Total Tayangan Halaman

Minggu, 04 Maret 2012

KEKALKAH SIKSA NERAKA?

Sebagaimana telah kami sebutkan pada edisi 05/VII dalam rubrik Soal-Jawab, berikut kami lanjutkan jawaban Soal-Jawab pada edisi lalu yang belum tuntas. Pembaca dapat menyimak kembali pertanyaan dan jawaban yang telah kami muat pada edisi lalu. Soal yang kedua, yakni tentang, apakah ulama belum ijma’ tentang kekalnya siksa neraka?

Jawaban.
Banyak pernyataan ulama yang menukilkan ijma’ kaum muslimin tentang kekalnya neraka, dan kekalnya siksa bagi orang-orang kafir di dalamnya. Diantara nukilan ijma’ ulama tersebut ialah:

- Imam Ahmad rahimahullah berkata,“Surga dan neraka diciptakan untuk kekal, bukan untuk binasa, dan tidak ditetapkan kematian pada keduanya. Barangsiapa berkata berbeda dengan hal itu, maka dia seorang ahli bid’ah".[1]

- Ibnu Hazm rahimahullah berkata,“Seluruh firqah-firqah umat (Islam) telah sepakat, bahwa tidak ada kebinasaan pada surga dan kenikmatannya; dan tidak ada kebinasaan pada neraka dan siksaannya, kecuali Al Jahm bin Shafwan.” [2]

- Ibnu Hazm juga menyatakan di dalam kitabnya yang lain, kitab yang menyebutkan tentang masalah-masalah ijma’: “… dan bahwa neraka adalah haq (nyata, benar-benar ada), dan neraka adalah tempat siksaan, tidak akan binasa, dan penduduk neraka juga tidak akan binasa, tanpa batas.” [3]

- Al Qurthubi rahimahullah berkata,“Barangsiapa berkata, sesungguhnya penduduk neraka akan keluar darinya, dan bahwa neraka akan menjadi kosong, akan roboh atap-atapnya, akan binasa dan hilang, maka orang tersebut telah keluar dari tuntutan akal, menyelisihi terhadap apa yang dibawa oleh Rasul, dan apa-apa yang disepakati oleh Ahlus Sunnah dan imam-imam yang terpercaya.” [4]

- As Safarini. Setelah beliau menyebutkan sebagian ayat-ayat yang menjelaskan kekalnya siksa neraka, dan menyebutkan hadits disembelihnya kematian, beliau berkata,“Dengan ayat-ayat yang nyata dan hadits-hadits shahih yang telah kami sebutkan, nyatalah kekalnya penduduk surga dan neraka dengan kekekalan selama-lamanya. Surga kekal bersama kenikmatannya, dan neraka kekal bersama siksanya yang pedih. Telah terjadi ijma’ Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terhadap hal ini. Mereka telah ijma’, bahwa siksaan terhadap orang-orang kafir tidak akan terputus, sebagaimana kenikmatan penduduk surga tidak akan terputus.” [5].

- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata,“Para pendahulu umat ini, imam-imamnya, dan seluruh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah sepakat, bahwa ada sebagian makhluk yang tidak akan binasa, tidak akan hancur sama sekali. Seperti surga, neraka, ‘arsy, dan lainnya.” [6]

- Syaikhul Islam juga menyatakan,“Pemeluk agama Islam semua mengatakan, surga dan neraka tidak ada akhirnya. Keduanya terus-menerus kekal. Demikian juga penduduk surga, terus-menerus di dalam surga, bersenang-senang. Dan penduduk neraka di dalam neraka disiksa. Hal itu tidak ada akhirnya.” [7]

- Syaikh Nu’man Al Alusi berkata,“Dan engkau mengetahui, bahwa kekalnya orang-orang kafir (di dalam neraka) termasuk perkara yang telah menjadi ijma’ kaum muslimin. Maka orang yang menyelisihi, tidak dianggap. Dan dalil-dalil yang pasti (tentang kekalnya orang-orang kafir di dalam neraka) tidak terbatas. Tidak satu pun diantara dalil-dalil itu yang dapat dilawan oleh kebanyakan riwayat-riwayat (yang menyatakan neraka tidak kekal) ini."[8]

Namun ada beberapa riwayat dari sebagian sahabat yang seolah-olah menyatakan, bahwa neraka itu tidak kekal. Tetapi riwayat-riwayat tersebut tidak shahih. Seandainya shahih, maka itu ditujukan kepada neraka yang ditempati oleh orang-orang beriman. Sedangkan orang beriman tidak kekal di dalam neraka.

Disebabkan adanya beberapa riwayat dari sahabat itulah, sebagian ulama Ahlus Sunnah menisbatkan adanya perselisihan dalam masalah ini.
Diantaranya ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t –pada salah satu pendapatnya- beliau menyatakan,“Adapun pendapat tentang binasanya neraka, maka pada masalah ini ada dua pendapat yang telah dikenal dari Salaf dan Khalaf.” [9]

Kemudian beliau menyampaikan dalil-dalil dari masing-masing pendapat. Namun beliau tidak menyebutkan pilihan pendapat beliau. Tetapi dari cara pemaparan dalil-dalil itu, banyak ulama menyatakan, bahwa kecondongan Syaikhul Islam kepada pendapat neraka tidak kekal. Namun kecondongan tersebut tidak dijumpai dalam kebanyakan kitab-kitab beliau. Bahkan yang dikenal dari pendapat beliau, ialah sebagaimana pendapat umum Ahlus Sunnah. Yaitu kekalnya surga dan neraka. Bahkan beliau termasuk ulama yang menukilkan adanya ijma’ dalam masalah tersebut, sebagaimana telah kami nukilkan di atas.

Kemudian perlu kita ingat, bahwa sebelum dan sesudah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, ada diantara ulama yang membicarakan masalah ini. Dengan demikian, walaupun pendapat kebinasaan neraka merupakan kebatilan, namun tidak dapat dikatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah melakukan bid’ah, kemudian dinyatakan sebagai ahli bid’ah atau orang yang sesat.

Syaikh Shalih Al Fauzan berkata,“Dan paling tinggi yang dikatakan adalah bahwa hal itu (pendapat neraka tidak kekal) merupakan pendapat yang salah, atau pendapat yang tidak benar, namun tidak dikatakan bid’ah. Bukanlah maksudku membela pendapat itu, tetapi maksudku menjelaskan, bahwa hal itu bukan bid’ah. Definisi bid’ah tidak cocok padanya, karena hal itu termasuk perkara-perkara yang lama, (yang telah terjadi perselisihan padanya sebelum Ibnu Taimiyah).” [10].

Dr. Muhammad bin Abdullah As Samhari berkata,“Sebelum mulai mengenal sikap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t terhadap masalah kebinasaan neraka, pantas kita ketahui satu perkara yang penting, yaitu penjelasan orang yang telah membicarakan masalah ini selain Ibnu Taimiyah. Orang yang meneliti masalah ini pada sumber-sumbernya akan mendapatkan para ulama sebelum Ibnu Taimiyah dan sesudahnya juga membicarakannya. Terkadang dengan menyebutkan riwayat-riwayat yang ada dari Salaf tentang masalah ini, dan terkadang dengan mengisyaratkan pendapat ini dan menyebutkan perselisihan tentangnya. Hal itu telah diisyaratkan oleh banyak ulama. Diantara mereka ialah Abd bin Humaid, beliau telah menyebutkan riwayat-riwayat di dalam tafsirnya; Abdul Haq bin Athiyah Al Andalusi dalam tafsirnya; Al Fakhrur Razi dalam tafsirnya; Al Qurthubi dalam At Tadzkirah; Ibnu Abil ‘Izzi di dalam Syarah Ath Thahawiyyah; Ibnul Qayyim dalam Haadil Arwaah, dan beliaulah yang paling banyak pembicaraannya; Muhammad Al Amin Asy Syanqithi dalam kitab Daf’u Ihamil Idh-thiraab ‘An Ayatil Kitab; Abu Hamid Al Ghazali dalam kitab Al Maqshadul Asna Fi Syarhi Asma-il Husna; Ibnul Wazir dalam kitab Itsarul Haqqi ‘Alal Khalqi; Imam Adz Dzahabi menyusun kitab tentang Shifatun Naar, ada dua jilid; Al Hafidz Ibnu Rajab dalam kitab At Takhwif Minan Nar; Syaikh Mar’i bin Yusuf menyusun kitab Tauqiful Fariqain ‘Ala Khuludi Ahlid Daraini; Syaikh Ash Shan’ani dalam kitab Raf’ul Astar Li Ibthali Adillati Al Qailina Bi Fana-in Nar.

Demikianlah, berdasarkan keterangan di atas, maka menjadi jelas bagiku bahwa pembicaraan tentang masalah kebinasaan neraka telah dikenal di kalangan ulama sebelum zaman Ibnu Taimiyah, di zamannya, dan sesudahnya, sebagaimana di dalam sumber-sumber di atas.” [11]

Kemudian penisbatan adanya perbedaan pendapat itu, dan kecondongan kepada pendapat kebinasaan neraka, diikuti oleh murid terdekat beliau, (yaitu) Imam Ibnul Qayyim t . Bahkan Imam Ibnul Qayyim t membawakan berbagai alasan yang dianggap sebagai dalil dalam masalah tersebut. Kecondongan Imam Ibnul Qayyim t kepada pendapat neraka tidak kekal tersebut, beliau tulis di dalam beberapa kitabnya, yaitu: [12].

- Hadil Arwah Ila Biladil Afrah 2/167-228.
- Ash Shawa-iqul Mursalah ‘Alal Jahmiyyah Wal Mu’aththillah, di dalam ringkasannya, halaman 218-239, penerbit Maktabul Islami, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Al Maushuli.
- Syifa’ul ‘Alil, halaman 252-264.

Kemudian dari sinilah Dr. Yusuf Qardhawi menyimpulkan pendapat Imam Ibnul Qayyim rahimahullah tentang ketidak kekalan neraka, dan meringkaskan dalil-dalil Ibnul Qayyim rahimahullah tentang masalah ini.

Namun yang perlu disayangkan, bahwa Dr. Yusuf Qardhawi tidak memberikan komentar tentang dalil-dalil yang dibawakan Ibnul Qayyim tersebut, sehingga tentu akan membuat kebingungan bayak orang dalam masalah ini. Padahal dalil-dalil itu telah dibantah oleh banyak ulama Ahlus Sunnah, sebagaimana yang akan kami jelaskan, insya Allah. Demikian juga Dr. Yusuf Qardhawi tidak menyebutkan adanya pendapat lain dari Imam Ibnul Qayyim rahimahullah yang sesuai dengan Ahlus Sunnah, yaitu kekalnya neraka. Bahkan inilah pendapat akhir beliau, insya Allah, sebagaimana yang akan kami jelaskan.
Ringkasnya, bahwa dalam masalah kekalnya neraka, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memilki beberapa pendapat, sebagaimmana diketahui dari kitab-kitab beliau: [13].

- Condong kepada pendapat tidak kekalnya neraka, sebagaimana keterangan di atas.
- Tawaqquf. Yaitu beliau bertawaqquf (diam, tidak berpendapat) dalam masalah kekalnya neraka. Beliau berkata,“Jika ditanya: sampai di mana berhenti telapak kaki anda dalam masalah yang sangat besar ini: masalah yang berlipat kali lebih besar dari dunia (masalah kekalnya neraka)? Dijawab: Sampai kepada firman Allah Tabaraka Wa Ta’ala:

إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ

"Sesungguhnya Rabbmu Maha Melaksanakan terhadap apa yang Dia kehendaki". [Hud:107]. [14]

- Neraka kekal. Sebagaimana Syaikhul Islam IbnuTaimiyah rahimahullah, maka Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga memiliki pendapat kekalnya neraka.

Demikian inilah diantara perkataan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah yang menyatakan kekalnya neraka:

Beliau berkata, “Karena manusia itu berada pada tiga tingkatan: baik, tidak diperburuk oleh kebusukan; busuk, tidak ada kebaikan padanya; dan yang lain, pada mereka terdapat kebusukan dan kebaikan. Jadilah tempat tinggal mereka ada tiga: tempat tinggal baik murni (yaitu surga, Red.) dan tempat tinggal busuk murni (yaitu neraka, Red.), dan kedua tempat tinggal ini tidak akan binasa. Dan tempat tinggal (neraka) bagi orang yang memiliki kebusukan dan kebaikan, inilah tempat tinggal yang akan binasa. Ini adalah tempat tinggal orang-orang yang berbuat maksiat. Karena sesungguhnya tidak seorangpun dari orang-orang yang bertauhid yang berbuat maksiat akan kekal di dalam Jahannam. Sesungguhnya setelah mereka disiksa sesuai dengan balasan mereka, (maka) mereka dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. Sehingga tidaklah tinggal, kecuali tempat tinggal baik murni (yaitu surga, Red.) dan tempat tinggal busuk murni (yaitu neraka, Red.).” [15]

Beliau juga berkata di dalam Al Kafiyah Asy Syafiyah, sebuah qasidah yang berisikan aqidah beliau:

“Delapan (makhluk) yang terkena hukum kekal,
Adapun selainnya berada pada daerah kebinasaan,
Semua (delapan makhluk) itu adalah: Al Arsy, Al Kursi, neraka, surga, pangkal tulang ekor manusia, ruh, Demikian juga Al Lauh dan Al Qalam”. [16]

Oleh karena itu, sepantasnya kita berbaik sangka kepada kedua imam besar Ahlus Sunnah di atas, yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, bahwa pendapat kekalnya neraka itulah pendapat terakhir mereka. Sebagaimana hal itu dikatakan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah : Adapun kami, maka husnuzhan (berbaik sangka) yang diperintahkan (agama) kepada kita, mengharuskan kita untuk mengatakan, semoga hal itu (pendapat kekalnya neraka) merupakan pendapat terakhir (Ibnu Taimiyah), karena hal itu sesuai dengan ijma’ yang beliau nukilkan sendiri. Terlebih (penukilan ijma’) dari yang lain sebagaimana telah berlalu. Dan itu diperkuat, bahwa Ibnul Qayyim juga menukilkan (pendapat kekalnya neraka) dalam qasidah beliau, Al Kafiyah Asy Syafiyah. Dan yang nampak, bahwa Ibnul Qayyim wafat di atas (aqidah) itu. Karena qasidah itu dibacakan kepada beliau pada akhir kehidupan beliau. Al Hafidz Ibnu Rajab Al Hanbali (seorang murid Ibnul Qayyim) menyebutkan biografi Ibnul Qayyim dalam kitab Thabaqat, karyanya, dan menyebutkan di akhirnya apa yang mengesankan kita tentang hal itu. Ibnu Rajab berkata,“Aku selalu menghadiri majlis-majlis beliau (Ibnul Qayyim) sebelum wafatnya lebih dari setahun. Dan aku mendengar (dibacakan) kepadanya qasidahnya An Nuniyah yang panjang dalam tahun itu, dan beberapa dari karya-karyanya, dan lainnya.” [Ath Thabaqat 2/448, karya Ibnu Rajab]

Aku (Al Albani) katakan: Seandainya benar dugaan kita ini, maka al-hamdulillah. Namun jika tidak, maka seburuk-buruk yang memungkinkan untuk dikatakan adalah, bahwa hal itu merupakan kekeliruan, yang (semoga) keduanya (Ibnu Taimiyah rahimahullah dan Ibnul Qayyim rahimahullah) diampuni dengan idzin Allah Ta’ala. Karena hal itu muncul dari ijtihad yang benar dari keduanya. Dan telah maklum, bahwa seorang mujtahid mendapatkan pahala, walaupun keliru, sebagaimana tersebut di dalam hadits shahih:

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا اِجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ

"Apabila seorang hakim berijtihad, kemudian dia benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Dan apabila dia berijtihad, kemudian dia keliru, maka dia mendapatkan satu pahala". [Muttafaq ‘alaihi]

Dan telah tetap di dalam Ushul, bahwa kekeliruan (kesalahan yang tidak disengaja) itu diampuni, walaupun dalam masalah-masalah ilmiyah (aqidah), sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam banyak kitab-kitab dan fatwa-fatwa beliau. Ini ditambah dengan apa yang dimiliki oleh keduanya, yang berupa jihad dan ujian yang baik dalam da’wah menuju Al Kitab dan As Sunnah, dan membantah para ahli bid’ah dan firqah-firqah sesat. Serta mempersembahkan Islam kepada kaum muslimin dalam keadaan murni dan bersih di atas manhaj As Salafush Shalih. Dan sesungguhnya, apa yang kita lihat dewasa ini di dunia Islam, yang berupa kebangkitan pemikiran, ilmu, da’wah mengikuti Sunnah dan Salaf, maka itu merupakan buah diantara buah-buah jihad dan kesabaran keduanya. Semoga Allah membalas kebaikan kepada keduanya, atas jasa keduanya kepada Islam dan kaum muslimin.”
[17].

Kemudian soal ketiga yang ditanyakan, mengapa pendapat Ibnul Qayyim, yang merupakan seorang ulama besar Ahlus Sunnah, berbeda dengan aqidah di atas?

Jawaban:
Pertanyaan ini kami jawab dengan perkataan imam Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah dalam muqaddimah tahqiq beliau terhadap kitab Raf’ul Astar, karya Ash Shan’ani. Sebuah kitab yang memang ditulis untuk membantah pendapat neraka tidak kekal. Syaikh Al Albani rahimahullah berkata: Sesungguhnya ayat-ayat dan hadits-hadits yang telah lalu, nyata di dalam dalil kebatilan pendapat neraka tidak kekal. Kemudian bagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhimahullah berpendapat demikian, dan murid beliau, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, membela beliau?

Aku katakan : Sesungguhnya sebaik-baik jawaban yang aku dapatkan pada diriku tentang keduanya, adalah bahwa keduanya hanyalah salah sangka bahwa sebagian sahabat telah berpendapat demikian. Sedangkan para sahabat adalah teladan kita semua, seandainya hal itu shahih dari mereka secara riwayat dan makna. Sedangkan semua (riwayat sahabat tentang neraka tidak kekal) itu tidak shahih, sebagaimana akan datang penjelasannya pada penulis kitab, Ash Shan’ani rahimahullah. Selain itu, disertai dominannya rasa takut keduanya kepada Allah:

وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ

"Dan bagi orang yang takut saat menghadap Rabbnya ada dua surga". [Ar Rahman:46]

Dan sifat kasih keduanya kepada hamba-hamba Allah dari siksaNya. Dan perasaan keduanya yang diliputi keluasan dan kesempurnaan rahmat Allah sampai terhadap orang-orang kafir. Kemudian keduanya dikuatkan oleh lahiriah dan pemahaman sebagian nash-nash. Maka semua itu melalaikan keduanya dari dalil-dalil yang qath’i (pasti tentang kekalnya neraka dan siksanya), dan keduanya mengatakan apa yang belum pernah dikatakan oleh seorangpun sebelum keduanya. [18]

KESIMPULAN DAN TAMBAHAN
Setelah keterangan di atas, di bawah ini kami sampaikan beberapa point penting dalam perkara ini, dan beberapa hal yang berkaitan dengannya. Sehingga kita akan memiliki sikap yang benar, tidak berlebihan, dan tidak mengurangi kewajiban.

- Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menyatakan, bahwa neraka itu kekal, tidak akan binasa, dan penduduknya juga kekal di dalamnya. Tidak akan keluar dari neraka, kecuali ahli tauhid yang bermaksiat. Adapun orang-orang kafir dan musyrik, maka mereka kekal di dalamnya. [19]

- Pendapat bahwa neraka tidak kekal, merupakan pendapat yang batil, walaupun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan murid beliau, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, condong kepada pendapat tersebut. Sesungguhnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah telah mengajarkan kepada kita, bahwa mencintai al haq didahulukan daripada mencintai orang-orang yang agung. Sedangkan nash-nash yang nyata menunjukkan neraka itu kekal. Bahkan ada diantara ulama yang menukilkan ijma’ masalah tersebut. [20]

- Sama sekali tidak boleh mencela Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dengan sebab pendapat di atas. Karena keduanya mujtahid, mendapatkan dua pahala jika benar, atau satu pahala jika tidak benar, dan kekeliruannya diampuni. Walaupun demikian, kita tidak boleh mengikuti kesalahannya. Anggapan bahwa “orang yang menyelisihi kebenaran dalam masalah aqidah, dikafirkan” akan menyeret kepada pengkafiran imam-imam yang tidak diragukan keimamam mereka di kalangan umat ini. Sebagaimana Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu 'anhu telah berpendapat, bahwa jika musafir tidak mendapatkan air, dia tidak melakukan tayammum dan tidak shalat. Padahal seluruh umat telah sepakat bolehnya bertayammum. Demikian juga Imam Malik t berpendapat, bahwa “Bismillahirrahmanirrahim” tidak termasuk ayat Al Qur’an. Sedangkan seluruh umat telah sepakat, bahwa yang ada diantara dua sampul mush-haf adalah Al Qur’an. Dan sesungguhnya tidak ada yang maksum di kalangan umat Islam ini, kecuali Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam [21]

- Kita perlu ingat, bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memiliki pendapat lain, (yaitu) pendapat yang sesuai dengan aqidah Ahlus Sunnah, bahwa neraka dan siksanya kekal. Dengan demikian, siapapun tidak boleh mengatakan, bahwa pendapat nereka tidak kekal merupakan pendapat keduanya, selama tidak mengetahui bahwa itu merupakan pendapat akhir keduanya. Maka yang lebih selamat, ialah tawaqquf (diam) dari menisbatkan pendapat itu kepada keduanya. Bahkan kemungkinan terbesar –dengan prasangka baik kita- bahwa keduanya telah ruju’ dan pendapat paling akhir keduanya adalah yang sesuai dengan aqidah Ahlus Sunnah.

- Dalil-dalil yang dipaparkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah untuk menguatkan pendapat tidak kekalnya neraka, sebagiannya tidak shahih. Dan dalil yang shahih, tidak nyata menunjukkan tidak kekalnya neraka. Bahkan memungkinkan untuk dibawa kepada kekalnya neraka, atau kepada binasanya neraka yang dihuni oleh orang-orang yang bertauhid yang maksiat.

Dalam hal ini, Imam Ash Shan’ani telah membantah dalil-dalil yang dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dan Imam Ibnul Qayyim t dalam kitabnya yang berjudul Raf’ul Astar Li Ibthali Adillati Al Qailina Bi Fana-in Nar (Menghilangkan Tabir-tabir Untuk Mambantah Dalil-Dalil Orang-Orang yang Berpendapat Kebinasaan Neraka), yang telah ditahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.

Demikianlah jawaban kami, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VII/1424H/2003 Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
________
Footnote
[1]. Taudhihul Maqashid Wa Tash-hihul Qawaid Fi Syarhi Qashidatil Imam Ibnil Qayyim, 1/97, karya Ahmad bin Ibrahim bin Isa. Dinukil dari Raf’ul Astar, halaman 17, karya Ash Shan’ani, tahqiq Al Albani
[2]. Al Milal Wan Nihal 4/83, karya Ibnu Hazm. Lihat Al Jannah Wan Naar, halalaman 41, karya Syaikh Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar; Raf’ul Astar, halaman 17, karya Ash Shan’ani, tahqiq Al Albani
[3]. Maratibul Ijma’, 173, karya Ibnu Hazm.
[4]. At Tadzkirah, halaman 437, karya Al Qurthubi. Dinukil dari Al Jannah Wan Naar, halaman 47, karya Syaikh Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar.
[5]. Syarh Durratil Mudhiyyah Fi ‘Aqdil Firqah Al Mardhiyyah, 2/234-235. Dinukil dari Raf’ul Astar, halaman 34, karya Ash Shan’ani, tahqiq Al Albani
[6]. Majmu’ Fatawa 18/308.
[7]. Dar’ut Ta’arudhil ‘Aql Wan Naql, 2/358.
[8]. Muhakamatul Ahmadain, halaman 424. Dinukil dari Raf’ul Astar, halaman 37, karya Ash Shan’ani, tahqiq Al Albani
[9]. Ar Raddu ‘Ala Man Qala Bi Fana-il Jannah Wan Nar, halaman 52, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, tahqiq Dr. Muhammad bin Abdullah As Samhari.
[10]. Dinukil dari Ar Raddu ‘Ala Man Qala Bi Fana-il Jannah Wan Nar, halaman 17-18, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, tahqiq Dr. Muhammad bin Abdullah As Samhari. Kalimat dalam kurung merupakan perkataan Dr. Muhammad bin Abdullah As Samhari
[11]. Ar Raddu ‘Ala Man Qala Bi Fana-il Jannah Wan Nar, halaman 17-18, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, tahqiq Dr. Muhammad bin Abdullah As Samhari
[12]. Lihat Raf’ul Astar, halaman 7, 8, 17, karya Ash Shan’ani, tahqiq Al Albani.
[13]. Lihat catatan kaki Al Minhah Ilahiyah Fi Tahdzib Ath Thahawiyah, halaman 277, karya Abdul Akhir Hammad Al Ghunaimi.
[14]. Hadil Arwah, halaman 370
[15]. Al Wabilush Shayyib, halaman 25
[16]. Taudhihul Maqashid Wa Tash-hihul Qawaid Fi Syarhi Qashidatil Imam Ibnil Qayyim, 1/97, karya Ahmad bin Ibrahim bin Isa. Dinukil dari Raf’ul Astar, halaman 18, karya Ash Shan’ani, tahqiq Al Albani
[17]. Raf’ul Astar, halaman 32-33, karya Ash Shan’ani, tahqiq Al Albani.
[18]. Raf’ul Astar, halaman 21, karya Ash Shan’ani, tahqiq Al Albani
[19]. Perkataan Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar dalam kitab Al Jannah Wan Nar, halaman 41
[20]. Lihat Al Jannah Wan Nar, halaman 45, karya Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar
[21]. Lihat Al Jannah Wan Nar, halaman 45-46, karya Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar