan. Cara ini hukumnya jaiz (boleh).” [3]<br />
<br />
Para ulama telah sepakat untuk membolehkan ruqyah dengan tiga syarat, yaitu:<br />
1. Ruqyah itu dengan menggunakan firman Allah Azza wa jalla atau Asma’ dan Sifat-Nya atau sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
2. Ruqyah itu harus diucapkan dalam bahasa Arab, diucapkan dengan makna yang jelas dan dapat difahami maknanya.<br />
3. Harus diyakini bahwa bukanlah zat ruqyah itu sendiri yang memberikan pengaruh, tetapi yang memberikan pengaruh itu adalah kekuasaan Allah Azza wa Jalla, sedangkan ruqyah hanya merupakan salah satu sebab saja. [4]<br />
<br />
Apabila seseorang terkena sihir, santet, guna-guna, kesurupan jin dan lainnya, maka hendaklah ia berikhtiyar sesuai dengan syari’at dan mencari obatnya dengan usaha yang maksimal. Dalam usaha seorang hamba untuk mengobati penyakit yang diderita, haruslah memperhatikan dua hal:<br />
<br />
Pertama, bahwa obat dan dokter hanya sarana kesembuhan sedangkan yang benar-benar menyembuhkan adalah Allah Azza wa Jalla.<br />
<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, mengisahkan Nabi Ibrahim Alaihissallam:<br />
<br />
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ<br />
<br />
“Dan apabila aku sakit, Dia-lah yang menyembuhkanku.” [Asy-Syu’araa’: 80]<br />
<br />
Kedua, ikhtiyar tersebut tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang haram dan syirik. Di antara yang haram ini seperti berobat dengan menggunakan obat yang terlarang atau barang-barang yang haram, karena Allah tidak mengijinkan penyembuhan dari barang yang haram.<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ، فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ.<br />
<br />
“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan janganlah berobat dengan yang haram.” [5]<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:<br />
<br />
إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيْمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ.<br />
<br />
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan penyakit kalian pada apa-apa yang diharamkan atas kalian.” [6]<br />
<br />
Langkah yang ditempuh oleh orang yang terkena sihir, guna-guna, santet dan lainnya hendaklah ia berobat dengan pengobatan syar’i dengan cara memakan 7 butir kurma ‘Ajwah (kurma Nabi j) setiap pagi, minum habbatus sauda’ (jintan hitam), dibekam, dan diruqyah (dibacakan ayat-ayat Al-Qur-an dan do’a-do’a dari Sunnah Rasulullah (yang shahih), insya Allah, akan sembuh dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala. [7]<br />
<br />
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]<br />
_______<br />
Footnote<br />
[1]. Lihat Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid (hal. 341) tahqiq Dr. al-Walid bin ‘Abdurrahman bin Muhammad al-Furaiyan.<br />
[2]. HR. Ahmad (III/294), Abu Dawud (no. 3868), al-Baihaqy (IX/351), al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Sanadnya hasan.” Lihat Fat-hul Baari (X/233), disha-hihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Misykaatul Mashaabiih (no. 4553).<br />
[3]. Lihat Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid (hal. 343).<br />
[4]. Lihat Fat-hul Baari (X/195), juga Fataawaa al-‘Allamah Ibnu Baaz (II/384).<br />
[5]. HR. Ad-Daulabi dalam al-Kuna, dihasankan oleh Syaikh al-Albani t dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1633), dari Sahabat Abud Darda’ Radhiyallahu anhu.<br />
[6]. HR. Al-Bukhari. Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya shahih atas syarat al-Bukhari dan Muslim.” Lihat Fat-hul Baari (X/78-79), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu dan dimaushulkan oleh at-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (IX/345 no. 9714-9717).<br />
[7]. Tentang pengobatan sihir dan guna-guna serta lainnya, lihat Buku Do’a dan Wirid Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah oleh penulis.Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5320914200915969990.post-38303514747903140962012-03-07T00:25:00.000-08:002012-03-07T00:25:24.215-08:00HUKUM SIHIR DAN TUKANG SIHIRAhlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa sihir itu memiliki hakekat dan meyakini bahwa hak ini benar-benar ada, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah.<br />
<br />
Dalil-dalil dari Al-Qur-an:<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ ۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ ۚ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ<br />
<br />
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaithan-syaithan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaithan-syaithan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang Malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.’ Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” [Al-Baqarah: 102]<br />
<br />
Menurut bahasa (etimologi), sihir berarti sesuatu yang halus dan tersembunyi.<br />
<br />
Sedangkan menurut syar’i (terminologi) sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi (wafat th. 620 H) rahimahullah, ia berkata: “Sihir adalah jimat-jimat, jampi-jampi, mantera-mantera dan buhul-buhul (yang ditiup) yang dapat berpengaruh pada hati, akal dan badan. Maka sihir dapat menyakiti, membunuh dan memisahkan suami dengan istrinya, membuat orang saling membenci, atau membuat dua orang saling mencintai.” [2]<br />
<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ<br />
<br />
“Aku berlindung dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus dari buhul-buhul.” [Al-Falaq: 4]<br />
<br />
Sihir adalah tipu daya syaithan melalui walinya (tukang sihir, dukun, paranormal, orang pintar, dan lain-lain). Sihir mempunyai hakikat dan pengaruh, karena itu kita diperintahkan berlindung kepada Allah dari pengaruh sihir. Sihir, guna-guna dan lainnya tidak akan mengenai seseorang kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br />
<br />
Allah Ta’ala berfirman:<br />
<br />
وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ<br />
<br />
“Dan mereka itu (tukang sihir itu) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah.” [Al-Baqarah: 102]<br />
<br />
Pada hakekatnya sihir dan tipu daya syaithan sangat lemah.<br />
<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا<br />
<br />
“Sesungguhnya tipu daya syaithan itu adalah lemah.” [An-Nisaa’: 76]<br />
<br />
Jumhur Ulama menetapkan bahwa tukang sihir harus dibunuh. Seperti halnya pendapat madzhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad dalam riwayat yang dinukil dari mereka. Demikianlah (hukum) yang terwarisi dari para Sahabat, seperti ‘Umar bin al-Khaththab dan anaknya Radhiyallahu anhuma, ‘Utsman Radhiyallahu anhu dan lain-lain. Namun kemudian mereka berselisih pendapat : Apakah tukang (sihir itu) diperintahkan untuk bertaubat terlebih dahulu atau tidak? Apakah orang itu menjadi kafir dengan sihirnya itu? Atau ia dibunuh hanya karena kerjanya yang menimbulkan kerusakan di muka bumi?<br />
<br />
Ada sebagian ulama mengatakan: “Kalau dengan sihirnya ia membunuh orang, maka ia pun dibunuh; kalau tidak, cukup ia dihukum, namun tidak sampai mati.” Itu seandainya dalam perkataan maupun amalannya tidak terdapat kekufuran (yang nyata). Demikian pendapat yang dinukil dari Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan salah satu pendapat dalam madzhab Imam Ahmad rahimahullah.<br />
<br />
Sebagian ulama Salaf berpendapat bahwa tukang sihir kafir dan belajar sihir hukumnya haram. Para sahabat Imam Ahmad menyatakan kafir bagi orang yang belajar dan mengajarkannya.[3]<br />
<br />
Sihir adalah dosa besar yang membinasakan seseorang di dunia dan akhirat. Tukang sihir tidak akan bahagia di mana saja ia berada dan tidak akan tenang hidupnya selama-lamanya.<br />
<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَىٰ<br />
<br />
“Dan tidak akan menang tukang sihir itu, darimana saja ia datang.” [Thaahaa: 69]<br />
<br />
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
اِجْتَنِبُوْا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: اَلشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ.<br />
<br />
‘Jauhilah tujuh perkara yang membawa kepada kehancuran.’ Para Sahabat berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah tujuh perkara itu?’ Beliau berkata: ‘(1) Syirik kepada Allah, (2) sihir, (3) membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan sebab yang dibenarkan oleh agama, (4) memakan riba, (5) memakan harta anak yatim, (6) membelot (desersi) dalam peperangan, dan (7) melontarkan tuduhan zina terhadap wanita-wanita mukminah yang terjaga dari perbuatan dosa sedangkan ia tidak tahu menahu tentangnya.’” [4]<br />
<br />
Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal lehernya (dibunuh). Sebagaimana telah dilakukan oleh Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab, Jundub dan Hafshah binti ‘Umar Radhiyallahu anhum. [5]<br />
<br />
Namun yang melaksanakan hukum tersebut adalah pemerintah Islam setelah melalui proses pengadilan.<br />
<br />
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]<br />
_______<br />
Footnote<br />
[1]. Lihat Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid bab 23 tentang Sihir (hal. 315-323), bab 24 tentang Macam-Macam Sihir (hal. 325-332), Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/221-224), ash-Shaarimul Battaar fit Tashaddi lis Saharatil Asyraar oleh Syaikh Wahid ‘Abdus Salam Baali, Fat-hul Haqqil Mubiin fii ‘Ilaajish Shar’i was Sihri wal ‘Ain oleh Dr. ‘Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, dan Mukhtashar Ma’aarijil Qabuul.<br />
[2]. Al-Mughni (XII/131) oleh Abu Muhammad al-Maqdisi, cet. I, Daarul Hadits-Kairo, th. 1425 H. Kitab ini dicetak berikut syarahnya, asy-Syarhul Kabiir.<br />
[3]. Lihat al-Mughni (XII/132-134) oleh Abu Muhammad al-Maqdisi dan Mukhtashar Ma’aarijil Qabuul (hal. 145-146).<br />
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 2766, 5764, 6857) dan Muslim (no. 89), dari Sahabat Abu Hurairah Rahiyallahu anhu.<br />
[5]. Lihat al-Mughni (XII/134-135), Majmuu’ Fataawaa (XXIX/384) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Mukhtashar Ma’aarijil Qabuul (hal. 146-148)Abdurrahman Al-Jibrinhttp://www.blogger.com/profile/09841381012753020170noreply@blogger.com0