Total Tayangan Halaman

Minggu, 05 Februari 2012

Hukum peringatan maulid Nabi saw




ASAL MULA MAULID NABI
IBNU KATSIR menyebutkan dalam kitabnya Al-Bidayah wan Nihayah (11\172) bahwa Daulah Fathimiyyah ‘Ubaidiyyah nisbah kepada ‘Ubaidullah bin Maimun Alqadah Alyahudi yang memerintah Mesir dari tahun 357 H -567 H. Merekalah yang pertama-tama merayakan perayaan-perayaan yang banyak sekali diantaranya perayaan Maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Keterangan ini ditulis juga oleh Al-Maqrizy dalam kitabnya Al-Mawa’idz wal I’tibaar (1\490), dan Syaikh Muhammad Bakhit Al-Muthi’i mufti Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam fiima Yata’allaqu bissunnah wal Bid’ah minal Ahkam [halaman 44-45], dan Syaikh ‘Ali Mahfudz menyetujui mereka dalam kitabnya yang baik Al-Ibdaa’ fii Madhaarr Al-Ibtidaa’ [halaman 251] dan selain mereka masih banyak lagi. Jadi yang pertama-tama mensyariatkan perayaan ini mereka adalah orang-orang Zindiq (menampakkan keislaman untuk menyembunyikan kekafiran) Al-‘Ubaidiyyun dari Syi’ah Rafidhah keturunan Abdullah bin Saba Al-Yahudi.

SEJARAH HITAM SYI’AH BANI FATHIMIYYAH
Bani Fatimiyah (bukan disandarkan pada Fatimah putri Rasulullah dari Mesir, pernah mencuri Hajar Aswad di Ka’bah, tahun 1098 bersekongkol dengan pasukan salibis merebut rumah suci al-Aqsha. Kelompok Syi’ah bathiniyah ini menikam kaum muslimin dari belakang. Penggalan lain saat Mongol mengepung kerajaan Abbasiah di Baghdad, kembali orang Syi’ah berulah. Ibn al-Alqami as-Syi’i, yang sempat dipercaya menjadi menteri, berkhianat. Musuh dalam selimut ini memberi informasi rahasia negara kepada pasukan Tartar pimpinan Hulaghu Khan setelah sempat merumahkan pasukan kerajaan dari 100 ribu hingga tinggal 10 ribu. Baghdad jatuh pada 656H/1258 M. Terjadilah pembantaian selama tidak kurang dari 40 hari. IBNU KATSIR mencatat korban 800 ribu, sebagian menyebut angka 1 juta orang. Khalifah al-Musta’shim Billah terbunuh. Ia ditempatkan dalam kantong hingga meninggal karena ditendangi. Penggalan demonstrasi berdarah di masjid al-Haram Mekkah tahun 80-an pun didalangi orang-orang Syi’ah yang bersenjata.
FATWA ULAMA TENTANG MAULID NABI
Ibnu Hajar Al-Asqolani dan Imam As-Suyuthi memang memperbolehkan peringatan maulid nabi asal dengan beberapa syarat, tetapi mereka mengakui bahwa perbuatan tsb adalah bid’ah yg tidak berasal dari 3 generasi terbaik (Sahabat, Tabi’in, dan Tabiut Tabi’in). Berikut fatwa para ulama tentang maulid nabi.
1. Ibnu Taymiyyah (guru Ibnu Katsir, Adz-Dzahabi, Ibnul Qayyim) dalam kitabnya “Iqtidlous Sirotul Mustaqim Mukholafata Ashabil Jahim” Hal: 295 tentang Maulid Nabawy: “Tidak pernah dilakukan oleh as salafus sholeh padahal dorongan untuk diadakannya perayaan ini sudah ada, dan tidak ada penghalangnya, sehingga seandainya perayaan ini sebuah kebaikan yang murni atau lebih besar, niscaya as salaf (ulama’ terdahulu) –semoga Allah meridloi mereka- akan lebih giat dalam melaksanakannya daripada kita, sebab mereka lebih dari kita dalam mencintai Rosulullah ? dan mengagungkannya, dan mereka lebih bersemangat dalam mendapatkan kebaikan. Dan sesungguhnya kesempurnaan rasa cinta dan pengagungan kepada beliau terletak pada sikap mengikuti dan mentaati perintahnya, dan menghidupkan sunnah-sunnahnya, baik yang lahir ataupun batin, serta menyebarkan ajarannya, dan berjuang dalam merealisasikan hal itu dengan hati, tangan dan lisan. Sungguh inilah jalannya para ulama’ terdahulu dari kalangan kaum muhajirin dan anshor yang selalu mengikuti mereka dalam kebaikan”. Dan silahkan baca pernyataan beliau dalam kitab “Al Fatawa Al Misriyah” 1/312.

2. Imam Asy-Syatibi (ulama mazhab Maliki) ketika ditanya tentang hal ini. Beliau menjawab: “Adapun yang pertama yaitu mewasiatkan sepertiga harta untuk pelaksanaan maulid sebagaimana yang banyak dilakukan manusia ini adalah bid’ah yang diada-adakan, setiap bid’ah itu adalah sesat, bersepakat untuk melakukan bid’ah tidak boleh, dan wasiatnya tidak dilakukan, bahkan diwajibkan kepada qodhi untuk membatalkannya dan mengembalikan sepertiga harta tersebut kepada ahli waris supaya mereka bagi sesama mereka, semoga Allah menjauhkan para kaum fakir dari menuntut supaya dilaksanakannya wasiat seperti ini. (dikutib dari fatwa Asy-Syatibi, no: ( 203, 204 ).

3. Asy-Syaukani dalam Kitabnya “Risalah fi Hukmil Maulid” menyalahkan Ibnu Hajar dan As-Suyuthi yg membolehkan maulid. Berikut beberapa kutipannya:
Asy-Syaukani berkata: Saya tidak mendapatkan sampai sekarang dalil (argumentasi) di dalam Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Istidlal yang menjelaskan landasan amalan maulid, bahkan kaum muslimin telah sepakat, bahwa perayaan maulid nabi tidak ada pada masa qurun yang terbaik (para shahabat, pent), juga orang yang datang sesudah mereka (para tabi’in) dan yang datang sesudah mereka (tabi’ tabi’in). Dan mereka juga sepakat bahwa yang pertama sekali melakukan maulid ini adalah Sulthan Al Muzhaffar abu Sa’id Kukburi, anak Zainuddin Ali bin Baktakin, pemilik kota Irbil dan yang membangun mesjid Al Muzhaffari di Safah Qaasiyyun, pada tahun tujuh ratusan, dan tidak seorangpun dari kaum muslimin yang tidak mengatakan bahwa maulid tersebut bukan bid’ah.
Dan apabila telah tetap hal ini, jelaslah bagi yang memperhatikan (para pembaca bahwasanya orang yang membolehkan maulid tersebut setelah dia mengakuinya sebagai bid’ah dan setiap yang bid’ah itu adalah sesat, berdasarkan perkataan Rasulullah, tidaklah dia (yang membolehkan maulid) mengatakan kecuali apa yang bertentangan dengan syari’at yang suci ini, dan tidak ada tempat dia berpegang kecuali hanya taqlid kepada orang yang membagi bid’ah tersebut kepada beberapa macam, yang sama sekali tidak berlandasakan kepada ilmu.
Kemudian juga Al-Imam Abdillah bin Al-Haaj dengan nama kitabnya : “Pintu masuk dalam mengamalkan maulid”, dan Imam Ahli Qiro-at Al-Jazary dengan nama kitabnya: “pengenalan terhadap maulid yang mulia”, dan juga Imam Al-Hafidz Ibnu Naashir dengan kitabnya: “Sumber utama dalam pelaksanaan Maulid sang pembawa petunjuk”, dan Imam Suyuthi dengan kitabnya : “Tujuan yang baik dalam melaksanakan maulid” , di antara mereka ada yang benar-benar tidak membolehkan, dan ada juga yang membolehkan dengan bersyarat kalau tidak dicampuri oleh hal-hal yang munkar, meskipun mereka mengakui bahwasanya itu merupakan perbuatan bid’ah, namun mereka tidak mampu untuk memberikan argumentasi yang kuat, adapun dalil mereka dengan hadits bahwasanya Nabi di kala sampai di Madinah beliau mendapati orang-orang yahudi berpuasa pada hari asyura, lalu beliau menanyakan sebabnya, hari tersebut adalah hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa dan membinasakan Fir’aun, lalu kami berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada Allah ta’ala sebagaimana yang dilakukan Ibnu Hajar, atau dengan hadits bahwasanya Rasulullah mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah kenabian, sebagaimana yang dilakukan Suyuthi, ini merupakan suatu yang sangat aneh di mana itu terjadi karena keinginan untuk menegakkan bid’ah.

4. Al Hafizh Abu Zur’ah Al ‘Iroqy ketika ditanya tentang orang yang melakukan maulit apakah dianjurkan atau makruh?, apakah ada dalil yang memerintahkannya?, atau pernahkah dilakukan oleh orang yang dicontoh perbuatannya?. Ia menjawab: “memberi makan orang yang lapar dianjurkan dalam setiap waktu, apa lagi bergembira atas munculnya cahaya kenabian pada bulan yang mulia ini, tapi tidak kita temukan seorang pun dari generasi salaf (para ulama yang terdahulu) yang melakukan hal demikian, sekali pun sekedar memberi makan orang yang kelaparan”. (“tasyniiful Azan” hal: 136)

5. Fatwa Ibnu Hajar Al ‘Asqolany tentang hukum maulid yang dinukil oleh As- Suyuthi dalam kitabnya “Husnul maqsad fi ‘amalil maulid” di situ ia katakan: “asal perbuatan maulid adalah bid’ah tidak seorang pun dari generasi salafus sholeh yang melakukannya dalam tiga abad pertama”. (Al hawy lil fatawa hal: 1 / 196).

6. Ibnul Hajj dalam kitab “Al Madkhal” hal: (2/ 15,16) ketika ia berbicara tentang maulid: “yang sangat mengherankan kenapa mereka bergembiraria untuk kelahiran nabi saw! sedangkan kematiannya bertepatan pada hari itu juga, dimana umat mendapat musibah yang amat besar, yang tidak bisa dibandingkan dengan musibah yang lainnya, yang layak hanya menangis, bersedih dan setiap orang menyendiri dengan dirinya, karena Rasulullah saw bersabda: “Hendaklah kaum muslimin itu teguh dalam segala musibah mereka, musibah yang sebenarnya adalah kematianku”.

7. Syeikh Tajuddin Umar bin Ali Al Lakhmy Al Iskandary, yang lebih dikenal dengan Al Fakihaany dalam kitabnya “Al Maurid Fi Al Kalaam Ala Amali Al Maulid” berkata: “Sesungguhnya bulan kelahiran nabi Muhammad saw, bertepatan dengan bulan kematiannya, maka tidak lah bergembira lebih utama dari pada bersedih pada bulan tersebut”.

8. Ungkapkan Syaikh Muhammad Abdussalam Khadhar al Qusyairy dalam kitabnya “as sunan wal mubtadi’aat al muta’alliqah bil azkar wash sholawaat” Hal: 138-139. Dalam fasal: membicarakan bulan Robi’ul awal dan bid’ah melakukan maulid pada waktu itu. “tidak boleh mengkhususkan bulan ini (Rabi’ul awal) dengan berbagai macam ibadah seperti sholat, zikir, sedekah, dll. Karena musim ini tidak termasuk hari besar Islam seperti hari jum’at dan hari lebaran yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, bulan ini memang bulan kelahiran Nabi Muhammad saw, tapi juga merupakan bulan wafatnya nabi Muhammad saw, kenapa mereka berbahagia atas kelahirannya tapi tidak bersedih atas kematiannya?, menjadikan hari kelahirannya sebagai perayaan maulid adalah bid’ah yang mungkar dan sesat, tidak diterima oleh syara’ dan akal, kalau sekiranya ada kebaikan dalam melakukannya tentu tidak akan lalai dari melakukannya Abu bakar, Umar, Ustman dan Ali serta para sahabat yang lainnya, dan para tabi’iin serata para ulama yang hidup setelah mereka.

9. Al Maliky dalam hasiyahnya terhadap kitab “Mukhtashor As Syikh Kholil AL Maliky” 7/168, dalam pembahasan Al Washiyah, beliau menyatakan: “Adapun berwasiat untuk perayaan al maulid as syariif, maka Al fakihany telah menyebutkan bahwa perayaan maulid adalah makruh hukumnya”.

10. Abu Abdillah Muhammad Ulaisy dalam kitabnya “Fathu Al Aly Al Malik Fi Al Fatawa Ala Mazhab Al Imam Malik” 1/171 ketika ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seekor sapi yang sedang sakit, padahal dia sedang hamil, lalu orang itu berkata “ Kalau Allah menyembuhkan sapiku, maka wajib atasku untuk menyembelih anak yang di dalam perutnya ketika acara maulid Rosulillah, dan kemudian Allah menyembuhkan sapinya dan melahirkan anak betina, kemudian dia menunda penyembelihan sampai anak sapi tersebut besar dan hamil, apakah wajib atasnya untuk menyembelih sapi tersebut atau boleh menyembelih penggantinya atau dia tidak berkewajiban apa-apa ? Maka beliau menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan : “Alhamdulillah, dan sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada sayidina Muhammad Rasulullah, dia tidak berkewajiban apa-apa, karena perayaan maulid Rasulullah tidaklah disunnahkan”.
12. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab:
Pertama, malam kelahiran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti kapan. Bahkan sebagian ulama masa kini menyimpulkan hasil penelitian mereka bahwa sesungguhnya malam kelahiran beliau adalah pada tanggal 9 Robi’ul Awwal dan bukan malam 12 Robi’ul Awwal. Oleh sebab itu maka menjadikan perayaan pada malam 12 Robi’ul Awwal tidak ada dasarnya dari sisi latar belakang historis.
Kedua, dari sisi tinjauan syariat maka merayakannya pun tidak ada dasarnya. Karena apabila hal itu memang termasuk bagian syariat Allah maka tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya atau beliau sampaikan kepada umatnya. Dan jika beliau pernah melakukannya atau menyampaikannya maka mestinya ajaran itu terus terjaga, sebab Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran dan Kami lah yang menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9)
Sehingga tatkala ternyata sedikit pun dari kemungkinan tersebut tidak ada yang terbukti maka dapat dimengerti bahwasanya hal itu memang bukan bagian dari ajaran agama Allah. Sebab kita tidaklah diperbolehkan beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara-cara seperti itu. Apabila Allah ta’ala telah menetapkan jalan untuk menuju kepada-Nya melalui jalan tertentu yaitu ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka bagaimana mungkin kita diperbolehkan dalam status kita sebagai hamba yang biasa-biasa saja kemudian kita berani menggariskan suatu jalan sendiri menurut kemauan kita sendiri demi mengantarkan kita menuju Allah? Hal ini termasuk tindakan jahat dan pelecehan terhadap hak Allah ‘azza wa jalla tatkala kita berani membuat syariat di dalam agama-Nya dengan sesuatu ajaran yang bukan bagian darinya. Sebagaimana pula tindakan ini tergolong pendustaan terhadap firman Allah ‘azza wa jalla yang artinya,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku kepada kalian.” (QS. Al-Maa’idah: 3)
Oleh sebab itu kami katakan bahwasanya apabila perayaan ini termasuk dari kesempurnaan agama maka pastilah dia ada dan diajarkan sebelum wafatnya Rasul ‘alaihish shalatu wa salam. Dan jika dia bukan bagian dari kesempurnaan agama ini maka tentunya dia bukan termasuk ajaran agama karena Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Barang siapa yang mengklaim acara maulid ini termasuk kesempurnaan agama dan ternyata ia terjadi setelah wafatnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sesungguhnya ucapannya itu mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia ini. Dan tidaklah diragukan lagi kalau orang-orang yang merayakan kelahiran Rasul ‘alaihis shalatu was salam hanya bermaksud mengagungkan Rasul ‘alaihis shalaatu was salaam. Mereka ingin menampakkan kecintaan kepada beliau serta memompa semangat agar tumbuh perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui diadakannya perayaan ini. Dan itu semua termasuk perkara ibadah. Kecintaan kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah. Bahkan tidaklah sempurna keimanan seseorang hingga dia menjadikan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan bahkan seluruh umat manusia. Demikian pula pengagungan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk perkara ibadah. Begitu pula membangkitkan perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk bagian dari agama karena di dalamnya terkandung kecenderungan kepada syariatnya. Apabila demikian maka merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah serta untuk mengagungkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk ibadah. Dan apabila hal itu termasuk perkara ibadah maka sesungguhnya tidak diperbolehkan sampai kapan pun menciptakan ajaran baru yang tidak ada sumbernya dari agama Allah. Oleh sebab itu merayakan maulid Nabi adalah bid’ah dan diharamkan.
Kemudian kami juga pernah mendengar bahwa di dalam perayaan ini ada kemungkaran-kemungkaran yang parah dan tidak dilegalkan oleh syariat, tidak juga oleh indera maupun akal sehat. Mereka bernyanyi-nyanyi dengan mendendangkan qasidah-qasidah yang di dalamnya terdapat ungkapan yang berlebih-lebihan (ghuluw) terhadap Rasul ‘alaihish sholaatu was salaam sampai-sampai mereka mengangkat beliau lebih agung daripada Allah -wal ‘iyaadzu billaah-. Dan kami juga pernah mendengar kebodohan sebagian orang yang ikut serta merayakan maulid ini yang apabila si pembaca kisah Nabi sudah mencapai kata-kata “telah lahir Al-Mushthafa” maka mereka pun serentak berdiri dan mereka mengatakan bahwa sesungguhnya ruh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir ketika itu maka kita berdiri demi mengagungkan ruh beliau. Ini adalah tindakan yang bodoh. Dan juga bukanlah termasuk tata krama yang baik berdiri ketika menyambut orang karena beliau tidak senang ada orang yang berdiri demi menyambutnya. Dan para sahabat beliau pun adalah orang-orang yang paling dalam cintanya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kaum yang lebih hebat dalam mengagungkan beliau daripada kita. Mereka itu tidaklah berdiri tatkala menyambut beliau karena mereka tahu beliau membenci hal itu sementara beliau dalam keadaan benar-benar hidup. Lantas bagaimanakah lagi dengan sesuatu yang hanya sekedar khayalan semacam ini?
Bid’ah ini -yaitu bid’ah Maulid- baru terjadi setelah berlalunya tiga kurun utama. Selain itu di dalamnya muncul berbagai kemungkaran ini yang merusak fondasi agama seseorang. Apalagi jika di dalam acara itu juga terjadi campur baur lelaki dan perempuan dan kemungkaran-kemungkaran lainnya. (Diterjemahkan Abu Muslih dari Fatawa Arkanil Islam, hal. 172-174).
Allah telah memerintah nabinya untuk mengikuti syari'atnya dalam beribadah kepadanya, dan melarang mengikuti hawa nafsu, dalam banyak ayat Allah memerintah nabinya untuk mengikuti wahyu. Ulama mengatakan bahwa ibadah harus didasari wahyu, dan tidak berdasarkan akal fikiran manusia.
Allah SWT memberi karunia kepada hambanya dengan mengutus rasulnya SAW, bukan dengan kelahirannya, oleh karena itu pada hari kelahiran nabi s.a.w para salafus shalih tidak melakukan amal perbuatan yang lebih dari hari-hari lain, dan tidak menganggap hari kelahiran nabi sebagai hari istimewa yang perlu diperingati, dirayakan atau dikaitkan dengan suatu hal yang dianggap penting, lihatlah misalnya Umar bin Khattab t ketika akan menetapkan awal tahun hijriyah, beliau tidak memulainya dari hari atau bulan kelahiran nabi s.a.w, namun memulainya dengan tanggal kemenangan nabi SAW.
Peringatan maulid nabi tidak pernah dilakukan oleh rasulullah, para sahabat, para tabi'in, maupun para imam madzhab seperti imam syafi'i, imam malik, Ahmad bin hambal dan Abu Hanifah, akan tetapi yang pertama kali mengadakan peringatan maulid nabi adalah para khalifah fatimiyah pada abad keempat hijriyah, bahkan mereka bukan hanya memperingati hari kelahiran nabi, akan tetapi mereka juga memperingati hari kelahiran imam Ali, Fatimah, hasan, dan Husain.  Sebelumnya umat islam tidak mengenal yang namanya peringatan maulid nabi s.a.w.
Sebenarnya para ahli sejarah berbeda pendapat tentang bulan kelahiran nabi s.a.w, ada yang mengatakan nabi dilahirkan pada bulan ramadhan, namun mayoritas mereka mengatakan bahwa nabi s.a.w dilahirkan pada bulan rabiul awwal. Kemudian mereka juga berbeda pendapat tentang tanggal kelahiran nabi s.a.w. Ibnu Abdil barr mengatakan beliau lahir pada tanggal dua, ada yang mengatakan tanggal delapan, ini didukung oleh ibnu Hazm dan kebanyakan ahli hadits, ada yang mengatakan pada tanggal sembilah, ini dikuatkan oleh abul hasan an-Nadawi dan zahid al-kaustari, ada yang mengatakan tanggal sepuluh, ini dikatakan oleh al-Baqir, ada yang mengatakan pada tanggal dua belas, ini ditegaskan oleh Ibnu Ishaq, ada yang mengatakan tanggal tujuh belas, dan ada yang mengatakan tanggal delapan belas rabi'ul awwal.
Ini menunjukkan bahwa para sahabat tidak begitu memperhatikan tanggal kelahiran nabi, karena tidak ada ibadah yang berkaitan dengan hari kelahirannya, sebab kalau seandianya ada, niscaya diriwayatkan kepada kita.
Kemudian perlu diketahui bahwa tanggal dua belas rabi'ul awal juga merupakan hari meninggalnya rasulullah s.a.w, jadi bergembira pada hari itu tidak lebih baik dari bersedih, selain itu bila diperhatikan, peringatan maulid nabi banyak menyebar di Negara-negara yang bertetangga dengan Kristen, seperti di suriah dan mesir. Orang-orang nasrani merayakan hari kelahiran Isa u, dan itu merupakan sebab orang-orang islam mengadakan perayaan hari besar karena mengikuti tradisi mereka.
Kecintaan kepada nabi SAW bukan dibuktikan dengan memperingati hari kelahirannya, namun dengan mengikuti sunnahnya, melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya, dan gembira dengan nabi SAW bukan hanya pada waktu-waktu tertentu, seperti hanya di bulan rabi'ul awal, tetapi sepanjang masa.
Nabi saw telah melarang umatnya berlebihan dalam memuji dan mengagungkan beliau, beliu bersabda:  janganlah kalian belebihan terhadapku sebagaimana orang nasrani berlebihan terhadap putera Maryam, aku tidak lain hanyalah hamban Allah, maka katakanlah: hamba Allah dan rasulnya. (HR. Bukhari)
Kebanyakan bacaan yang dibaca dalam peringatan maulid nabi yang berupa pujian kepada beliau sangat berlebihan, dan ini diakui oleh orang yang mendukung peringatan maulid nabi itu sendiri, terutama ketika sebagian orang mengarang buku tentang peringatan maulid nabi, kemudian mereka membuat-buat hadits palsu untuk mendukung perbuatannya. Salah seorang tokoh sufi di abad ini yaitu Abdullah al-Ghimari berkata: (( "… buku-buku tentang maulid nabi dipenuhi oleh hadits-hadits palsu, dan ini telah menjadi keyakinan kuat bagi kalangan awam, aku berharap semoga Allah memberi taufik kepadaku untuk menulis buku tentang maulid nabi, yang terbebas dari dua hal yaitu: hadits-hadits palsu, dan sajak yang dipaksakan … jadi berlebihan dalam mumuji itu tercela, berdasarkan firman Allah swt: ((janganlah kalian berlebihan dalam agama kalian)), dan juga orang yang memuji nabi saw dengan suatu hal yang tidak ada dasarnya dari nabi saw maka ia telah berbohong, sehingga ia termasuk orang yang diancam dalam hadits: barangsiapa yang sengaja berdusta kepadaku maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka.
Fadhilah-fadilah nabi bukanlah suatu hal yang bisa dianggap enteng dengan menggunakan hadits dhaif dan sebagainya, karena ini berkaitan dengan pembawa syari’at, nabi umat ini, yang mengharamkan dusta atas nama beliau dan menjadikannya sebagai salah satu dosa besar, bahkan Abu Muhammad al-Juwaini, bapak dari Imam al-Haramain berpendapat bahwa orang yg berdusta atas nama nabi saw, ia kafir. Dengan demikian, hal-hal yang berlebihan yang terdapat dalam buku-buku maulid nabi, dan kisah isra’ mi’raj tidak ada dasarnya sama sekali, maka wajib dibakar agar para penulisnya dan orang-orang yang membacanya tidak dibakar di neraka, kami mohon keselamatan kepada Allah". (ini dalam buku tentang kritik terhadap burdatnya al-Bushiri hal 75).
Dan biasanya dalam peringatan maulid diakhiri dengan kata-kata bid’ah dan tawassul-tawassul yang berbau syirik.
Kemudian dalam peringatan maulid nabi biasanya melakukan beberapa kesalahan, di antaranya:
Orang-orang yg memperingati maulid menuduh orang-orang yang tidak merayakannya bahwa mereka tidak mencintai nabi saw, mereka pura-pura tidak tahu bahwa kecintaan kepada nabi dibuktikan dengan mengikuti sunnah beliau, bukan dengan berbuat bid’ah, demikan pula hal-hal yg dilakukan pada waktu memperingati maulid, seperti bacaan-bacaan yang tidak ada dasarnya dari agama yang dibaca dengan disertai gerakan-gerakan yang tidak pernah diajarkan dalam agama, disamping kisah-kisah bohong yang dibuat-buat tentang faedah atau fadhilah memperingati maulid nabi dsb. Syaikh Ali Mahfudz al-Azhari berkata: "dalam memperingati maulid nabi banyak terjadi pemborosan dan membuang-buang harta serta waktu yang tidak ada gunanya dan tidak kebaikannya sama sekali". (al-Ibda’/324) sedangkan kaidah syar’iyah mengatakan bahwa suatu yang mubah jika menyebabkan kepada suatu yang diharamkan maka hukumnya haram.
Seluruh umat islam telah sepakat bahwa merayakan maulid nabi adalah bid’ah, akan tetapi mereka berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa ia adalah bid’ah hasanah, dengan alasan bahwa ada maslahat yang mungkin bisa diperoleh.
Akan tetapi para ulama yang lain, baik dahulu maupun sekarang banyak yang berfatwa bahwa merayakan maulid hukumnya haram, berdasarkan dali-dalil syari’at yang mengharamkan bid’ah dalam masalah agama, sedangkan perayaan maulid termasuk masalah agama, mereka memandang bahwa perayaan maulid adalah suatu kesalahan yang pasti, sedangkan kebaikan yang diharapkan hanya merupakan dugaan. Kemudian perayaan tersebut tidak pernah dilakukan oleh nabi saw, dan juga para sahabat, para tabi’in, dan juga periode setelah itu. Dan juga nabi saw tidak membedakan bid’ah ada yang baik dan buruk, akan tetapi beliau mengatakan: kullu bid’atin dhalaalah: semua bid’ah adalah kesesatan).
Imam malik berkata: barangsiapa yang berbuat bid’ah dalam islam dan ia menganggapnya baik, maka ia telah menyangka bahwa Muhammad saw telah berkhianat terhadap kerasulan, karena Allah swt berfirman: “pada hari ini aku telah menyempurnakan agamamu”, maka apa yang tidak termasuk agama pada waktu itu, maka sekarang tidak menjadi agama) (al-I’tisham karangan as-Syatibi).
Adapun ulama-ulama yang berfatwa bahwa perayaan maulid itu bid’ah, diantaranya:
Imam Syatibi, beliau menyebutkan di awal kitabnya al-I’tisham (1/34) dan mengatakan bahwa menjadikan hari kelahiran nabi saw sebagai ied adalah bid’ah.
Imam al-fakihani dalam bukunya risalah al-Mufradah hal 8-9.
Ulama India, Abu thayyib syamsul Haq, begitu pula gurunya al-Allamah Basyiruddin Qanuji yang menulis buku dengan judul: ghayatul kalam fii ibthalil amalil maulid wal qiyam.
Syaikh al-Allamah Abi Abdillah Muhammad al-Haffar al-Maliki salah satu ulama maroko berkata: (para salafus shalih yaitu para sahabat nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka tidak pernah berkumpul pada malam kelahiran nabi untuk beribadah, dan tidak melakukan sesuatu yang lebih dari hari-hari biasa, karena nabi saw tidak mengagugkan sesuatu kecuali yang disyari’atkan oleh Allah swt… (almi’yaar al-mu’rab 7/99).
Syaikh Muhammad shalih al-Utsaimin kt: (mereka melakukannya dengan alas an mencintai rasulullah saw, dan mereka ingin mengingat rasulillah saw. Kami katakan kepada mereka: kami senang jika kalian mencintai nabi saw, dan kami senang jika kalian ingin mengingat nabi saw, akan tetapi ada ketentuan yang telah ditetapkan olen Yang Maha Bijaksana, dan tuhan seluruh alam, ada ketentuan dalam mencintai, yaitu firman Allah swt: katakan, jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku niscaya Allah mencintaimu.
Jika seseorang jujur dalam pengakuannya mencintai Allah dan rasulnya, makan hendaklah mengikuti syari’at Allah, dan mengikuti apa yang diajarkan oleh nabi saw, jika ia tidak mengikutinya, maka pengakuan cintanya dusta. Karena neraca ini adalah neraka yang jujur dan adil. Oleh karena itu mari kita lihat, apakah merayakan kelahiran nabi saw termasuk syari’at allah? Apakan nabi saw melakukannya? Apakan khulafa’ rasyidin melakukannya? Apakah para sahabat melakukannya? Apakah para tabi’in melakukannya? Jelas jawabnya tidak, barangsiapa yang mengatakan sebaliknya, maka hendaklah memberikan bukti. “katakan, sampaikanlah bukti kalian jika kalian benar”).
Syaikh DR. Yusuf al-Qardhawi berkata: … mereka mengatakan bahwa yang membuat-buat perayaan maulid ini adalah Fathimiyah di mesir, dan dari mesir menyebar ke Negara-negara lain, ada kemungkinan di balik itu ada tujuan politik tertentu, mereka ingin mengalihkan perhatian rakyat kepada perayaan maulid ini, sehingga mereka tidak ikut campur memikirkan urusan politik dan juga masalah-masalah umum lainnya, oleh karena itu kalau ini dianggap ibadah maka kami berkata: ibadah ini tida pernah diajarkan dan tidak benar) al-Jazirah.
Syaikh Muhammad al-Ghazali dalam bukunya: bukan termasuk islam hal 252 kt: bertaqarrub dengan mengadakan perayaan maulid adalah ibadah yang tidak ada dasarnya, oleh karena itu kita memandang bahwa semua perayaan ini adalah bid’ah yang ditolak dan tidak bisa dibenarkan.. menghilangkan maulid adalah masalah yang sangat penting baik dari segi agama maupun dunia ..selain maulid nabi juga peringatan isra’ mi’raj, malam nisfu sya’ban, lailatul qadar, dan malam awal tahun hijriyah.
Perayaan-perayaan ini telah ditentukan waktunya, dan mengeluarkan biaya dianggap sebagian syi’ar agama, dan orang-orang awam telah memberikan perhatian lebih dengan kata-kata dan makanan, apakan hal itu menolong agama!!.
Ahirnya kita berdoa semoga kita mendapat kekuatan iman dan ilmu yang bermanfaat sehingga bisa mengamalkan agama dengan benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Allah dan Rasulnya, dan semoga kita dijaga dari kesalah pahaman terhadap agama yang bisa menggelincirkan kita dari jalah yang lurus. Amin.



1 komentar:

  1. Hadiistnya shahiih

    http://shufi-indonesia.blogspot.com/2014/12/mana-dalilnya-perayaan-maulid-nabi-saw.html

    BalasHapus