Total Tayangan Halaman

Minggu, 04 Maret 2012

APAKAH KELUAR DARAH DARI YANG HAMIL TERMASUK YANG MEMBATALKAN SHAUM

Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta


Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Pada bulan Ramadhan yang mulia saya sedang keadaan hamil dan saya mengeluarkan darah pada tanggal dua puluhnya, walaupun demikian saya tetap berpuasa kecuali selama empat hari ketika saya di rumah sakit. Setelah Ramadhan saya mengqadha puasa saya yang empat hari itu, apakah saya harus berpuasa lagi sedangkan saya masih mengandung .?

Jawaban
Puasa Anda saat hamil yang disertai dengan keluarnya darah adalah sah, darah itu tidak mempengaruhi puasa Anda sebab darah itu adalah istihadhah, sedangkan puasa yang Anda tinggalkan selama empat hari itu karena dirawat di rumah sakit lalu Anda mengqadhanya setelah Ramadhan sudah cukup, Anda tidak perlu mengqadha puasa itu untuk kedua kalinya.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta, 10/225, fatwa nomor 13168]


SUAMI MENCIUM DAN MENCUMBUI ISTRINYA DI SIANG HARI RAMADHAN


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz




Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Jika seorang pria mencium istrinya di bulan Ramadhan atau mencumbuinya, apakah hal itu akan membatalkan puasanya atau tidak .?

Jawaban
Suami yang mencium istrinya dan mencumbuinya tanpa menyetubuhinya dalam keadaan berpuasa, adalah dibolehkan dan tidak berdosa, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mencium istrinya dalam keadaan berpuasa, dan pernah juga beliau mencumbui istrinya dalam keadaan berpuasa. Akan tetapi jika dikhawatirkan dapat terjadi perbuatan yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala karena perbuatan itu dapat membangkitkan syahwat dengan cepat, maka hal demikian menjadi makruh hukumnya. Jika mencium dan mencumbui menyebabkan keluarnya mani, maka ia harus terus berpuasa dan harus mengqadha puasanya itu tapi tidak wajib kaffarah baginya menurut sebagian besar pendapat ulama, sedangkan jika mengakibatkan keluarnya madzi maka hal itu tidak membatalkan puasanya menurut pendapat yang paling benar diantara dua pendapat ulama, karena pada dasarnya hal tersebut tidak membatalkan puasa dan memang hal tersebut sulit untuk dihindari.

[Fatawa Ad-Da'wah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/164]


MENCAMPURI ISTRI DI SIANG HARI RAMADHAN


Oleh
Syaikh Muhamad Shalih Al-Utsaimin




Pertanyaan
Syaikh Muhamad Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya seorang pemuda, saya pernah mencampuri istri saya di siang hari Ramadhan, apakah saya harus membeli kurma untuk saya sedekahkan .?

Jawaban
Jika ia seorang pemuda maka berarti ia sanggup untuk berpuasa selama dua bulan berturut-turut, kita memohon kepada Allah agar pemuda itu diberi kekuatan untuk melaksanakan puasa selama dua bulan itu. Jika seorang telah bertekad keras untuk melaksanakan suatu pekerjaan maka hal itu akan mudah dikerjakannya, dan sebaliknya jika dirinya telah diliputi rasa malas maka perbuatan itu akan terasa berat sehingga hal tersebut akan mempersulit dirinya dalam melaksanakannya. Kita harus mengucapkan puji dan syukur kepada Allah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan sesuatu yang harus kita kerjakan di dunia yang dapat menghindarkan diri kita dari siksa Akhirat. Maka kepada pemuda ini kami katakan : Hendaklah Anda berpuasa selama dua bulan penuh berturut-turut, jika cuaca panas dan siang hari panjang, maka Anda mempunyai kesempatan menundanya hingga musim dingin. Hal yang sama diberlakukan pula pada pihak wanita yaitu istri Anda jika ia turut serta secara rela, namun jika si istri melakukan ha itu dengan terpaksa dan tak ada kesempatan untuk menghindar, maka puasa wanita itu sah sehingga tidak perlu mengqadhanya dan tidak perlu melaksanakan kaffarah.

[Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/60]


MENGAULI ISTRI PADA SIANG HARI RAMADHAN


Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan




Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Seorang pria menggauli istrinya pada siang hari Ramadhan selama tiga hari berturut-turut, apa yang harus ia lakukan ..?

Jawaban
Jika seorang yang berpuasa bersetubuh saat berpuasa, maka ia telah melakukan dosa besar, wajib baginya untuk bertobat kepada Allah dari dosa yang ia lakukan itu dan mengqadha puasanya itu. Disamping itu wajib baginya untuk melaksanakan kaffarah (memenuhi tebusan) yaitu memerdekakan hamba sahaya, jika tidak bisa maka ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut, jika tidak sanggup maka ia harus memberi makan kepada enam puluh orang miskin, setiap orang miskin mendapatkan setengah sha' makanan pokok. Kaffarah itu dilakukan sesuai dengan jumlah hari yang ia gunakan untuk bersetubuh yaitu setiap satu hari satu Kaffarah tersendiri. Wallahu a'lam

[Kitab Al-Muntaqa min Fatawa ASy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 1/116]


MENCAMPURI ISTRI TANPA MENGELUARKAN MANI


Oleh
Syaikh Muhamad Shalih Al-Utsaimin




Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Seorang pria menyetubuhi istrinya pada siang hari Ramadhan tanpa mengeluarkan mani, bagaimana hukumnya ..? Dan bagaimana pula hukumnya jika istri tidak mengerti hal itu .?

Jawaban
Bersetubuh di siang hari Ramadhan saat suami berpuasa dan tidak dalam perjalanan maka dia dikenakan Kaffarah, yaitu memerdekakan hamba sahaya, jika hal itu tidak didapatkan dipenuhi maka ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut, jika hal itu tidak sanggup dilakukan maka ia harus memberi makan kepada enam puluh orang miskin. Kaffarah yang sama juga dikenakan bagi istrinya, jika ia melakukan hal itu dengan rela, namun jika dilakukan dengan terpaksa maka wanita itu tidak dikenakan apapun. Adapun bila keduanya itu dalam keadaan musafir maka tak ada dosa, tak ada kaffarah dan tidak perlu berpuasa pada sisa hari itu melainkan keduanya harus mengqadha puasa hari itu saja, karena orang musafir tidak diwajibkan untuk berpuasa. begitu pula bagi orang yang tidak melakukan puasa karena keadaan darurat, seperti menolong orang dari kebinasaan, jika ia bersetubuh pada saat tidak berpuasa karena sebelumnya ia tidak berpuasa karena menolong seseorang, maka hal itu tidak mengapa, karena saat itu adalah saat yang tidak merusak puasa wajib karena sedang tidak berpuasa. Tapi bila seseorang tengah berpuasa dan muqim (bukan musafir) jika bersetubuh maka ia dikenakan lima hal yaitu :

[1]. Berdosa
[2]. Puasanya rusak
[3]. Wajib meneruskan puasa hari itu
[4]. Wajib mengqadha puasa hari itu
[5] Wajib melaksanakan kaffarah

Dalil kaffarah adalah hadits Abu Haurairah Radhiallahu 'anhu tentang seorang pria yang menyetubuhi istrinya pada siang hari Ramadhan, yaitu jika orang ini tidak mampu memerdekakan budak, tidak mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut dan tidak mampu memberi makan enam puluh orang miskin, maka kewajiban kaffarah itu hilang karena Allah tidak akan memberi beban kepada seseorang kecuali sesuai kemampuannya, sebab tidak ada kewajiban kepada seseorang kecuali sesuai kemampuannya, sebab tidak ada kewajiban jika disertai ketidakmampuan. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara bersetubuh yang menyebabkan keluarnya mani ataupun tidak mengeluarkan mani jika persetubuhan itu telah dilakukan. Lain halnya jika keluarnya mani itu tanpa bersetubuh, maka dalam hal ini tidak ada kaffarah, melainkan berdosa dan diwajibkan melanjutkan puasa serta mengqadha puasanya juga.

[Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/46-47]

MENCIUM ISTRI DAN MENCUMBUINYA KETIKA BERPUASA


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin




Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Bolehkah orang yang sedang puasa memeluk istrinya dan mencumbuinya di atas ranjang pada bulan Ramadhan .?

Jawaban
Ya, boleh bagi orang yang sedang berpuasa untuk mencium dan mencumbui istrinya dalam keadaan berpuasa, baik di bulan Ramadhan maupun bukan di bulan Ramadhan. Akan tetapi jika hal itu menyebabkannya mengeluarkan mani, maka puasanya batal, walaupun demikian wajib baginya untuk meneruskan puasanya serta diwajibkan pula baginya mengqadha puasa hari itu. Jika hal itu terjadi bukan pada bulan Ramadhan maka puasanya batal dan tidak perlu meneruskan puasanya pada sisa hari itu, akan tetapi jika puasanya adalah puasa wajib maka wajib baginya untuk mengqadha puasa itu, namun jika puasa itu sunnat maka tidak masalah baginya.

[ibid, 3/64-65]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Ifta Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar