Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz Rahimahullah, menjawab:
“Empat imam mahdzab memiliki kapasitas ilmu yang berbeda. Karena
tentunya tidak ada seorang pun yang menguasai semua ajaran Nabi, dan
tidak ada seorang pun manusia yang menguasai keseluruhan ilmu yang ada.
Sehingga mereka kadang berbeda pada beberapa hal. Namun, mereka adalah
para imam besar. Mereka memiliki pengikut yang merumuskan madzhab
mereka. Pengikut para imam ini mengumpulkan pembahasan-pembahasan serta
fatwa-fatwa para imam. Kemudian ditulis dalam banyak kitab sehingga
menyebarlah madzhab mereka dan dikenal banyak orang. Yaitu disebabkan
pengikut para imam yang menuliskan dan mengumpulkan pembahasan dan
fatwa dari para imam tersebut.
Sebagian diantara empat imam madzhab kadang terjerumus dalam
kesalahan. Karena kadang sebagia mereka belum mengetahui hadits yang
berkaitan dengan masalah tertentu. Lalu mereka berfatwa dengan ijtihad.
Sehingga, dengan sebab ini, mereka memfatwakan yang salah. Sedangkan
sebagian imam yang lain mengetahui hadits yang berkaitan, sehingga
mereka berfatwa dengan fatwa yang benar. Hal seperti ini banyak terjadi
dalam berbagai masalah yang mereka bahas, semoga Allah merahmati mereka
semua. Oleh karena itulah Imam Malik berkata:
ما منا إلا رادٌ ومردود عليه إلا صاحب هذا القبر
‘Setiap boleh menolak dan boleh ditolak pendapatnya, kecuali pemilik kuburan ini“, yaitu RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam
Namun tentang memilih salah satu pendapat madzhab, ini hanya layak
dilakukan oleh orang yang serius belajar agama. Dan merekapun
tetap tidak boleh taqlid terhadap salah satu madzhab. Selain itu, jika
seseorang menisbahkan diri pada madzhab tertentu karena ia memandang
kaidah-kaidah, landasan dan kesesuaian terhadap dalil secara umum pada
madzhab ini, ini dibolehkan. Namun tetap ia tidak boleh taklid baik
kepada Asy Syafi’i, atau kepada Imam Ahmad, atau kepada Imam Malik,
atau kepada Imam Abu Hanifah atau yang selain mereka. Yang wajib
baginya adalah melihat sumber pendapat dan cara pendalilan dari para
imam tersebut. Pendapat yang lebih kuat dalilnya dari beberapa pendapat
yang ada, maka itulah yang diambil. Sedangkan dalam perkara ijma, tidak
boleh ada yang memiliki pendapat lain. Karena para ulama tidak mungkin
bersepakat dalam kebatilan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ما منا إلا رادٌ ومردود عليه إلا صاحب هذا القبرلا تزال طائفة من أمتي على الحق منصورة…. الحديث
“Akan selalu ada sekelompok orang (thaifah) dari ummatku yang teguh di atas kebenaran, mereka ditolong oleh Allah“
Dan jika para ulama telah bersepakat, maka merekalah thaifah yang dimaksud”
Bagi orang yang paham agama, wajib baginya untuk memperhatikan dalil
dalam masalah khilafiyah. Jika pendapat Imam Abu Hanifah didukung
dalil, ini yang diambil. Jika pendapat Asy Syafi’i didukung dalil, maka
ini yang diambil. Jika pendapat Imam Malik didukung dalil, ini yang
diambil. Jika pendapat Imam Ahmad didukung dalil, ini yang diambil.
Demikian juga, jika pendapat Imam Al Auza’i didukung dalil, ini yang
diambil. Jika pendapat Ishaq bin Rahawaih didukung dalil, ini yang
diambil, dan seterusnya. Wajib mengambil pendapat yang berdasarkan
dalil dan wajib meninggalkan pendapat yang tidak berdasarkan atas
dalil. Karena Allah Ta’ala berfirman:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ
إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59)
Juga firman Allah Ta’ala:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
“Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah” (QS. Asy Syuura: 10)
Kesimpulannya, wajib bagi orang yang paham agama untuk mengembalikan
setiap permasalahan khilafiyah kepada dalil. Pendapat yang dalilnya
paling kuatlah yang diambil.
Sedangkan orang awam, yang wajib bagi mereka adalah bertanya kepada
orang yang berilmu yang ada di masanya. Yaitu orang alim yang dapat
memilihkan pendapat yang menurutnya paling mendekati teladan NabiShallallahu’alaihi Wasallam. Orang alim tersebut juga wara’,
sangat memahami ilmu agamanya, dan masyarakat pun percaya terhadap
keilmuannya. Orang awam sebaiknya merujuk dan bertanya kepada mereka.
Sehingga dapat dikatakan madzhab orang awam ini adalah madzhab sang ulama yang ia tanya.
Namun perlu ditekankan, orang awam sebaiknya merujuk pada ulama
-baik yang ada di negerinya atau di luar negerinya- yang dikenal
ketinggian kapasitas ilmunya, ia mengikuti kebenaran, ia menjaga shalat
5 waktu, ia dikenal sebagai ulama yang mengikuti sunnah Nabi, ia
memanjangkan janggut, tidak isbal, bebas dari tuduhan dari ulama yang
lain, dan pertanda-pertanda lainnya yang menunjukkan bahwa ia adalah
orang yang istiqamah. Maka jika anda ditunjukkan kepada seorang ulama,
dan dari zhahirnya nampak tanda-tanda kebaikan dan ia pun dikenal
kapasitas ilmunya, silakan bertanya kepadanya tentang hal-hal yang anda
belum paham dalam masalah agama. Alhamdulillah, Allah Ta’ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertaqwalah kepada Allah semaksimal kemampuan kalian” (QS. At Taghabun: 16)
Allah Ta’ala juga berfirman:
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepada orang yang mengetahui jika kalian tidak mengetahui” (QS. Al Anbiya: 7)
[Sampai di sini penjelasan beliau, dikutip dari Fatawa Nurun 'Ala Ad Darb Juz 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar