Hadits Mengerak-gerakan Jari Telunjuk Ketika Shalat
Hadits Mengerakan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud
Pertanyaan Pertama:
Terlihat
dalam praktek sholat, ada sebagaian orang yang menggerak-gerakkan jari
telunjuknya ketika tasyahud dan ada yang tidak menggerak-gerakkan. Mana
yang paling rajih (kuat) dalam masalah ini dengan uraian dalilnya?
Jawab :
Fenomena
semacam ini yang berkembang luas di tengah masyarakat merupakan satu
hal yang perlu dibahas secara ilmiah. Mayoritas masyarakat yang jauh
dari tuntunan agamanya, ketika mereka berada dalam perbedaan-perbedaan
pendapat dalam masalah agama sering disertai dengan debat mulut dan
mengolok-olok yang lainnya sehingga kadang berakhir dengan permusuhan
atau perpecahan. Hal ini merupakan perkara yang sangat tragis bila
semua itu hanya disebabkan oleh perselisihan pendapat dalam masalah
furu’ belaka, padahal kalau mereka memperhatikan karya-karya para ulama
seperti kitab Al-Majmu‘ Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam An-Nawawy,
kitab Al-Mughny karya Imam Ibnu Quda mah, kitab Al-Ausath karya Ibnul
Mundzir, Ikhtilaful Ulama karya Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dan
lain-lainnya, niscaya mereka akan menemukan bahwa para ulama juga
memiliki perbedaan pendapat dalam masalah ibadah, muamalah dan
lain-lainnya, akan tetapi hal tersebut tidaklah menimbulkan perpecahan
maupun permusuhan diantara mereka. Maka kewajiban setiap muslim dan
muslimah adalah mengambil segala perkara dengan dalilnya. Wallahul
Musta’an.
Adapun
masalah menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud atau tidak
mengerak-gerakkannya, rincian masalahnya adalah sebagai berikut :
Hadits-hadits yang menjelaskan tentang keadaan jari telunjuk ketika tasyahud ada tiga jenis :
1.Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali.
2.Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan.
3.Ada
yang menjelaskan bahwa jari telunjuk hanya sekedar diisyaratkan
(menunjuk) dan tidak dijelaskan apakah digerak-gerakkan atau tidak.
Perlu
diketahui bahwa hadits-hadits yang menjelaskan tentang keadaan jari
telunjuk kebanyakannnya adalah dari jenis yang ketiga dan tidak ada
perbedaan pendapat dikalangan para ulama dan tidak ada keraguan lagi
tentang shohihnya hadits-hadits jenis yang ketiga tersebut, karena
hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Imam Muslim
dan lain-lainnya, dari beberapa orang sahabat seperti ‘Abdullah bin
Zubair, ‘Abdullah bin ‘Umar, Abu Muhammad As-Sa‘idy, Wa`il bin Hujr,
Sa’ad bin Abi Waqqash dan lain-lainnya. Maka yang perlu dibahas di sini
hanyalah derajat hadits-hadits jenis pertama (tidak digerakkan sama
sekali) dan derajat hadits yang kedua (digerak-gerakkan).
Hadits-Hadits
yang Menyatakan Jari Telunjuk Tidak Digerakkan Sama Sekali. Sepanjang
pemeriksaan kami ada dua hadits yang menjelaskan hal tersebut.
Hadits Pertama
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ إِذَا دَعَا وَلاَ يُحَرِّكُهَا
“Sesungguhnya
Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam beliau berisyarat dengan telunjuknya
bila beliau berdoa dan beliau tidak mengerak-gerakkannya”.
Hadits
ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya no.989, An-Nasai dalam
Al-Mujtaba 3/37 no.127, Ath-Thobarany dalam kitab Ad-Du’a no.638,
Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/177-178 no.676. Semuanya
meriwayatkan dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari
Muhammad bin ‘Ajlan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair dari ayahnya
‘Abdullah bin Zubair… kemudian beliau menyebutkan hadits di atas.
Derajat Rawi-Rawi Hadits Ini sebagai Berikut::
Hajjaj
bin Muhammad. Beliau rawi tsiqoh (terpercaya) yang tsabt (kuat) akan
tetapi mukhtalit (bercampur) hafalannya diakhir umurnya, akan tetapi
hal tersebut tidak membahayakan riwayatnya karena tidak ada yang
mengambil hadits dari beliau setelah hafalan beliau bercampur. Baca :
Al-Kawa kib An-Nayyirot, Tarikh Baghdad dan lain-lainnya.•
Ibnu
Juraij. Nama beliau ‘Abdul Malik bin ‘Abdil ‘Aziz bin Juraij Al-Makky
seorang rawi tsiqoh tapi mudallis akan tetapi riwayatnya disini tidak
berbahaya karena beliau sudah memakai kata A khbarani (memberitakan
kepadaku). •
Muhammad bin ‘Ajlan. Seorang rawi shoduq (jujur).•
‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair. Kata Al-Hafidz dalam Taqrib beliau adalah tsiqoh ‘abid (terpercaya, ahli ibadah).• ‘
Abdullah bin Zubair. Sahabat.
Derajat Hadits
Rawi-rawi
hadits ini adalah rawi yang dapat dipakai berhujjah akan tetapi hal
tersebut belumlah cukup menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang
shohih atau hasan sebelum dipastikan bahwa hadits ini bebas dari ‘Illat
(cacat) dan tidak syadz. Dan setelah pemeriksaan ternyata lafadz laa
yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) ini adalah lafadz yang syadz.
Sebelum
kami jelaskan dari mana sisi syadznya lafadz ini, mungkin perlu kami
jelaskan apa makna syadz menurut istilah para Ahlul Hadits. Syadz
menurut pendapat yang paling kuat dikalangan Ahli Hadits ada dua bentuk
:
• Pertama: Syadz karena seorang rawi yang tidak mampu bersendirian dalam periwayatan karena beberapa faktor.
• Syadz karena menyelisihi. Dan yang kami maksudkan disini adalah yang kedua. Dan pengertian syadz dalam bentuk kedua adalah
رِوَايَةُ الْمَقْبُوْلِ مُخَالِفًا لِمَنْ هُوَ أَوْلَى مِنْهُ
“Riwayat seorang maqbul (yang diterima haditsnya) menyelisihi rawi yang lebih utama darinya”.
Maksud
“rawi maqbul” adalah rawi derajat shohih atau hasan. Dan maksud “rawi
yang lebih utama” adalah utama dari sisi kekuatan hafalan, riwayat atau
dari sisi jumlah. Dan perlu diketahui bahwa syadz merupakan salah satu
jenis hadits dho’if (lemah) dikalangan para ulama Ahli Hadits.
Maka
kami melihat bahwa lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan)
adalah lafadz yang syadz tidak boleh diterima sebab ia merupakan
kekeliruan dan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajlan dan kami menetapkan
bahwa ini merupakan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajl an karena beberapa
perkara :
1.Muhammad
bin ‘Ajl an walaupun ia seorang rawi hasanul hadits (hasan hadits) akan
tetapi ia dikritik oleh para ulama dari sisi hafalannya.
2.Riwayat Muhammad bin ‘Ajl an juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dan dalam riwayat tersebut tidak ada penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) .
3.Empat orang tsiqoh (terpercaya) meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Ajl an dan mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Empat rawi tsiqoh tersebut adalah :
a.Al-Laits bin Sa’ad, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133 dan Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/131.
b.Abu
Kha lid Al-Ahmar, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133, Ibnu Abi
Syaibah 2/485, Abu Ahmad Al-Hakim dalam Syi’ar Ashabul Hadits hal.62,
Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/370 no.1943, Ibnu Abdil Bar
dalam At-Tamhid 13/194, Ad-Daraquthny dalam Sunannya 1/349, dan
Al-Baihaqy 2/131, ‘Abd bin Humaid no.99.
c.Yahya
bin Sa’id Al-Qothth on, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud no.990,
An-Nasai 3/39 no.1275 dan Al-Kubro 1/377 no.1198, Ahmad 4/3, Ibnu
Khuzaimah 1/350 no.718, Ibnu Hibban no.1935, Abu ‘Awanah 2/247 dan
Al-Baihaqy 2/132.
d.Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ad-Darimy no.1338 dan Al-Humaidy dalam Musnadnya 2/386 no.879.
e.Demikianlah
riwayat empat rawi tsiqoh tersebut menetapkan bahwa riwayat sebenarnya
dari Muhammad bin ‘Ajlan tanpa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak
digerak-gerakkan). Akan tetapi, Muhammad bin ‘Ajlan dalam riwayat Ziyad
bin Sa’ad keliru lalu menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak
digerak-gerakkan).
4.Ada
tiga orang rawi yang juga meriwayatkan dari ‘ Amir bin ‘Abdullah bin
Zubair sebagaimana Muhammad bin ‘Ajlan juga meriwayatkan dari ‘Amir ini
akan tetapi tiga orang rawi tersebut tidak menyebutkan lafadz laa
yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) , maka ini menunjukkan bahwa
Muhammad bin ‘Ajlan yang menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak
digerak-gerakkan) telah menyelisihi tiga rawi tsiqoh tersebut, oleh
karenanya riwayat mereka yang didahulukan dan riwayat Muhammad bin ‘Ajlan dianggap syadz karena menyelisihi tiga orang tersebut.
Tiga orang ini adalah :
a.‘Utsman bin Hakim,
riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim no.112, Abu Daud no.988, Ibnu
Khuzaimah 1/245 no.696, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194-195 dan
Abu ‘Aw anah 2/241 dan 246.
b.Ziyad bin Sa’ad, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/386 no.879.
c.Makhromah bin Bukair, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nas ai 2/237 no.1161 dan Al-Baihaqy 2/132.
Maka tersimpul dari sini bahwa penyebutan lafadz
laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dalam hadits ‘Abdullah bin
Zubair adalah syadz dan yang menyebabkan syadznya adalah Muhammad bin
‘Ajlan. Walaupun sebenarnya kesalahan ini bisa berasal dari Ziyad bin
Sa’ad atau Ibnu Juraij akan tetapi qorinah (indikasi) yang tersebut di
atas sangat kuat menunjukkan bahwa kesalahan tersebut berasal dari
Muhammad bin ‘Ajl an. Wallahu A’lam.
Hadits Yang Kedua
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَيُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ وَلاَ يُحَرِّكُهَا وَيَقُوْلُ إِنَّهَا مُذِبَّةُ الشَّيْطَانِ وَيَقُوْلُ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عََلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
“Dari
Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan
kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas
lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak
menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga
dari Syaithon”. Dan beliau berkata : “Adalah Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasalam mengerjakannya”.
Hadits
ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448 dari jalan
Katsir bin Zaid dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu Hibban.
Derajat Hadits
Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid.
Para
ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan
yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat
menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti`u katsiran
(jujur tapi sangat banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah
dho’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat
(cacat) yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah
melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.
Pertama:
Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi
Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang
nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi
Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin
‘Abdirrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar.
Tujuh rawi tersebut adalah :
1.Imam Malik,
riwayat beliau dalam Al-Muwaththo’ 1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi
Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban
sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243, Sunan
Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.
2.Isma‘il bin Ja’far bin Abi Katsir,
riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah
1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan
Al-Baihaqy 2/132.
3.Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar 131/26.
4.Yahya bin Sa’ id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.
5.Wuhaib bin Kh alid,
riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.6. ‘Abdul
‘Azi z bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh
Al-Humaidy 2/287 no.648.
7.Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.
Kedua :
Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha
(tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab :
a.Enam rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) .
b.Dalam
riwayat Ayyub As-Sikhtiany : ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-’Umary dari Nafi’
dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak
digerak-gerakkan) . Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580,
At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913,
Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130
dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan
Ath-Thobara ny dalam Ad-Du’a no.635.
Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar. Wallahu A’lam.
Kesimpulan: Seluruh hadits yang menerangkan jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali adalah hadits yang lemah tidak bisa dipakai berhujjah .
Hadits-Hadits yang Menyatakan Bahwa Jari Telunjuk Digerak-Gerakkan
Sepanjang pemeriksaan kami, hanya ada satu hadits yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan yaitu hadits Wa`il bin Hujr dan lafadznya sebagai berikut :
ثُمَّ قَبَضَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ فَحَلَقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهِِ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُوْ بِهَا
Kemudian
beliau menggenggam dua jari dari jari-jari beliau dan membuat
lingkaran, kemudian beliau mengangkat jarinya (telunjuk-pent.), maka
saya melihat beliau mengerak-gerakkannya berdoa dengannya”.
“Hadits
ini diriwayatkan oleh Ahmad 4/318, Ad-Darimy 1/362 no.1357, An-Nasai
2/126 no.889 dan 3/37 no.1268 dan dalam Al-Kubro 1/310 no.963 dan 1/376
no.1191, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa’ no.208, Ibnu Hibban sebagaimana
dalam Al-Ihsan 5/170 no.1860 dan Al-Mawarid no.485, Ibnu Khuzaimah
1/354 no.714, Ath-Thobarany 22/35 no.82, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib
Al-Baghda dy dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/425-427. Semuanya
meriwayatkan dari jalan Za`idah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Kulaib bin
Syih ab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr.
Derajat Hadits
Zhohir sanad hadits ini adalah hasan, tapi sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa sanad hadits yang hasan belum tentu selamat dari ‘illat (cacat) dan syadz.
Berangkat dari sini perlu diketahui oleh pembaca bahwa hadits ini juga syadz
dan penjelasannya adalah bahwa : Za`idah bin Qudamah adalah seorang
rawi tsiqoh yang kuat hafalannya akan tetapi beliau telah menyelisihi
dua puluh dua orang rawi yang mana kedua puluh dua orang rawi ini
semuanya tsiqoh bahkan sebagian dari mereka itu lebih kuat kedudukannya
dari Za`idah sehingga apabila Za`idah menyelisihi seorang saja dari
mereka itu maka sudah cukup untuk menjadi sebab syadznya riwayat
Za`idah.
Semuanya meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Dan dua puluh dua rawi tersebut tidak ada yang menyebutkan lafadz yuharrikuha (digerak-gerakkan) .
Dua puluh dua rawi tersebut adalah:
1.Bisyr bin Al-Mufadhdhal,
riwayatnya dikeluarkan oleh Abu D aud 1/465 no.726 dan 1/578 no.957 dan
An-Nasai 3/35 no.1265 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1188 dan Ath-Thobara
ny 22/37 no.86.
2.Syu’bah bin Hajjaj,
riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam
Shohihnya 1/345 no.697 dan 1/346 no.689, Ath-Thobar any 22/35 no.83 dan
dalam Ad-Du’a n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj
1/430-431.
3.Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, An-Nas ai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.
4.Sufyan
bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nas ai 2/236 no.1195 dan
3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392 no.885
dan Ad-Daraquthny 1/290, Ath-Thobar any 22/36 no.85 dan Al-Khatib dalam
Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/427.
5.‘Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu M ajah 1/295 no.912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu Hibban no.1936.
6.‘Abdul Wa hid bin Ziyad, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/434.
7.Zuhair bin Mu’ awiyah,
riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, Ath-Thobarany 22/26 no.84 dan
dalam Ad-Du’a no.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj
1/437.
8.Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahh an,
riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar
1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj
1/432-433.
9.Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/353 no.713.
10.Sallam bin Sulaim,
riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thoy alisi dalam Musnadnya no.1020,
Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Ath-Thobarany 22/34
no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/431-432.
11.Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobar any 22/38 no.90 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432.
12.Ghailan bin J ami’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.
13.Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobar any 22/33 no.79.
14.Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.89.
15.‘Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobar any 22/37 no.87.
16.Musa bin Abi ‘ Aisyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.637.
17.Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no. 637.
18.Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435.
19.‘Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436.
20.Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/433.
21.‘Abdul ‘Azi z bin Muslim, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.
22.Abu Badr Syuj a‘ bin Al-Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.
Dari
uraian di atas jelaslah bahwa riwayat Za`idah bin Qudamah yang
menyebutkan lafadz Yuharikuha (digerak-gerakkan) adalah syadz.
Kesimpulan: Penyebutan
lafazh yuharrikuha (jari telunjuk digerak-gerakkan) dalam hadits Wa’il
bin Hujr adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah . Wallahu A’lam.
<<<<Pendapat Para Ulama dalam Masalah Ini>>>>
Para
ulama berbeda pendapat dalam masalah mengerak-gerakkan jari telunjuk
ketika tasyahud dan perbedaan tersebut terdiri dari tiga pendapat :
Pertama:
Tidak digerak-gerakkan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan pendapat
yang paling kuat dikalangan orang-orang Syafiiyyah dan Hambaliyah dan
ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm.
Kedua:
Digerak-gerakkan. Dan ini merupakan pendapat yang kuat dikalangan
orang-orang Malikiyyah dan disebutkan oleh Al-Qodhi Abu Ya’la dari
kalangan Hambaliyah dan pendapat sebagian orang-orang Hanafiyyah dan
Syafiiyyah.
Ketiga:
Ada
yang mengkompromikan antara dua hadits di atas. Syaikh Ibnu Utsaimin
-rahimahullahu ta’ala- dalam Syarah Zaad Al-Mustaqni’ mengatakan bahwa
digerak-gerakkan apabila dalam keadaan berdoa, kalau tidak dalam
keadaan berdoa tidak digerak-gerakkan. Dan Syaikh Al-Albany –
rahimahullahu ta’ala- dalam Tamamul Minnah mengisyaratkan cara kompromi
lain yaitu kadang digerakkan kadang tidak. Sebab perbedaan pendapat ini
adalah adanya dua hadits yang berbeda kandungan maknanya, ada yang
menyebutkan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan dan ada yang
menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan.
“Namun,
dari pembahasan di atas yang telah disimpulkan bahwa hadits yang
menyebutkan jari digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah dan demikian
pula hadits yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan adalah hadits
yang lemah.”
Adapun
cara kompromi yang disebutkan dalam pendapat yang ketiga itu bisa
digunakan apabila dua hadits tersebut di atas shohih bisa dipakai
berhujjah tapi karena dua hadits tersebut adalah hadits yang lemah maka
kita tidak bisa memakai cara kompromi tersebut, apalagi hadits yang
shohih yang telah tersebut di atas bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi
wasalam hanya sekedar berisyarat dengan jari telunjuk beliau.
Maka
yang akan kita bahas disini adalah apakah pada lafadz … (Arab) yang
artinya berisyarat terdapat makna mengerak-gerakkan atau tidak.
Penjelasannya adalah bahwa kata “berIsyaratt” itu mempunyai dua kemungkinan:
Pertama:
Dengan digerak-gerakkan. Seperti kalau saya memberikan isyarat kepada
orang yang berdiri untuk duduk, maka tentunya isyarat itu akan disertai
dengan gerakan tangan dari atas ke bawah.
Kedua:
Dengan tidak digerak-gerakkan. Seperti kalau saya berada dalam maktabah
(perpustakaan) kemudian ada yang bertanya kepada saya : “Dimana letak kitab Shohih Al-Bukhory?”
Maka tentunya saya akan mengisyaratkan tangan saya kearah kitab Shohih
Al-Bukhory yang berada diantara sekian banyak kitab dengan tidak
menggerakkan tangan saya.
Walaupun kata “berisyarat”
itu mengandung dua kemungkinan tapi disini bisa dipastikan bahwa
berisyarat yang diinginkan dalam hadits tersebut adalah berisyarat
dengan tidak digerak-gerakkan. Hal tersebut bisa dipastikan karena dua
perkara :
Pertama:
Ada kaidah di kalangan para ulama yang mengatakan bahwa Ash Sholatu
Tauqifiyah (sholat itu adalah tauqifiyah), maksudnya adalah tata cara
sholat itu dilaksanakan kalau ada dalil dari Al-Qur’an maupun
As-Sunnah. Maka hal ini menunjukkan bahwa asal dari sholat itu adalah
tidak ada gerakan di dalamnya kecuali kalau ada tuntunan dalilnya dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan demikian pula berisyarat dengan jari
telunjuk, asalnya tidak digerakkan sampai ada dalil yang menyatakan
bahwa jari telunjuk itu diisyaratkan dengan digerakkan dan telah
disimpulkan bahwa berisyarat dengan menggerak-gerakkan jari telunjuk
adalah hadits lemah. Maka yang wajib dalam berisyarat itu dengan tidak
digerak-gerakkan.
Kedua: Dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary N0. dan Imam Muslim No.538 :
إِنَّ فِي الصَّلاَةِ شُغْلاً
”Sesungguhnya di dalam sholat adalah suatu kesibukan”
Maka
ini menunjukkan bahwa seorang muslim apabila berada dalam sholat ia
berada dalam suatu kesibukan yang tidak boleh ditambah dengan suatu
pekerjaan yang tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an atau hadits Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasalam yang shohih.
Kesimpulan: Tersimpul
dari pembahasan di atas bahwa pendapat yang rojih tentang keadaan jari
telunjuk dalam berisyarat (menunjuk) ketika tasyahud adalah tidak
digerak-gerakkan. Wallahu A’lam.
Lihat
pembahasan di atas dalam :• Kitab Al-Bisyarah Fi Syudzudz Tahrik
Al-Usbu’ Fi Tasyahud Wa Tsubutil Isyarah , Al-Muhalla karya Ibnu Hazm
4/151, Subulus Salam 1/189, Nailul Authar, ‘Aunul Ma’bud 3/196, Tuhfah
Al-Ahwadzy 2/160. • Madzhab Hanafiyah lihat dalam: Kifayah Ath-Tholib
1/357.• Madzhab Malikiyah: Ats-Tsamar Ad Dany 1/127, Hasyiah Al-Adawy
1/356, Al-Fawakih Ad-Dawany 1/192.• Madzhab Syafiiyyah dalam: Hilyah
Al-Ulama 2/105, Raudhah Ath-Tholibin 1/262, Al-Majmu‘ 3/416-417,
Al-Iqna‘ 1/145, Hasyiah Al-Bujairamy 1/218, Mughny Al-Muht aj 1/173.•
Madzhab Hambaliyah lihat dalam: Al-Mubdi’ 1/162, Al-Furu‘ 1/386,
Al-Inshaf 2/76, Kasyful Qon a 1/356-357.
Pertanyaan Kedua:
Dikalangan
masyarakat ada sebagian orang yang berisyarat dengan jari telunjuknya
pada saat duduk antara dua sujud sebagaimana berisyarat dengan jari
telunjuk pada saat tasyahud, apakah hal tersebut ada tuntunan dalilnya
dari hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam ?.
Jawab:
Ada hadits yang menjelaskan tentang hal tersebut, yaitu hadits Wa`il bin Hujr yang berbunyi :“Saya
melihat Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam takbir lalu beliau mengangkat
tangannya ketika takbir, yakni beliau memulai sholat dan beliau
mengangkat kedua tangannya ketika beliau takbir dan mengangkat kedua
tangannya ketika beliau ruku’ dan mengangkat tangannya ketika beliau
berkata : “Samiallahu liman hamidah” dan beliau sujud kemudian
meletakkan tangannya sejajar dengan kedua telinga beliau kemudian
beliau sujud … kemudian beliau duduk membaringkan kaki kirinya kemudian
beliau meletakkan kedua tangannya, yang kiri di atas lututnya yang kiri
dan meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya kemudian beliau
berisyarat dengan jari telunjuknya dan meletakkan ibu jari di atas jari
tengah kemudian beliau menggenggam seluruh jari-jarinya kemudian beliau
sujud …”.
Hadits
ini diriwayatkan oleh ‘Abdur Razza q dalam Al-Mushonnaf 2/68 no.2522,
Ahmad dalam Musnad nya 4/317 dan lafadz di atas adalah lafadz beliau,
Ath-Thobarany 22/34 no.81 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Al-Fashl Li
Washil Mudraj 1/429-430. Semua meriwayatkan dari ‘Abdur Razzaq dari
Sufyan Ats-Tsaury dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Wa`il bin
Hujr. Hadits ini merupakan kunci penyelesaian dalam permasalahan ini,
apabila hadits ini shohih (bisa diterima) maka berisyarat dengan
telunjuk dalam duduk antara dua sujud adalah perkara yang disyariatkan
tapi sebaliknya bila hadits ini lemah maka artinya perkara tersebut
tidaklah disyariatkan, karena itulah kami mengajak untuk melihat
derajat hadits ini.
Derajat Hadits Berisyarat Saat Duduk Diantara Dua Sujud
Telah
dijelaskan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh ‘ Ashim bin Kulaib dari
ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Dan yang meriwayatkan dari ‘Ashim bin
Kulaib ada 23 orang rawi dimana 23 orang rawi ini sepakat menyebutkan
bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam berisyarat dengan jari
telunjuknya, akan tetapi ada tiga bentuk riwayat yang menjelaskan
tempat berisyarat dengan telunjuk pada riwayat mereka :
1.Ada
riwayat yang menjelaskan bahwa tempat berisyarat hanya ketika tasyahud
dan hal ini tersebut dalam riwayat Musa bin Abi Kats ir dan sebagian
riwayat Syu’bah bin Hajjaj, Ibnu ‘Uyainah dan ‘Abdullah bin Idris.
2.Riwayat
yang tidak menjelaskan dimana letak berisyarat dengan telunjuk tersebut
tapi Zhohirnya hal tersebut dalam tasyahud. Bisa dilihat dalam riwayat
Bisyr bin Mufadhdhal, Sufy an Ats-Tsaury, ‘Abdul Wahid bin Ziyad,
Zuhair bin Mu’awiyah, Khalid bin ‘Abdullah Ath-Thahhan, Muhammad bin
Fudhail, Sallam bin Sulaim, Abu ‘Awanah, Ghailan bin J ami’, Qois bin
Rabi’, Musa bin Abi Katsir.
3.Dua
riwayat di atas diselisihi oleh ‘Abdur Razzaq dalam periwayatannya dari
Sufyan Ats-Tsaury dari ‘Ashim dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr kemudian
menyebutkan isyarat dengan jari telunjuk pada duduk antara dua sujud.
Dari
uraian di atas sangat jelas bahwa riwayat ‘Abdur Razz aq dari Sufyan
Ats-Tsaury yang menjelaskan bentuk ketiga. Telah meyelisihi riwayat 22
orang rawi yang menjelaskan bentuk pertama maupun kedua. Maka bisa
dipastikan bahwa riwayat ‘Abdur Razzaq terdapat kesalahan yang
menyebabkan penyebutan berisyarat dengan telunjuk ketika duduk antara
dua sujud dianggap syadz, sehingga riwayat ini tidak bisa diterima.
Kesalahan yang terjadi dalam hadits ini mungkin berasal dari Sufyan
Ats-Tsaury dan mungkin dari ‘Abdur Razzaq.
Akan tetapi, meletakkan kesalahan pada ‘Abdur Razzaq adalah lebih beralasan karena dua hal :
Pertama:
‘Abdur Razz aq walaupun seorang rawi tsiqoh (terpercaya) dan hafidz
(seorang penghafal), tetapi beliau mempunyai awham
(kesalahan-kesalahan) yang menyebabkan sebagian para ulama mengkritik
beliau.
Kedua:
‘Abdur Razzaq telah menyelisihi dua rawi dari Sufyan Ats-Tsaury yang
kedua rawi meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsaury dan menyebutkan isyarat
pada duduk antara dua sujud.
Dua rawi tersebut adalah :
1.Muhammad
bin Yusuf Al-Firy aby, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 3/35
no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no. 1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.
2.‘Abdullah bin Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318.
Riwayat
dua orang rawi ini khususnya Al-Firy aby yang termasuk orang yang
paling hafal riwayat-riwayat Sufyan Ats-Tsaury, semakin menguatkan
bahwa riwayat ‘Abdur Razzaq adalah riwayat syadz. Maka jelaslah
lemahnya riwayat ini yang dijadikan sebagai dalil disyariatkannya
berisyarat dengan telunjuk pada duduk antara dua sujud. Karena itulah
riwayat ini telah dilemahkan oleh dua orang ulama besar ahli hadits
zaman ini yaitu Syaikh Al-Albany -rahimahullahu ta’ala- dan Syaikh
Muqbil bin Hady Al-Wadi’iy -rahimahullahu ta’ala-.
Kesimpulan
: Tidak disyariatkan mengangkat telunjuk pada saat duduk antara dua
sujud karena hadits yang menjelaskan hal tersebut adalah hadits syadz
(lemah).
Lihat : Al-Bisyarah hal.75-77 dan Tamamul Minnah hal.214-216.
Pertanyaan Ketiga :
Apakah
ada tuntunan dalam hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam
ketentuan bahwa ketika disebutkan(), jari telunjuk mulai diangkat pada
ucapan () (tepatnya di ucapan huruf hamzah) ?.
Jawab:
Madzhab
kebanyakan orang-orang Syafiiyyah menyatakan bahwa disunnahkan
berisyarat dengan jari telunjuk kemudian diangkat jari telunjuk
tersebut ketika mencapai kata hamzah) dari kalimat (). Hal ini
disebutkan oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu‘ 3/434 dan dalam Minhaj
Ath-Tholibin hal.12.Dan hal yang sama disebutkan oleh Imam Ash-Shon’
any dalam Subulus Salam 1/362 dan beliau tambahkan bahwa hal tersebut
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqy. Namun tidak
ada keraguan bahwa yang disyariatkan dalam hal ini adalah mengangkat
jari telunjuk dari awal tasyahud hingga akhir. Hal ini berdasarkan
hadits-hadits shohih yang sangat banyak jumlahnya yang telah tersebut
sebagiannya pada jawaban pertanyaan no.1 yang menjelaskan bahwa Nabi
Shalallahu ‘alaihi wasalam ketika duduk tasyahud beliau menggenggam
jari-jari beliau lalu membuat lingkaran kemudian mengangkat
telunjuknya, maka dzohir hadits ini menunjukkan beliau mengangkat jari
telunjuk dari awal tasyahud sampai akhir.
Adapun bantahan terahadap madzhab orang-orang Syafiiyyah maka jawabannya adalah sebagai berikut :
1.Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqy itu adalah hadits Khaf af bin
Ima‘ dan di dalam sanadnya ada seorang lelaki yang tidak dikenal maka
ini secara otomatis menyebabkan hadits ini lemah.
2.Hal
yang telah disebutkan bahwa dzohir hadits-hadits yang shohih
menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasalam mengangkat jari
telunjuk dari awal hingga akhir menyelisihi hadits yang diriwayatkan
oleh Al-Baihaqy tersebut sehingga ini semakin mempertegas lemahnya
riwayat Al-Baihaqy tersebut.
3.Orang-orang
Syafiiyyah sendiri tidak sepakat tentang sunnahnya mengangkat jari
telunjuk ketika mencapai huruf hamzah () dari kalimat (), karena Imam
An-Nawawy dalam Al-Majmu‘ 3/434 menukil dari Ar-Rafi’y (salah seorang
Imam besar dikalangan Syafiiyyah) yang menyatakan bahwa tempat
mengangkat jari telunjuk adalah pada seluruh tasyahud dari awal hingga
akhir.
4.Hal
yang disebutkan oleh orang Syafiiyyah ini tidak disebutkan di dalam
madzhab para ulama yang lain. Ini menunjukkan bahwa yang dipakai oleh
para ulama adalah mengangkat jari telunjuk pada seluruh tasyahud dari
awal hingga akhir.
Kesimpulan:
Jadi,
yang benar di dalam masalah ini adalah bahwa jari telunjuk disyariatkan
untuk diangkat dari awal tasyahud hingga akhir dan tidak mengangkatnya
nanti ketika mencapai huruf hamzah () dari kalimat () . Wallahu A’lam..
+ Catatan kesimpulan diatas:
Semuanya meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Menyelisihi dua puluh dua rawi tersebut tidak ada yang menyebutkan lafadz yuharrikuha (digerak-gerakkan) .
Dari Uraian di atas jelaslah bahwa riwayat Za’idah bin Qudamah yang menyebutkan lafadz Yuharrikuha (digerak-gerakan) adalah SYADZ.
Kesimpulan 1:
Penyebutan lafadz yuharrikuha (Jari telunjuk digerak-gerakan) dalam
hadits Wa’il bin Hujr adalah LEMAH tidak bisa dipakai berhujjah.
Wallahu A’lam.
Kesimpulan 2:
Tersimpul dari pembahasan diatas bahwa pendapat yang rojih tentang
keadaan jari telunjuk dalam berisyarat (menunjuk) ketika tasyahud
adalah TIDAK DIGERAK-GERAKAN. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar