Total Tayangan Halaman

Minggu, 05 Februari 2012

Hukum Menggunakan Hadits-Hadits Lemah Dalam Keutamaan Amal


1.
Berkata Syaikh Muhadits (ahli hadits) Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah: ”Di kalangan ahli ilmu dan para penuntut ilmu ini telah masyhur bahwa hadits dla’if (lemah) boleh diamalkan dalam fadlailul ‘amal (keutamaan amal). Mereka menyangka bahwa perkara ini tidak diperselisihkan.
Bagaimana tidak, Imam Nawawi rahimahullah menyatakan dalam berbagai kitab beliau bahwa hal ini telah disepakati. (Seperti dalam kitab Arba’in Nawawi, pent.) Tetapi pernyataan beliau itu terbantah karena perselisihan dalam hal ini ma’ruf. Sebagian besar para muhaqiq (=peneliti) berpendapat bahwa hadits dla’if tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam perkara-perkara hukum maupun keutamaan-keutamaan.
Syaikh Al-Qasimi rahimahullah dalam kitab Qawaid At-Tahdits, hal: 94 mengatakan bahwa pendapat tersebut diceritakan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam ‘Uyunul Atsar dari Yahya bin Ma’in dan Fathul Mughits beliau menyandarkannya kepada Abu Bakr bin ‘Arabi. Pendapat ini juga merupakan pendapat Bukhari, Muslim dan Ibnu Hajm.
Saya (Syaikh Al-Albani) katakan bahwa inilah yang benar menurutku, tidak ada keraguan padanya karena bebarapa perkara;pertama: Hadits dla’if hanya mendatangkan sangkaan yang salah (dzanul marjuh). Tidak boleh beramal dengannya berdasarkan kesepakatan. Barangsiapa mengecualikan boleh beramal dengan hadits dla’if dalam keutamaan amal, hendaknya dia mendatangkan bukti, sungguh sangat jauh!. Kedua: Yang aku pahami dari ucapan mereka tentang keutamaan amal yaitu amal-amal yang telah disyari’atkan berdasarkan hadits shahih, kemudian ada hadits lemah yang menyertainya yang menyebutkan pahala khusus bagi orang yang mengamalkannya. Maka hadits dla’if dalam keadaan semacam ini boleh diamalkan dalam keutamaan amal, karena hal itu bukan pensyari’atan amal itu tetapi semata-mata sebagai keterangan tentang pahala khusus yang diharapkan oleh pelakunya. Oleh karena itu ucapan sebagaian ulama dimasukkan seperti ini. Seperti Syaikh Ali Al-Qari rahimahullah dalam Al-Mirqah 2/381 mengatakan bahwa hadits lemah diamalkan dalam perkara keutamaan amal walaupun tidak didukung secara ijma’ sebagaimana keterangan Imam An-Nawawi, yaitu pada amal yang shahih berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Maka dengan dasar inilah maka beramal dengan hadits dla’if diperbolehkan jika telah adanya hadits shahih yang menunjukkan disyari’atkannya amal itu. Akan tetapi kebanyakan orang yang berpendapat seperti itu tidak dimaksudkan makna seperti itu. Buktinya kita menyaksikan mereka beramal dengan hadits-hadits dla’if yang tidak terkandung dalam hadits-hadits shahih, seperti Imam An-Nawawi dan yang mengikutinya menganggap sunnah menjawab ucapan orang yang mengumandangkan iqamah ketika mengucapkan dua kalimat syahadat (=qadqa matis shalah, qadqa matis shalah) dengan ucapan “aqamahala wa adamaha” (=semoga Allah menegakkannya dan melazimkannya), padahal hadits tentang masalah ini adalah dla’if . [Kelemahan hadits ini dapat dilihat pada; Irwa’ul Ghalil 241. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah; Ilmu Ushulil Bida’, hal: 157. Syaikh ‘Ali Hasan bin Adul Hamid.]
Amal ini tidak ditetapkan pensyari’atannya kecuali pada hadits dla’if tersebut. Meskipun demikian mereka menganggap hal itu merupakan suatu sunnah. Padahal perkara sunnah adalah salah satu hukum diantara kelima hukum (yakni: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram) yang harus ditetapkan berdasarkan dalil.
Betapa banyak perkara-perkara yang mereka anggap disyari’atkan dan disunnahkan bagi manusia hanya didasari dengan hadits-hadits lemah yang tidak ada asal pensyari’atannya dalam hadits shahih. Akan tetapi disini tidak mungkin untuk mencantumkan sebagai contoh, cukuplah salah satu contoh yang telah aku sebutkan.
Adapun yang terpenting disini adalah hendaklah orang-orang yang menyelisihi hal ini mengetahui bahwa beramal dengan hadits dla’if dalam perkara keutamaan amal tidak mutlak menurut orang-orang yang berpendapat dengannya. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata dalam Tabyanul Ujab, hal: 3-4 bahwa para ahli ilmu telah bermudah-mudah dalam membawakan hadits-hadits tentang keutamaan amal walaupun memiliki kelemahan selama tidak maudlu’ (=palsu). Seharusnya hal ini diberi syarat yaitu orang yang beramal dengannya menyakini bahwa hadits itu lemah dan tidak memasyhurkannya sehingga orang tidak beramal dengan hadits dla’if dan mensyari’atkan apa yang tidak disyari’atkan atau sebagian orang-orang jahil (=bodoh) menyangka bahwa hadits itu adalah shahih.
Hal ini juga ditegaskan oleh Al-Ustadz Abu Muhammad bin Abdus Salam dan lain-lain.
Hendaknya setiap orang khawatir jika termasuk dalam ancaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam:
(( من حدث عني بحديث يرى أنه كذب فهو أحد الكذبين ))
Barangsiapa menceritakan dariku satu hadits yang dianggap hadits itu dusta, maka dia termasuk seorang pendusta” [Untuk lebih jelasnya lihat permasalahn ini pada kitab Syarh Shahih Muslim, juz: 1, bagian muqadimah. Imam An-Nawawi Ad-Damsiqi rahimahullah.]
Maka bagaimana orang yang mengamalkannya?!. Tidak ada perbedaan antara mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau dalam perkara keutamaan amal, sebab semuanya adalah syari’at.
Inilah tiga syarat penting diperbolehkannya beramal dengan hadits-hadits dla’if dalam keutamaan amal;
- Hadits itu tidak maudlu’ (=palsu).
- Orang yang mengamalkannya mengetahui bahwa hadits itu adalah dla’if.
- Tidak memasyhurkan untuk beramal dengannya.
Akan tetapi sangat disayangkan kita menyaksikan kebanyakan ulama lebih-lebih orang awam meremehkan syarat-syarat ini. Mereka mengamalkan suatu hadits tanpa mengetahui kelemahannya, mereka tidak mengetahui apakah kelemahannya ringan atau sangat parah sehingga (hadits) tersebut tidak boleh diamalkan. Kemudian mereka memasyhurkannya sebagaimana halnya beramal dengan hadits shahih!. Oleh karena itu banyak ibadah-ibadah dikalangan kaum Muslimin yang tidak shahih dan memalingkan mereka dari ibadah-ibadah yang shahih yang diriwayatkan dengan sanad-sanad (=jalan, pent) yang shahih.
Kemudian syarat-syarat tersebut menguatkan pendapat kami bahwa sebagian besar ulama tidak menginginkan makna yang kami anggap kuat tadi, sebab satupun diantara syarat-syarat itu tidak diterapkan sebagaimana yang tanpak.
Menurutku (Syaikh Al-Albani), Al-Hafidz Ibnu Hajar cenderung kepada tidak boleh beramal dengan hadits dla’if berdasarkan ucapan beliau yang telah lewat bahwa tidak ada perbedaan antara mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau dalam keutamaan amal sebab semuanya adalah syari’at.
Inilah yang haq, karena hadits dla’if yang tidak ada penguatnya kemungkinan adalah maudlu’ (=palsu), bahkan umumnya palsu dan mungkar. Hal ini ditegaskan oleh sebagian ulama. Orang yang membawakan hadits dla’if termasuk dalam ucapan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam:”…yang dianggap hadits itu dusta”, yaitu dengan menampakkan demikian. Oleh karena itu Al-Hafidz menambahkan dengan ucapannya:”Maka bagaimana dengan orang yang mengamalkannya”.
Hal ini dikuatkan dengan perkataan Ibnu Hibban bahwa setiap orang yang ragu terhadap apa yang dia riwayatkan, shahih atau tidak shahih, maka dia termasuk dalam hadits ini. Dan kita katakan seperti perkataan Al-Hafidz (Ibnu Hajar):”Maka bagaimanakah dengan orang yang mengamalkannya”.
Inilah penjelas dari maksud ucapan Al-Hafidz Ibnu Hajar tersebut. Adapun jika ucapan beliau dimaksudkan kepada larangan memakai hadits maudlu’ (=palsu) dan tidak ada perbedaan antara perkara hukum dan keutamaan adalah sangat jauh dari konteks ucapan Al-Hafidz, sebab ucapan beliau adalah dalam pembahasan hadits dla’if, bukan maudlu’ sebagaimana hal itu tidak tersembunyi.
Apa yang kami sebutkan tidak menafi’kan (=meniadakan) bahwa Al-Hafidz (Ibnu Hajar) menyebutkan syarat-syarat itu untuk mengamalkan hadits dla’if. Sebab kita katakan bahwa Al-Hafidz menyebutkan perkataan itu kepada orang-orang yang membolehkan memakai hadits dla’if dalam perkara keutamaan selama tidak maudlu’ (=palsu). Seakan-akan beliau berkata kepada mereka:”Jika kalian berpendapat demikian, maka seharusnya kalian menerapkan syarat-syarat ini”.
Al-Hafidz tidaklah menyatakan dengan tegas bahwa dia menyetujui mereka dalam membolehkan (beramal dengan hadits-hadits yang dla’if) dengan syarat-syarat itu. Bahkan diakhir ucapan beliau menegaskan sebaliknya seperti yang telah kami terangkan.
Kesimpulannya, bahwa beramal dengan hadits dla’if dalam perkara keutamaan amal tidak diperbolehkan sebab menyelisihi hukum asal dan tidak ada dalilnya. Orang yang membolehkannya harus memperhatikan syarat-syarat itu ketika mengamalkan hadits dla’if, Wallahu Muwaffiq. Demikian perkataan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. [Tamamul Minah Fii Ta’liq Fiqh Sunnah, hal: 34-38. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Dinukil dari majalah Salafy edisi: XXIII/Ramadlan/1418H/1996, hal: 23-25.]
2. Hadits-Hadits Lemah Hisnul Muslim
1. Do’a Ketika Masuk Rumah.
بسم الله ولجنا, وبسم الله خرجنا, وعلى ربنا توكلنا… {أخرجه أبو داود 4/325)
Dengan menyebut nama Allah kami masuk (ke rumah), dan dengan nama Allah kami keluar (darinya) dan kepada Rabb kami, kami bertawakal…” (HR. Abu Dawud 4/325)
ط Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam kitab Dla’if Abi Dawud no. 5096; Al-Kalamut Thayyib no. 62.
Ucapan salam ketika memasuki rumah merupakan perintah Allah Ta’ala, hal ini sebagaimana firman-Nya:
فإذا دخلتم بيوتا فسلموا على أنفسكم تحيتة من عند الله مباركة طيبة {سورة النور:61)
Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkah lagi baik” (QS. An-Nuur: 61).
2. Do’a Al-Istiftah.
الله أكبرا كبيرا, الله أكبرا كبيرا, الله أكبرا كبيرا, والحمد لله كثيرا, والحمد لله كثيرا, والحمد لله كثيرا, وسبحان الله بكرة وأصيلا {ثلاثا} أعوذ بالله من الشيطان: من نفخه, ونفثه, وهمزه (أخرجه أبو داود 1/ 203؛ إبن ماجة 1/256؛ أحمد 4/85)
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak. Maha Suci Allah di waktu pagi dan sore” (dibaca 3 kali). “Aku berlindung kepada Allah dari tiupan, bisikan dan godaan Syaithan” (HR. Abu Dawud 1/203; Ibnu Majah 1/256; Ahmad 4/85).
ط Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Dla’if Abu Dawud no. 764; Dla’if Ibnu Majah no. 155; Al-Misykah no. 817; Irwa’ul Ghalil no. 342.
3. Dzikir-dzikir di Waktu Pagi dan Sore.
اللهم إني أصبحت أشهدك وأشهد حملة عرشك, وملائكتك وجميع خلقك, أنك أنت الله لا إله إلا أنت وحدك لا شريك لك, وأن محمدا عبدك ورسولك {أربع مرات} (أخرجه أبو داود 4/317؛ البخاري في الأدب المفرد برقم: 1201؛ النسائي في عمل اليوم والليلة برقم: 9؛ إبن السني برقم: 70)
Ya Allah! Sesungguhnya aku di waktu pagi mempersaksikan Engkau malaikat yang memikul Arsy-Mu, malaikat-malaikat dan seluruh makhluk-Mu, sesungguhnya Engkau adalah Allah, Tiada Rabb kecuali Engkau Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Mu dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu” (dibaca 4 kali) (HR. Abu Dawud 4/317; Bukhari dalamAdabul Mufrad no. 1201; An-Nasa’I dalam ‘Amal Al-Yaum Wa Al-Lailah no. 9; Ibnu Sinni no. 70).
ط Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Dla’if Adabul Mufrad no. 1201; Dla’if Jami’ Ash-Shaghir no. 5729; Al-Kalamut Thayyib no. 25; Ad-Dla’ifah no. 1041
Dan juga hadits:
اللهم ما أصبح بي من نعمة أو بأحد من خلقك فمنك وحدك لا شريك لك, فلك الحمد ولك الشكر (أخرجه أبو داود 4/318؛ النسائي في عمل اليوم والليلة برقم: 7؛ إبن السني برقم: 41؛ إبن حبان رقم: 2361)
Ya Allah! Nikmat yang kuterima atau diterima oleh seseorang diantara makhluk-Mu di pagi ini adalah dari-Mu. Maha Esa Engkau, tiada sekutu bagi-Mu, segala puji dan syukur kepada-Mu” (HR. Abu Dawud 4/318; An-Nasa’I dalam ‘Amal Al-Yaum Wa Al-Lailah no. 7; Ibnu Sinni no. 41; Ibnu Hibban no. 2361).
ط Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Dla’if Jami’ Ash-Shaghir no. 5730; Kalamut Thayyib no. 26.
Dan juga hadits:
eحسبي الله لا إله ألا هو عليه توكلت وهو رب العرش العظيم {سبع مرات} (أخرجه إبن السني برقم: 71؛ أبو داود 4/321)
Allah-lah yang mencukupi (segala kebutuhanku), tidak ada Rabb kecuali Dia, kepada-Nya aku bertawakal. Dialah Rabb yang menguasai Arsy yang agung” (dibaca 7 kali) (HR. Ibnu Sinni no. 71; Abu Dawud 4/321)
ط Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ad-Dla’ifah no. 5286 bahkan hadits ini Maudlu’ [Lihat Dla’if Abi Dawud no. 5081.]
Dan juga hadits:
رضيت بالله ربا, وبالإسلام دينا, وبمحمد –صلى الله عليه وسلم- نبيا {ثلاث مرات} (أخرجه أحمد 4/337؛ النسائي في عمل اليوم والليلة برقم: 4؛ إبن السني برقم: 68؛ أبو داود 4/418؛ الترمذي 5/465)
Aku ridlo Allah adalah Rabb-ku, Islam adalah agamaku, dan Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam adalah nabiku” (dibaca 3 kali) (HR. Ahmad 4/337; An-Nasa’I dalam ‘Amal Al-Yaum Wa Al-Lailah no. 4; Ibnu Sinni no. 68; Abu Dawud 4/418; At-Tirmidzi 5/465)
ط Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Dla’if Jami’ Ash-Shaghir no. 5734; Al-Misykah no. 2399; Kalamut Thayyib no. 24; Ad-Dla’ifah no. 5020; Shahih wa Dla’if Sunan At-Tirmidzi no. 3389.
Dan juga hadits:
أصبحنا وأصبح الملك لله رب العالمين, اللهم إني أسألك خير هذا اليوم: فتحه, ونصره ونوره, وبركته, وهداه, وأعوذ بك من شر ما فيه وشر ما بعده (أخرجه أبو داود 4/322)
Kami masuk pagi, sedang kerajaan hanya milik Allah, Rabb seru sekalian alam. Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu agar memperoleh kebaikan, pembuka (rahmat), pertolongan, cahaya, berkah dan petunjuk di hari ini. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan apa yang ada didalamnya dan kejahatan sesudahnya” (HR. Abu Dawud 4/322)
ط Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dla’ifah no. 5606 dan Dla’if Sunan Abi Dawud no. 5084.
4. Dzikir-dzikir Ketika Tidur.
اللهم قني عذابك يوم تبعث عبادك {ثلاث مرات} (أخرجه أبو داود 4/311؛ أنظر صحيح الترمذي 3/143)
Ya Allah! Jauhkanlah aku dari siksaan-Mu pada hari Engkau membangkitkan hamba-hamba-Mu” (dibaca 3 kali) (HR. Abu Dawud 4/311 dan ini merupakan lafadznya. Lihat Shahih At-Tirmidzi 3/143).
ط Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam As-Shahihah no. 2754; Shahih Adabul Mufrad no. 1215 jika tidak ada penambahan kalimat “dibaca 3 kali”.
Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah:”Sedangkan penambahan kalimat ‘dibaca 3 kali’ adalah mungkar atau syadz. Sesungguhnya hadits ini telah dishahihkan oleh Al-Hafidz dan orang-orang yang taqlid kepadanya pada jaman sekarang…” . [Lihat Ta’liq pada kitab Shahih Adabul Mufrad, hal: 470]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar