Total Tayangan Halaman

Jumat, 02 Maret 2012

Pengertian, Definisi Ijtihad dan Tingkatan Mujtahid

Pengertian, Definisi Ijtihad dan Tingkatan Mujtahid
Secara etimologi ijtihad berakar dari kata jahda yang berarti al-Masyaqqoh (yang sulit yang susah). Namun dalam Al-Qur’an kata jahda sebagaimana dalam surat an-Nahl: 38, an-Nur: 53, Fathir: 42 semuanya mengandung arti badzl al-wus’i wa thaqati (pegerahan segala kesanggupan dan kekuatan) atau juga berarti al-Mubalaghah fi al-yamin (berlebih-lebihan dalam sumpah)

Al-Zubaidi berpendapat bahwa kata juhda dan jahda mempunyai arti kekuatan dan kesanggupan, sedang bagi Ibnu Katsir jahda berarti yang sulit, berlebih-lebihan atau bahkan tujuan, sedang Sa’id l-Tafani memberikan arti ijtihad dengan tahmil al-juhdi (ke arah yang membutuhkan kesungguhan) kendati semua arti itu, maka ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupn dan kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai pada batas puncaknya.


Ibrahim Hosen mengindektikkan (murodif) maka ijtihad dengan al-istinbath. Istinbath berasal dari kata nabath (air yang mula-mula memancar dari sumur yang digali). Dengan demikian, menurut bahasa, arti istinbath sebagai padanan kata ijtihad adalah mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya.

Adapun arti ijtihad dari terminologinya, para Ulama’ berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Diantara definisi tersebut adalah:
الاجتهاد بذل الواسع فى نيل حكم شرعي عملي بطريق الاستنباط
Ijtihad adalah mencurahkan sekedar kemampuan untuk mendapatkan hukum syar’iy yang bersifat operasional (pengalaman) dengan cara mengambil kesimpulan hokum (istinbath)

Sedangkan menurut Imam Al-Amidi,-dengan menambahkan kata - - الفقيه , yang dimaksud ijtihad adalah:
الاجتهاد استفراغ الفقيه الوسع في طلب الظن بشيء من الاحكام الشرعية بحس من النفس العجز عن المزيد عليه
Ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuan yang telah ada untuk mencari hukum syara’ yang sifatnya zhanniy sampai dirinya merasa tidak mampu lagi untuk mencari tambahan kemampuannya


Dari rumusan definisi ijtihad tersebut, ditemukan adanya pemahaman yang sangat luas dan saling terkait antara satu kata dengan kata lainnya, yaitu:
a. Kata بذل الواسع atau استفراغ الوسع bisa dijadikan sebagai alat untuk mengecualikan segala bentuk hukum yang didapat tanpa pencurahan kemampuan, sebab yang dimaksud kedua kata tersebut adalah berusaha semaksimal mungkin sampai merasa tidak mampu lagi untuk menambah usahanya. Selain itu, uapaya ijtihad tidak main-main, karena itu dibutuhkan upaya dan syarat-syarat tertentu bagi mujtahid. Dan konsekuensinya bagi mereka yang salah dalam berijtihad, maka dia masih diberi pahala satu (karena kesungguhannya), dan bagi mereka yang benar, maka mendapatkan pahala dua (karena kebenaran yang dicapai dan kesungguhannya)
b. Kata الاحكام الشرعية atau kata حكم شرعي dapat mengecualikan hukum bahasa, akal dan hukum-hukum yang bersifat indrawi. Maka dari itu, orang yang telah mencurahkan segala kemampuan dalam penggalian hukum seperti itu, tidak dapat disebut dengan mujtahid menurut ushulliyyin dan usahanya juga tidak dapat disebut sebagai ijtihad, sekalipun para mutakallimin dinamakan dengan ijtihad.
c. Kata بطريق الاستنباط (dengan cara mengambil simpulan hukum). Dalam hal ini dapat mengecualikan metode pengambilan hukum dari sisi lahirnya nash (منطوق النص), “hafalan beberapa persoalan”, menanyakan persoalannya pada para ahli atau mufti dan dari sisi pencarian hukum dari literatur yang sudah ada, sebab materi seperti ini tidak masuk dalam kategori ijtihad, baik menurut bahasa maupun istilah.
d. Kata استفراغ الفقيه الوسع (pencurahan seorang faqih akan semua kemampuan). Dari kata الفقيه ini, dapat diartikan sebagai orang yang benar-benar menguasai segala bentuk dan macam-macam dasar ilmu fiqh secara baik, bahkan mampu merealisasikan ucapan dalam bentuk praktek sebagai operasionalnya. Hal ini dapat mengecualikan orang-orang yang hanya mengandalkan hafalan untuk masalah-masalah hukum furu’iyyah. Usaha seperti ini tidak bisa dikategorikan sebagai ijtihad.

Perbedaan rata-rata seputar pengertian ijtihad menurut terminologi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas adalah sebagai berikut: a) Penggunaan bahasa. Misalnya ada yang menggunakan istilah istafragha (menghabiskan seluruh kesanggupan) dan ada juga badzl (pengerahan seluruh kesanggupan); b) Subjek ijtihad. Ada yang dinisbatkan pada mujtahid yang konotasinya bahwa upaya ijtihad tidak harus dalam satu bidang, tetapi juga menyangkut bidang lainnya. Dan ada juga yang menggunakan ‘fiqh’ seorang ahli fiqh sehingga hukum yang diijtihadi khusus hukum fiqh.

Dari penjelasan di atas, juga dapat diambil pengertian bahwa dalam masalah ijtihad, ditemukan adanya beberapa unsur yang harus ada di dalamnya, yaitu:
1. Mujtahid, yaitu orang yang melakukan ijtihad
2. Masalah yang diijtihadi benar-benar msalah yang membutuhkan pencarian status hukumnya
3. Metode istinbath (pengambilan kesimpulan pendapat)
4. Natijah, yaitu hasil atau kesimpulan hukum yang diijtihadi

Disamping itu, dapat ditarik kesimpulan mengenai pelaku, objek, dan target capaian ijtihad, yaitu:
1. Pelaku ijtihad adalah seorang ahli faqih, bukan yang lain
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i bidang amali (furu’iyyah) yaitu hukum yang berhubungan dengan tingkah laku mukallaf
3. Hukum syar’i yang dihasilkan oleh suatu ijtihad statusnya adalah zhanniy, karena hukum itu diciptakan berdasarkan akal pikiran manusia, sehingga dalam satu masalah dapat timbul berbagai jalan pikiran dan menghasilkan hukum yang berbeda.

Status zhanniy pada hukum hasil ijtihad berarti kebenarannya tidak bersifat absolut, ia benar tapi mengandung kemungkinan salah. Hanya menurut Mujtahid yang bersangkutan porsi kebenarannya lebih absolut. Atau sebaliknya,ia salah tapi mengandung kemungkinan benar.

Tingkatan-Tingkatan Mujtahid

Ulama’ ushul fiqh membedakan derajat para mujtahid dalam beberapa tingkatan menurut kadar keilmuan, kecakapan serta pengalaman masing-masing. Tingkatan-tingkatan tersebut antara lain:
1. Mujtahid fi al-syar’i atau diistilahkan dengan mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil
Yaitu mujtahid yang memiliki kemampuan untuk menggali hukum syari’at langsung dari sumbernya yang pokok (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan mampu menerapkan metode dan dasar-dasar pokok yang ia susun sebagai landasa atas segala aktifitas ijtihadnya. Mujtahid ini dapat dikatakan mutaqil karena mereka mampu mengistinbathkan hukum dari sumber aslinya tanpa terikat oleh suatu madzhab juga pendapat mujtahid lain. Misalnya: Sa’id bin Musayyab, Ibrahim an-Nakha’i (dari generasi tabi’in), imam Abu Hanifah, imam Maliki, imam Syafi’i, imam Ahmad bin Hanbal, Ja’far Shadiq dan lain-lain.

2. Mujtahid Muntasib atau mujtahid yang berafiliasi atau mujtahid ghair al-mustaqil
Yaitu mujtahid yang telah memiliki semua persyaratan secara sempurna dan dalam melakukan ijtihadnya ia mengikuti ktentuan-ketentuan, tekhnik-tekhnik dan metode yang digunakan atau yang berlau pada madzhab lain. Sekalipun keputusan akhir yang ditetapkan berbeda dan tidak sependapat dengan madzhabnya, khususnya dalam masalah furu;iyyah, atau bahkan bersebrangan dengan keputusan yang telah diambil oleh madzhabnya. Misalnya:
Ø Hanafiyyah : Imam Zufar, Mohammad bin Hasan asy-Sayibani, Abu Yusuf
Ø Malikiyyah : Ibnu Qosim, imam Asyhab, dan Ibnu Abdi Hakam
Ø Syafi’iyyah : Imam al-Muzaniy, al-Buwaithi dan al-Za’faroniy
Ø Hanbaliyyah : Ibnu Taimiyyah

3. Mujtahid fil-Madzhab atau Mujtahid Takhrij atau Mujahid Muqoyyad
Yaitu seorang mujtahid yang dalam istinbathnya selalu mengikuti sistem yang telah dipakai oleh madzhabnya, tidak mau keluar dari madzhab itu, baik dalam masalah unshul atau furu’. Seandainya ia melakuka ijtihad, ijtihadnya terbatas pada asalah yang ketentuan hukumnya tidak ada dalam Imam madzhab yang dianutnya. Karena itu, ia memiliki kemampuan untuk memecahkan beberpa kasus yang belum diijtihadkan oleh para imam madzhabnya dan selebihnya ia melakukan penyelesaian beberapa fatwa hukum (qoul) yang dikutip dari dokumentasi ijtihad imam madzhabnya untuk dinilai mana yang shahih ( اصح ) dan mana yang yang lemah ( اضعف). Misalnya:
Ø Hanafiyyah : Imam Hasan bin Ziyad dan Abu Ja’far al-Thahawi
Ø Syafi’iyyah : Imam al-Haromain atau al-Juwainiy, Abu Ishaq al-Syairozy, dan al-Mawardi
Ø Hanbaliyyah : al-Khiroqy dan lainnya

4. Mujtahid Murajjih atau lazim disebut dengan istilah “Faqih al-Nafsiy” atau “Mujtahid independen”
Yaitu seorang mujtahid yang tidak mengistinbathkan hukum-hukum furu’, akan tetapi mereka hanya membandingkan (المقارنة) antara beberapa pendapat yang berbeda di kalngan Imam Mujtahid, baik yang masih dalam satu madzhab, maupun dalambeberapa madzhab. Hal ini dilakukan dengan cara menilai mana yang lebih kuat (اقوى) dan lebih benar (ارجح) dalilnya. Misalnya: Imam al-Qodiry dan imam Al-Marghinani dari kalangan madzhab Hanafi, imam Nawawi, imam Rofi’iy, imam Romli dan Ibnu Hajar al-Haitami dari kalangan madzhab Syafi’i.

Demikian penjelasan mengenai Pengertian, Definisi Ijtihad dan Tingkatan Mujtahid. Semoga Bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar