Total Tayangan Halaman

Rabu, 07 Maret 2012

HUKUM THIYARAH (TATHAYYUR, MENGANGGAP SIAL KARENA SESUATU)[1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qodir Jawas


Ahlus Sunnah tidak percaya kepada thiyarah atau tathayyur. Tathayyur atau thiyarah yaitu merasa bernasib sial karena sesuatu[2]. Diambil dari kalimat: زَجَرَ الطَّيْرَ (menerbangkan burung).

Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H) rahimahullah berkata: “Dahulu, mereka suka menerbangkan atau melepas burung, jika burung itu terbang ke kanan, maka mereka menamakannya dengan ‘saa-ih’, bila burung itu terbang ke kiri, mereka namakan dengan ‘baarih’. Kalau terbangnya ke depan disebut ‘na-thih’, dan manakala ke belakang, maka mereka menyebutnya ‘qa-id’. Sebagian kaum bangsa Arab menganggap sial dengan ‘baarih’ (burungnya terbang ke kiri) dan menganggap mujur dengan ‘saa-ih’ (burungnya terbang ke kanan) dan ada lagi yang berpendapat lain.” [3]

Tathayyur (merasa sial) tidak terbatas hanya pada terbangnya burung saja, tetapi pada nama-nama, bilangan, angka, orang-orang cacat dan sejenisnya. Semua itu diharamkan dalam syari’at Islam dan dimasukkan dalam kategori perbuatan syirik oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena orang yang bertathayyur menganggap hal-hal tersebut membawa untung dan celaka. Keyakinan seperti ini jelas menyalahi keyakinan terhadap taqdir (ketentuan) Allah Azza wa Jalla.

Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (wafat th. 1421 H) rahimahullah : “Tathayyur adalah menganggap sial atas apa yang dilihat, didengar, atau yang diketahui. Seperti yang dilihat yaitu, melihat sesuatu yang menakutkan. Yang didengar seperti mendengar burung gagak, dan yang diketahui seperti mengetahui tanggal, angka atau bilangan. Tathayyur menafikan (meniadakan) tauhid dari dua segi:

Pertama, orang yang bertathayyur tidak memiliki rasa tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla dan senantiasa bergantung kepada selain Allah.

Kedua, ia bergantung kepada sesuatu yang tidak ada hakekatnya dan merupakan sesuatu yang termasuk takhayyul dan keragu-raguan.” [4]

Ibnul Qayyim rahimahullah kembali menuturkan: “Orang yang bertathayyur itu tersiksa jiwanya, sempit dadanya, tidak pernah tenang, buruk akhlaknya, dan mudah terpengaruh oleh apa yang dilihat dan didengarnya. Mereka menjadi orang yang paling penakut, paling sempit hidupnya dan paling gelisah jiwanya. Banyak memelihara dan menjaga hal-hal yang tidak memberi manfaat dan mudharat kepadanya, tidak sedikit dari mereka yang kehilangan peluang dan kesempatan (untuk berbuat kebajikan-pent.).” [5]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَٰذِهِ ۖ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُ ۗ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: ‘Ini disebabkan (usaha) kami.’ Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” [Al-A’raaf: 131]

Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat th. 310 H) rahimahullah dalam Tafsiirnya mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menceritakan bahwa apabila pengikut Fir’aun mendapat keselamatan, kesuburan, keuntungan, kemakmuran dan banyak rizqi, serta menemukan kesenangan duniawi, mereka mengatakan: ‘Kami memang lebih pantas mendapatkan semua ini.’ Sebaliknya, manakala tertimpa kejelekan berupa kekeringan, bencana dan musibah, mereka bertathayyur kepada Musa Alaihissallam dan orang-orang yang besertanya, yakni melemparkan penyebabnya kepada Musa dan orang-orangnya. Mereka mengatakan: ‘Sejak kedatangan Musa, kita kehilangan kemakmuran, kesuburan dan tertimpa krisis.’”

Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata: “Allah Azza wa Jalla menyebutkan bahwa keberuntungan, kemakmuran, dan keburukan serta bencana kaum Fir’aun dan yang lainnya tidak lain adalah ketetapan yang baik dan yang buruk semuanya dari Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui sehingga mereka menuduh Musa Alaihissallam dan pengikutnya sebagai penyebabnya.”[6]

Thiyarah termasuk syirik yang menafikan kesempurnaan tauhid, karena ia berasal dari apa yang disampaikan syaithan berupa godaan dan bisikannya.

اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.

“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.” [7]

Dalam Shahiih Muslim disebutkan, dari Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Di antara kami ada orang-orang yang bertathayyur.” Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Itu adalah sesuatu yang akan kalian temui dalam diri kalian, akan tetapi janganlah engkau jadikan ia sebagai penghalang bagimu.’” [8]

Dengan ini beliau mengabarkan bahwa rasa sial dan nasib malang yang ditimbulkan dari sikap tathayyur ini hanya pada diri dan keyakinannya, bukan pada sesuatu yang ditathayyurkan. Maka prasangka, rasa takut dan kemusyrikannya itulah yang membuatnya bertathayyur dan menghalangi dirinya untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat, bukan apa yang dilihat dan didengarnya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian menerangkan permasalahan tersebut kepada umatnya tentang kesesatan tathayyur supaya mereka mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak memberikan kepada mereka suatu alamat atau tanda atas kesialan, atau menjadikannya sebab bagi apa yang mereka takutkan dan khawatirkan. Supaya hati mereka menjadi tenang dan jiwa mereka menjadi damai di hadapan Allah Yang Mahasuci.

Telah diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَنْ يَقُوْلَ أَحَدُهُمْ :اَللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ.

‘Barangsiapa mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” Para Sahabat bertanya: “Lalu apakah tebusannya?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Hendaklah ia mengucapkan: ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiadalah burung itu (yang dijadikan objek tathayyur) melainkan makhluk-Mu dan tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.’” [9]

Pengharaman thiyarah didasarkan pada beberapa hal:
1. Dalam thiyarah terkandung sikap bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala

2. Thiyarah melahirkan perasaan takut, tidak aman dari banyak hal dalam diri seseorang, sesuatu yang pada gilirannya menyebabkan kegoncangan jiwa yang dapat mempengaruhi proses kerjanya sebagai khalifah di muka bumi.

3. Thiyarah membuka jalan penyebaran khurafat dalam masyarakat dengan jalan memberikan kemampuan mendatangkan manfaat dan mudharat atau mempengaruhi jalan hidup manusia kepada berbagai jenis makhluk yang sebenarnya tidak mereka miliki. Pada gilirannya, itu akan mengantar kepada perbuatan syirik besar.

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Fat-hul Majiid (bab 27: Maa Ja-a fit Tathayyur hal. 345-359), Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/273-277), al-Madkhal (hal. 148-150).
[2]. Lihat an-Nihaayah (III/152), Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/273).
[3]. Lihat Miftaah Daaris Sa’aadah (III/268-269) ta’liq dan takhrij Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi, cet. I-Daar Ibnu ‘Affan, th. 1416 H.
[4]. Lihat al-Qaulul Mufiid ‘alaa Kitaabit Tauhiid (I/559-560).
[5]. Miftaah Daaris Sa’aadah (III/273) ta’liq dan takhrij Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.
[6]. Tafsiir Ibni Jarir ath-Thabari (VI/30-31) dengan diringkas.
[7]. HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 909), Abu Dawud (no. 3910), at-Tirmidzi (no. 1614), Ibnu Majah (no. 3538), Ahmad (I/389, 438, 440), Ibnu Hibban (Mawaariduzh Zham’aan no. 1427), at-Ta’liiqatul Hisaan ‘alaa Shahiih Ibni Hibban (no. 6089) dan al-Hakim (I/17-18). Lafazh ini milik Abu Dawud, dari Sahabat Ibnu Mas’ud . Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 429).
[8]. HR. Muslim (no. 537).
[9]. HR. Ahmad (II/220), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir da-lam Tahqiiq Musnad Imam Ahmad (no. 7045). Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1065).
[10]. Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 148-150).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar